Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keseriusan
Tempat itu tampak seperti potongan dunia yang diambil dari mimpi. Sebuah restoran fine dining di rooftop hotel bernama Le Céleste, berhiaskan lampu-lampu gantung keemasan yang menyala redup, membingkai pemandangan kota dengan kilau yang menawan. Di kejauhan, gemerlap gedung-gedung tinggi terlihat seperti kunang-kunang raksasa.
Camelia menatap sekeliling dengan mata berbinar, matanya tak bisa menyembunyikan kekaguman yang tulus. "Jadi, kamu ngajak aku makan malam, Mas?" tanyanya, masih terpukau.
Sena mengangguk. Tanpa banyak kata, tangannya bergerak meraih tangan Camelia dan menggenggamnya lembut, rasanya hangat. Indah, sebuah perasaan nyata yang selama ini hanya ada dalam bayangan.
"Kapan kamu rencanain ini, Mas?" tanya Camelia, matanya menatap tangan mereka yang masih saling bertaut.
"Tadi," jawab Sena, menoleh menatap wajah gadis di samping nya. "Begitu aku chat, aku langsung reservasi."
Camelia mendecak pelan, pura-pura kesal. "Aku kira kamu mau ngajak ke apartemen."
Sena tertawa pendek. "Hmm, jadi kamu sempat berharap diajak ke apartemen?" godanya dengan alis yang dinaikkan penuh makna.
"Mau ngapain, emang?" lanjutnya, menggoda.
Camelia mengerutkan kening, menepis tangan Sena pelan. "Ck! Apa sih, Mas. Mesum banget!"
Mereka lalu berjalan memasuki area restoran yang tertutup kaca bening. Seorang pelayan berseragam hitam dengan dasi kupu-kupu segera menyambut mereka dengan senyum ramah.
"Selamat malam, Tuan. Ada reservasi atas nama?"
"Girisena Pramudito," jawab Sena sopan.
Pelayan itu memeriksa daftar di tablet digitalnya, lalu mengangguk. "Silakan, meja Anda sudah disiapkan. Ikuti saya."
Mereka melewati beberapa meja lain yang sebagian besar telah terisi. Ada pasangan paruh baya, dua orang bule yang tampaknya sedang menikmati wine, dan seorang wanita elegan yang duduk sendiri sambil memandangi langit kota. Di sudut balkon, pelayan berhenti, lalu menarik kursi untuk Camelia dengan gestur yang sopan.
Meja mereka ditata indah, taplak putih, lilin kecil dalam wadah kaca, dan dua gelas wine kosong. Di atas piring porselen, sudah tersedia napkin yang dilipat rapi berbentuk mawar.
Camelia duduk perlahan, matanya masih mengagumi setiap sudut. Ternyata, kamu punya sisi romantis juga ya, Mas,” ujar Camelia Sena hanya terkekeh kecil, lalu mengerling ke arahnya.
“Kalau soal kamu, aku bisa tiba-tiba punya banyak sisi, Sayang.”
Lagi dan lagi, Camelia mendengar candaan yang berbanding terbalik dengan sosok Sena saat mode dosen. Biasanya, pria itu begitu tenang, berwibawa, dan minim senyum. Tapi sejak mereka bersama—dan hanya saat berdua saja—Camelia menyadari, Sena punya sisi lain yang tak banyak orang tahu.
Sisi yang gemar menggoda. Sisi yang tak pernah absen melempar gombalan receh, kadang begitu cheesy, kadang terlalu lugas, tapi tetap berhasil membuat pipi Camelia merona dan juga sisi yang diam-diam membuatnya jatuh cinta lebih dalam lagi.
Camelia tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia membatin, Its okay. Jika itu Mas Sena, aku bisa menerimanya. Menerima segala sisi dirinya, yang keras, serius, sok romantis dan suka gombal. Semuanya, karena itu Sena. Karena ia tak lagi ingin menyangkal bahwa hatinya sudah tertambat.
Tak lama kemudian, pelayan datang membawa buku menu. “Silahkan, ini menunya. Jika sudah siap memesan, silahkan tekan tombol di sisi kanan meja. Chef kami akan segera menyiapkan sesuai pesanan Anda.”
“Terima kasih.” jawab Sena sopan, lalu menggeser salah satu menu ke arah Camelia.
Camelia menerimanya, membuka halaman demi halaman dengan santai. Ia membaca setiap pilihan dalam dua bahasa—Indonesia dan Inggris—tanpa kendala berarti. Beberapa nama masakan bahkan sudah akrab di lidahnya, mengingat ia cukup sering menemani ibunya makan di restoran serupa.
Namun, entah kenapa, malam ini ia merasa tidak ingin memilih.
Bukan karena tak tahu. Tapi lebih karena, ia ingin membiarkan Sena memutuskan. Ingin tahu selera pria itu. Ingin tahu, seperti apa rasanya ketika seseorang memilihkan sesuatu untuk dirinya, tanpa ia perlu banyak berkata-kata.
“Boleh kamu yang pilihkan aja, Mas?” gumamnya pelan sambil menutup menu.
Sena meliriknya dengan senyum yang sedikit mengembang. “Kamu yakin? Aku takut kamu nggak suka,”
“Aku percaya selera mu, Mas Sena,” jawabnya, meski ada semburat malu di pipinya.
Sena mengangguk. Ia menekan tombol kecil di sisi meja. Beberapa detik kemudian, pelayan kembali datang.
“Salad salmon dengan saus lemon untuk pembuka. Main course-nya beef wagyu steak, medium well, pakai mashed potato dan dessert-nya... panna cotta stroberi, satu favorit dia,” ujarnya sambil menatap Camelia sejenak, cukup untuk membuat gadis itu menunduk malu.
Pelayan mencatat semuanya dengan sigap. “Apakah ada tambahan lainnya, Pak?”
“Mineral water dan sparkling juice saja,” jawab Sena sopan.
Begitu pelayan berlalu, Camelia menyandarkan punggungnya ke kursi. “Wah, kamu tahu banyak hal yang aku suka ternyata?”
Sena mengangkat bahu dengan senyum kecil. “Tentu, apapun itu. Aku tahu semuanya.”
Dan saat itulah Camelia tahu, mungkin yang membuatnya pasrah bukan karena bingung memilih. Tapi karena diam-diam, ia ingin tahu bagaimana rasanya menjadi perempuan yang diistimewakan.
Sena menopang pipinya dengan satu tangan, sementara tatapannya tak pernah lepas dari wajah gadis yang kini duduk tepat di hadapannya, gadis yang dulu hanya bisa ia kagumi dari jauh. "Sayang, kamu nggak lagi ngerjain aku, kan? Kita beneran akan menikah?" tanyanya lirih, nyaris seperti bisikan yang hanya ingin didengar Camelia.
Gadis itu tersipu, refleks menyibakkan anak rambut yang jatuh di pipinya ke belakang telinga. Ia berusaha tetap tenang, meskipun tatapan teduh Sena dan suara beratnya itu seakan menghujam pertahanan terakhirnya. Suara yang bagi Camelia terlalu candu, mampu meluluhkan amarah, menciptakan rindu, bahkan membuatnya sedikit gila.
"Iya, kenapa tanya gitu?" balas Camelia, mencoba menahan senyum kecil yang ingin merekah.
Sena menggeleng pelan. "Nggak apa-apa, Sayang. Cuma mau mastiin aja. Aku takut kalau ini cuma mimpi," ucapnya sembari tersenyum tipis. "I love you."
Camelia menunduk, hatinya berdesir. Kalimat itu, meskipun baru dua hari berlalu sejak mereka resmi menjadi sepasang kekasih, masih terasa terlalu besar untuk ia jawab dengan kata yang sama. Ia belum siap mengucapkannya, bukan karena tidak merasakan hal yang sama, tetapi karena semuanya masih terasa baru. Namun dalam diam, dalam hatinya yang terdalam, ia selalu menjawabnya.
Tak lama kemudian, pelayan kembali dengan nampan berisi makanan. Ia menyajikan hidangan pembuka lebih dulu, salad salmon dengan saus lemon yang harum menggoda, diikuti oleh wagyu steak hangat dengan mashed potato yang lembut. Penutupnya adalah panna cotta stroberi dengan warna merah muda yang menggoda dan tampilan yang elegan.
"Silahkan dinikmati. Bila membutuhkan sesuatu, silahkan tekan tombol yang sama." ucap pelayan itu sopan sebelum pergi.
Mereka mulai menyantap makanan dalam suasana yang tenang, sesekali diselingi percakapan ringan.
"Enak, kan, Sayang?" tanya Sena ketika Camelia mulai menyuapkan salad ke mulutnya.
Camelia mengangguk cepat. Matanya berbinar-binar seiring rasa segar lemon yang menyatu dengan lembutnya salmon di lidahnya.
"Banget!" ujarnya antusias.
Sena terkekeh pelan, senang melihat ekspresi jujur itu dari gadisnya.
Setelah hidangan utama datang, mereka kembali menikmati makan malam sambil sesekali mencuri pandang dan saling bertukar senyum. Camelia merasa seperti masuk ke dalam dunia lain, tenang, nyaman, dan penuh cinta. Tak ada dentuman keraguan. Di meja itu, hanya ada mereka berdua dan masa depan yang perlahan mulai terlukis.
Camelia tengah menikmati wine-nya ketika tiba-tiba Sena berdiri dari kursi. Tanpa berkata sepatah kata pun, lelaki itu berputar mengitari meja, lalu bersimpuh tepat di sisi Camelia.
Gelas di tangan Camelia nyaris terjatuh. Ia terpaku, tak percaya dengan apa yang sedang terjadi di hadapannya.
“M-mas… ngapain sih?” bisiknya terbata, sementara jantungnya berdegup jauh lebih cepat dari biasanya.
Dari saku celananya, Sena mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna velvet biru. Ia membukanya pelan-pelan, menampilkan cincin berlian mungil yang berkilauan di bawah cahaya temaram restoran mewah itu.
“Aku tahu... kita memang belum lama bersama. Tapi sejak dulu, kamu selalu punya tempat istimewa di hatiku. Dulu aku cuma bisa memandang dari jauh, membiarkan perasaan ini tumbuh diam-diam. Dan sekarang, ketika kamu benar-benar jadi milikku, aku sadar... aku nggak ingin menunggu lebih lama lagi.”
Camelia menahan napas. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku tahu Mama sudah lebih dulu 'meminta' mu untuk jadi bagian dari keluarga kami. Tapi sebagai laki-laki, sebagai seseorang yang mencintaimu sepenuh hati, aku ingin tetap menjadi laki-laki yang meminta langsung dari kamu. Bukan karena tradisi, tapi karena aku ingin kamu tahu bahwa aku serius. Bahwa semua ini bukan candaan,” lanjut Sena, masih bersimpuh.
Beberapa pasang mata pengunjung restoran mulai memperhatikan mereka. Suasana mendadak hening. Bahkan alunan musik latar seolah menepi, memberikan ruang untuk momen penuh haru ini.
“Camelia…” ucap Sena dengan suara yang sedikit bergetar. “Will you marry me?”
Camelia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Air mata mengalir begitu saja. Ia begitu tersentuh melihat Sena, lelaki yang selama ini tampil tegas sebagai dosen, kini bersimpuh penuh kerendahan hati di hadapannya.
Sebuah adegan yang dulu hanya ada dalam mimpinya, kini nyata, tepat di depan mata.
“Ya... I do, Pak Sena,” jawab Camelia lirih, diselingi kekehan kecil yang bergetar karena emosi, “I do…”
Riuh tepuk tangan langsung terdengar dari beberapa sudut ruangan. Beberapa pengunjung tampak ikut terharu, bahkan ada yang mengusap sudut mata mereka dengan tisu.
Sena perlahan berdiri, senyumnya merekah sempurna. Ia meraih tangan Camelia, lalu dengan lembut menyematkan cincin itu ke jari manisnya. Jari yang akan menjadi pengikat janji cinta mereka.
Setelahnya, Sena menarik tubuh Camelia dalam pelukan hangat. Ia memejamkan mata, membiarkan debar bahagia itu memenuhi seluruh dadanya.
“Akhirnya… cintaku nggak bertepuk sebelah tangan.” bisiknya di telinga sang kekasih.
Camelia tersenyum dalam pelukannya. Ya, semua ini nyata. Sena, perasaan mereka, dan cinta yang akhirnya bertemu pada waktu yang tepat.
Setelah sorakan dan tepuk tangan mereda, serta pelukan hangat menyatukan dua hati yang akhirnya seirama, Sena mencondongkan tubuhnya dan membisikkan sesuatu di telinga Camelia.
“Kamu belum boleh pulang sekarang,” ucapnya.
Camelia menatapnya heran. “Kenapa? Mau traktir dessert?”
Sena hanya tersenyum simpul. “Lebih dari itu. Aku mau ajak kamu ke tempat yang bisa bikin kamu merasa tenang.”
Tanpa banyak tanya, Camelia mengangguk. Ada rasa percaya yang terlalu dalam pada laki-laki di hadapannya ini. Ia mengikuti langkah Sena keluar dari restoran, menggenggam tangan kekasihnya yang hangat.
...****************...
Perjalanan tak memakan waktu lama. Mobil Sena melaju stabil menyusuri jalanan yang mulai lengang. Hening, tapi tidak canggung. Lagu pelan dari radio mengisi ruang di antara mereka, sesekali Sena menoleh, memastikan Camelia nyaman.
Hingga akhirnya mobil berhenti di sebuah area sepi dengan pemandangan danau yang memantulkan cahaya lampu-lampu taman. Permukaan air yang tenang tampak berkilauan, dan udara malam menyusup lembut dengan aroma tanah yang lembab. Tak jauh dari bibir danau, terdapat bangku kayu menghadap air. Tempat itu tampak seolah sengaja diciptakan untuk momen seperti ini.
“Kita sampai,” kata Sena seraya membukakan pintu untuk Camelia.
Camelia turun, matanya terbelalak kecil melihat suasana tenang dan indah di depannya.
“Ini… cantik banget, Mas.”
“Aku senang kamu suka.”
“Kamu sering ke sini?”
“Nggak sering sih, ini tempat aku ngilang kalau lagi suntuk. Dosen juga butuh tempat menenangkan diri, ya kan?” jawab Sena dengan tawa kecil.
Mereka duduk berdampingan. Camelia melipat tangannya di pangkuan, sementara Sena menatap danau dengan pandangan jauh.
“Mas...”
“Hm?”
“Terima kasih, ya. Untuk semua ini. Lamaran tadi... aku benar-benar nggak nyangka.”
“Aku cuma nggak mau kamu mikir kalau aku nggak serius. Dulu memang aku kagum dari jauh. Tapi sekarang aku punya kamu, aku nggak mau main-main dan sejuta hal bisa saja membuatku tersenyum,”
Camelia meliriknya tanpa berkata, hanya mengusap lengan sendiri karena angin mulai berhembus dingin.
“Dari hal-hal kecil, lelucon receh, sampai obrolan absurd yang kadang nggak masuk akal. Tapi, ketika senyum itu datang karena kamu, rasanya beda, Sayang,” tatapan Sena kini jatuh penuh pada wajah Camelia. “Kamu bukan satu-satunya alasan aku tetap bisa tersenyum, tapi saat kamu jadi alasannya … itulah senyumku yang paling nyata.”
Camelia mengerjap cepat, lalu menunduk. Pipi yang memerah tak bisa ia sembunyikan. Ia menggigit bibir bawah, mencoba menahan senyum yang ingin sekali merekah. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, membuat kedua telapak tangannya terasa dingin.
“Sayang, kamu itu bukan cuma orang yang aku sayangi. Kamu itu… ketenangan yang selama ini aku butuhkan. Setiap kali menatapmu, apalagi saat kamu ada di dekatku, rasanya semua hal ruwet dalam hidupku jadi lebih ringan.”
Camelia menoleh pelan, ia terpaku.
“Makanya, aku benar-benar bahagia. Saat Mama pinang kamu, dan kamu juga menerima lamaranku, rasanya seperti dunia ngasih jeda untuk aku bisa bernapas tenang.” Sena menunduk sedikit, lalu menggenggam tangan Camelia dengan erat.
Camelia tidak langsung menjawab. Matanya memerah, bukan karena angin yang berhembus, tapi karena hatinya yang tiba-tiba hangat, merasa nyaman. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Sena. Tanpa perlu banyak kata, ia ingin Sena tahu, perasaan itu, ia rasakan juga.
“Waktu kamu masih jadi Gray, dan hidupku sesepi itu, kabar dan chat dari kamu rasanya kayak oksigen, Mas,” ucapnya lirih, tapi jelas terdengar di antara keheningan. “Hal kecil kayak notifikasi dari kamu bisa bikin aku senyum-senyum sendiri, kayak orang gila,” setelah sekian lama menyimpan semuanya sendiri, akhirnya ia membuka suara, pelan namun penuh beban.
Sena menoleh, wajahnya berubah sendu. Tapi Camelia belum selesai.
“Padahal cuma pesan singkat, bahkan kadang cuma nanya, ‘Udah makan belum, Malika?’ Tapi, rasanya cukup buat nenangin kepala yang lagi riuh sama urusan hidup. Karena buat aku, kamu bukan cuma seseorang yang pakai nama Gray dan ngasih kabar. Kamu itu sumber tenaga dan bahagiaku, Mas.”
Camelia, mencoba meredakan guncangan yang mulai terasa di dadanya. “Makanya, waktu kamu tiba-tiba ngilang, aku ngerasa kayak dicampakkan. Sedih, kesal, tapi aku tahan. Karena aku nggak mau terlihat lemah.”
Tanpa berkata apa-apa, Sena lalu merangkul lengan kekasihnya, mencoba menyalurkan ketulusan lewat kehangatan tubuhnya. “Maaf, waktu itu aku terlalu kacau. Aku bingung dan jujur, aku takut,”
Camelia mengangkat kepala, menatap wajah pria yang kini begitu dekat.
“Aku takut kalau aku muncul, kamu justru pergi lebih jauh, karena aku nggak bisa kehilangan kamu, Sayang. Beneran nggak bisa.” lanjut Sena, suaranya terdengar dalam dan penuh sesal.
Mata Camelia berkaca-kaca. Dalam diamnya, ia tahu luka itu perlahan mulai sembuh, karena peluk yang datang kali ini, tidak lagi menghilang.
Ternyata, pulih itu bukan tentang kembali seperti dulu. Bukan pula soal menghapus segalanya seolah tak pernah terjadi. Pulih adalah ketika kita bisa berdamai dengan luka, dengan masa lalu, dengan diri sendiri.
Saat trauma dan kenangan pahit tak lagi menjadi pusat dari segalanya, melainkan sekadar bagian dari perjalanan panjang yang membentuk siapa kita hari ini.
Pulih adalah ketika pelukan dari orang terkasih terasa hangat, bukan lagi menakutkan. Ketika senyum bisa kembali mengembang, bukan sebagai topeng, tapi sebagai wujud syukur.
Meski bekasnya tak hilang, bukan karena lupa, tapi karena kita sudah belajar menerima. Bahwa tak semua luka harus sembuh sempurna, beberapa cukup dijadikan pengingat bahwa kita pernah bertahan. Sebab hidup terus berjalan, dan kita pun memilih untuk ikut melangkah.