Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22.Ketakutan yang menghantui
Hari itu hujan turun pelan di atap rumah tua di sudut desa. Suaranya seperti bisikan luka yang belum selesai disembuhkan, mengetuk-ngetuk jendela dengan ritme lembut tapi mengusik. Di balik pintu kamar kayu yang tertutup rapat, Keira duduk membelakangi jendela, tubuhnya menggigil bukan karena dingin, tapi karena sunyi yang menekan dada seperti bongkahan batu. Rambutnya terurai, sedikit basah oleh uap hujan yang menembus ventilasi, dan matanya menatap kosong ke luar, menelan tetes hujan yang jatuh di kaca.
Sudah tiga hari Keira tak keluar kamar sejak kejadian di gudang bersama Aldi. Ia menolak makan teratur, tak membuka ponsel, bahkan menolak semua suara yang mencoba menembus isolasinya. Pak Mahendra, yang biasanya tenang, kini menatap lantai sambil mengerat genggaman tangannya, raut wajahnya penuh kecemasan.
"Mas… coba kamu yang bicara. Mungkin Kayla lebih nyaman sama kamu," ucap Pak Mahendra, suaranya gemetar tipis, mata yang biasanya hangat kini penuh cemas, seolah memohon pada Aldi untuk menemukan kata yang tepat.
Aldi mengangguk pelan, menelan ludah, dan melangkah menuju pintu kamar dengan hati-hati. Tubuhnya menegang, seakan setiap ketukan tangannya bisa merobek ketenangan Keira yang rapuh.
"Key…" suaranya lembut, hampir berbisik, menahan kegelisahan yang menggulung di dadanya. Tangannya terangkat, mengetuk pintu pelan, lalu meredam diri sejenak. "Kamu di dalam, kan? Bisa bicara sebentar? Bapak kamu… khawatir sama kamu, Key."
Dari balik pintu, suara lirih terdengar, nyaris hilang ditelan hujan. "Aku baik-baik aja, Pak." Kata-kata itu datar, lemah, tapi menyimpan keteguhan yang rapuh.
Aldi menunduk, jari-jarinya mengepal di sisi tubuh, menahan dorongan untuk mendorong pintu lebih keras. “Kalau kamu baik-baik aja, kamu nggak bakal mengurung diri kayak gini. Kalau ada yang salah… kamu harus cerita. Jangan diam… jangan bikin semua orang khawatir,” ucapnya, suaranya menahan getaran panik. Matanya berkaca, menatap ke arah kayu yang memisahkan mereka, berharap bisa menembus kesunyian itu.
Keheningan kembali menguasai kamar. Hanya suara hujan yang mengetuk atap, seperti detak jantung yang teredam.
"Aku bakal keluar kalau aku udah baikan… bisa tinggalin aku sendiri dulu, Mas?" suara Keira terdengar lelah, bergetar tipis, tapi ada keteguhan yang sulit ditembus. Bibirnya menekuk, rahangnya tegang, jari-jarinya meremas kain di pangkuan, tanda bahwa hatinya berperang antara menyerah dan bertahan.
Aldi menunduk, menahan desahnya. Ia tahu tidak ada kata yang bisa langsung menembus dinding hati Keira. Hanya bisa menghela napas panjang, melangkah mundur, menyerah sementara, tapi matanya tak lepas dari pintu itu, waspada setiap detik.
Pak Mahendra menatap pintu itu dengan mata kosong, bahu turun-naik menahan ketakutan yang lama terpendam. "Bapak cuma takut… Kayla kembali depresi lagi… seperti waktu SMP dulu. Waktu ibu mertua bapak… Ibu Rahayu meninggal." Suaranya parau, tangan yang biasanya mantap kini saling mengunci, seakan ingin menahan luka lama dari kembali terbuka.
"Tenang aja, Pak… Kayla nggak akan mengulangi kesalahan yang sama dua kali," ucap Aldi, mencoba meyakinkan. Tapi di balik kata-kata itu, hatinya tetap mencemaskan Keira yang sekarang berpura-pura menjadi Kayla. Matanya berkeliling, menelusuri tiap sudut kamar, memperhatikan setiap benda yang mungkin bisa menenangkan atau justru memperparah suasana hati Keira—buku yang terselip di sudut meja, tirai yang basah oleh hujan, botol obat yang tak tersentuh di meja samping.
Tak ada yang tahu tekanan yang dirasakan Keira saat ini. Jantungnya berdetak cepat, pikiran kacau, tubuhnya tegang. Hanya Aldi yang bisa menahan napasnya, menatap pintu, dan berharap—dengan segenap tenaga—bahwa Keira segera keluar dari kamar dan menghirup udara yang membebaskan, meski hanya sedikit.
____
Pak Mahendra terus memandangi pintu kamar anaknya, bahu sedikit menunduk, tangan terkepal di samping tubuhnya seolah ingin menahan dunia agar tetap diam. Bayangan itu datang lagi, menghancurkan ketenangan yang semu, menelanjangi luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. Napasnya tersengal, dada berdebar, tapi ia tetap diam, menahan tangis yang nyaris tumpah.
Di dalam kamar, Kayla terkapar di sudut berdebu, punggung menempel di dinding kayu yang dingin. Matanya terbuka lebar, kosong, namun basah dan membengkak. Tangannya meremas kain baju terakhir neneknya, jari-jari menggenggam erat, kuku menekan kain hingga merah, tapi ia tidak menangis. Tangis yang telah lama ditahan terlalu berat untuk dibiarkan mengalir.
Sejak Nenek Rahayu meninggal, dunianya ikut terkubur bersama liang lahat yang dingin dan sunyi. Nenek adalah satu-satunya tempat pulang, satu-satunya peluk yang tak menuntut apa pun. Ingatan itu muncul seperti bayangan yang menampar dada Kayla, dan seketika ia berhenti menjadi anak yang ceria. Wajahnya pucat, pipi menipis, rambut kusut menutupi sebagian wajahnya.
Enam bulan lamanya, pagi dan malam melebur menjadi satu warna kelabu yang tak dikenalnya lagi. Ia hanya diam, menolak makan, menolak sekolah, menolak bicara. Selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya, bahkan cahaya matahari pun ia tolak. Ia tidur memeluk baju terakhir neneknya, aroma sabun mandi dan minyak kayu putih masih melekat, menjadi satu-satunya pengganti pelukan yang tak bisa ia rasakan. Setiap malam, ia menciumnya, berharap bisa bermimpi, sekali saja, dipeluk neneknya kembali.
Setiap ketukan di pintu—lambat, ragu, atau tergesa—hanya membuatnya menekuk tubuh lebih dalam, menarik selimut hingga menutup wajah. Tangannya yang kecil menahan udara, seolah menahan dunia luar agar tak masuk. Suara pintu, deru hujan di atap, dan aroma kayu kamar yang menua seakan memperkuat jarak yang ia ciptakan antara dirinya dan dunia.
Pak Mahendra, yang duduk di lantai, punggung bersandar ke pintu, tangan menyentuh kayu dingin, pernah menahan tangis selama berjam-jam. Bibirnya gemetar, mata menatap penuh harap, tubuhnya sedikit menunduk seakan ingin masuk ke dalam ruang itu dan menarik putrinya keluar. Ia berbisik, memanggil nama Kayla, suara parau oleh air mata yang tertahan. Tapi Kayla tetap di balik tembok bisu nya, menolak, menghilang dari dunia yang pernah ia kenal.
Kini, setelah kejadian di gudang, setelah luka-luka lama terkuak kembali, setelah cinta dan trauma saling bertabrakan, Kayla kembali ke titik itu. Tatapan kosong, tubuh yang terkulai, napas yang pelan tapi bergetar—Pak Mahendra melihat semuanya dengan jelas. Jari-jarinya menekuk, tangan yang biasanya tegar kini gemetar, bibirnya mengerucut menahan tangis.
Ia tahu, jika Kayla jatuh sekali lagi ke jurang yang sama, kali ini mungkin ia tak akan bisa membawanya kembali. Hatinya tercekat, dada terasa sesak, dan matanya berkaca-kaca menatap putrinya yang tampak hilang dalam keheningan.
___
Kayla bahkan belum sepenuhnya mengingat siapa dirinya, tapi kini ia kembali mengurung diri di kamar. Hujan menetes pelan di atap rumah, suara tetesannya seperti gema luka lama yang tak kunjung sembuh.
“Kenapa hidup Kayla dipenuhi begitu banyak cobaan?” bisik Pak Mahendra, matanya menyapu pintu kamar anaknya, dadanya terasa sesak. Ia menoleh pada Aldi, suara seraknya memecah hening.
“Apa karena bapak yang kurang memberinya kebahagiaan?”
Aldi menunduk sebentar, menahan perasaan cemas yang mengganjal di dada. “Jangan berpikiran seperti itu, Pak. Kayla sangat menyayangi Bapak.”
Pak Mahendra menghela napas panjang. “Bapak hanya takut Kayla membenci bapak… karena bapak tidak punya apa-apa. Bapak takut Kayla meninggalkan bapak seperti ibunya dulu.” Matanya berkaca-kaca, pandangannya tetap menempel di pintu kamar, tangan gemetar memegang pegangan kursi.
Aldi menelan ludah, diam sejenak, hatinya menegang. Ia tak bisa membayangkan bagaimana Pak Mahendra akan menanggapi jika tahu yang sekarang bersamanya bukanlah Kayla. “Kayla tidak akan kemana-mana, Pak,” ucapnya menenangkan, menepuk bahu Pak Mahendra pelan.
“Makasi, Mas Aldi,” jawab Mahendra dengan senyum lelah tapi hangat. Matanya tetap belum bisa lepas dari pintu, seolah berharap sekecil apa pun gerakan Kayla, ia bisa mengetahuinya.
____
Di kamar itu, Keira berdiri di depan cermin besar. Tangannya gemetar saat menggenggam rambut panjangnya yang dulu menjadi ciri khasnya. Ia menggunting rambut itu dengan paksa, satu helaian, dua, tiga. Setiap helai jatuh ke lantai seperti serpihan dirinya yang ingin ia buang jauh-jauh.
Tubuhnya bergetar hebat, napas tersengal, dada sesak. Tapi ia menahan gemetar itu dan tetap melanjutkan, mengoyak masa lalunya satu per satu. Wajah yang kini terpantul di cermin tak lagi ia kenali.
“Aku harus berubah… aku bukan Keira lagi,” gumamnya, bibir bergetar, mata berkaca-kaca. Ia menatap bayangan dirinya sendiri, menelusuri garis wajah yang dulu familiar tapi kini terasa asing.
Napasnya tercekat. Tangan gemetar menyentuh kaca, seakan ingin menahan diri agar tak jatuh ke dalam kesedihan. “Kalau penampilanku berubah… Leo akan kesulitan mengenaliku. Aku dan dia sudah bukan bagian dari dunia yang sama. Aku harus jadi sosok baru… aku harus jadi Kayla.”
Tatapannya menusuk cermin. Mata yang dulu penuh harap kini menyimpan dendam halus pada takdir, bayangan yang sama yang selalu menimpanya. Ia mencondongkan tubuh, menatap rambut yang berserakan di lantai—simbol masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam.
“Aku bukan Keira lagi… aku adalah Kayla. Mulai sekarang, aku akan bertahan sebagai orang lain, bahkan jika aku harus melawan diriku sendiri.” Tangan gemetar memegang gunting, napas berat tersangkut di dada.
Ia menunduk, menekan bibir, menahan air mata yang mengalir tak tertahankan. “Tidak ada yang boleh tahu aku ada di sini,” gumamnya lirih, suara pecah dan bergetar, seolah setiap kata adalah sumpah yang harus ia pegang mati-matian.
Seluruh ruangan hening, hanya suara hujan dan detak jantungnya yang terdengar, menciptakan atmosfer tegang, pilu, dan penuh tekad—Kayla baru saja menutup pintu masa lalunya dan memulai hidupnya sebagai sosok lain.
$$$$$$
Mobil hitam itu meluncur pelan meninggalkan rumah sakit. Hujan baru saja reda, meninggalkan kaca mobil yang masih basah, dan aroma tanah basah menusuk lewat celah jendela. Lampu jalan yang basah memantul di permukaan jalan, menciptakan bayangan samar yang bergerak perlahan di kaca.
Di kursi belakang, Kayla duduk kaku. Tangan terlipat di pangkuan, pandangan lurus ke luar jendela, menatap tetesan air yang jatuh perlahan. Di sampingnya, Leo—suami iblis yang tak henti menyiksa, sekaligus pria yang membuatnya berubah menjadi sosok yang bahkan ia sendiri tidak kenali—duduk tenang. Tangannya meraih genggaman Kayla, menutup jari-jari dinginnya dengan erat, seolah itu hal paling wajar di dunia.
Kayla segera melepaskan genggaman itu begitu pintu mobil tertutup. Bahunya tegang, rahangnya mengeras.
“Udah deh, gue gak lumpuh. Masih bisa jalan sendiri tanpa lo papah segala,” ucapnya ketus, suaranya datar tapi penuh ketegangan, mata menatap lurus ke depan tanpa menoleh sedikit pun.
Leo hanya tersenyum, senyum tipis yang bagi orang lain mungkin terlihat manis, tapi bagi Kayla—yang tinggal dalam luka lama rumah tangga mereka—senyum itu seperti kabut racun: tipis, tapi mematikan.
“Aku tahu,” jawab Leo pelan, suaranya datar, tapi setiap kata seperti menahan gelombang emosi yang menekan di dadanya. “Tapi... aku cuma takut kau kenapa-kenapa lagi. Tubuhmu masih lemah.”
Kayla tertawa sinis, tawa itu hampa, tanpa kebahagiaan. Kepala sedikit digoyangkan ke samping, bibir menekuk. “Cukup, Leo. Lo gak usah acting lagi. Gak cocok.”
“Siapa yang acting?” tanya Leo sambil menoleh, menatapnya dengan mata yang tajam tapi tersembunyi lembut di balik senyum tipis. “Apa aku harus berlutut di depanmu dulu agar kau percaya? Atau pelukanku, tangisku, doaku… itu masih belum bisa ngebuktiin keseriusanku?”
Kayla melirik sekilas, mata menahan lelah, penuh curiga. Ia menarik napas panjang, pundaknya menegang. “Menurut lo?”
Leo menggenggam tangannya lagi, kali ini lebih erat, jari-jari mengepal lembut tapi menahan. “Aku tahu aku harus lebih dari itu. Aku akan buktikan lagi. Aku akan jadi suami terbaikmu, Keira…”
Tangannya ditepis kasar. Kayla menunduk, menekuk bahu, dan menghela napas panjang. Suara napasnya bergemuruh di telinga sendiri.
“Gue bukan Keira yang bisa lo bodohi dengan sikap sok baik lo itu,” gumamnya sambil menatap lurus ke jalan yang basah di luar, mata memerah tapi bersinar penuh kemarahan. “Dan gue gak butuh suami, apalagi yang ngaku terbaik padahal cuma terlatih menyakiti.”
“Karna gue nggak bodoh,” lanjutnya, bibir menekuk, tangan gemetar sedikit saat menggenggam tas di pangkuan. “Gue menantikan siasat apa lagi yang sedang lo rancang kali ini, Leo.”
Leo terdiam sesaat. Senyum masih menempel di wajahnya, tipis, tapi ada retakan kecil di balik mata yang menatap lurus ke depan, memantul di kaca jendela. Tangannya yang sebelumnya menggenggam Kayla perlahan menurunkan, jari-jari bersilang di pangkuan.
‘Dia memang keras kepala,’ batinnya, napasnya terdengar berat, dada berdebar. ‘Tapi justru itu yang menarik. Dia tidak mudah percaya, tidak mudah dikendalikan. Tapi tetap saja, aku tahu titik lemah yang ia sembunyikan. Dan cepat atau lambat… dia akan kembali, dengan caraku.’
Senyumnya tipis, hampir tersenyum penuh kemenangan. Kayla memejamkan mata, menggigit bibir bawah, menahan gemuruh di dadanya. Tubuhnya kaku, napas tersengal, hati berperang antara ingin menyerah dan ingin bertahan. Ia tahu Leo belum menyerah, tapi kali ini… ia juga tak akan mudah tunduk.
.
.
.
Bersambung
Makanya jadi suami yang normal-normal aja😂