Sila, seorang gadis karier dari dunia modern yang tajam lidah tapi berhati lembut, terbangun suatu pagi bukan di apartemennya, melainkan di sebuah istana mewah penuh hiasan emas dan para pelayan bersujud di depannya—eh, bukan karena hormat, tapi karena mereka kira dia sudah gila!
Ternyata, Sila telah transmigrasi ke tubuh seorang selir rendahan bernama Mei Lian, yang posisinya di istana begitu... tak dianggap, sampai-sampai namanya pun tidak pernah disebut dalam daftar selir resmi. Parahnya lagi, istana tempat ia tinggal terletak di sudut belakang yang lebih mirip gudang istana daripada paviliun selir.
Namun, Sila bukan wanita yang mudah menyerah. Dengan modal logika zaman modern, kepintarannya, serta lidah tajamnya yang bisa menusuk tanpa harus bicara kasar, ia mulai menata ulang hidup Mei Lian dengan gaya “CEO ala selir buangan”.
Dari membuat masker lumpur untuk para selir berjerawat, membuka jasa konsultasi percintaan rahasia untuk para kasim.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Musim gugur kembali menyelimuti langit Tianli dengan keemasan yang lembut. Namun istana tak lagi sama seperti dahulu.
Tak ada lagi suara tapak kaki kecil yang tergesa-gesa. Kini, langkah-langkah itu tegap, percaya diri, dan penuh wibawa.
Rui Feng, sang putra Mahkota kekaisaran Liang berjalan menyusuri lorong utama aula pengadilan bersama gurunya. Tubuhnya menjulang dengan tinggi yang mulai menyaingi ayahandanya. Rambutnya diikat rapi dengan ornamen giok biru, dan sorot matanya tajam namun tetap ramah.
Di sisi lain, Lang Yue muncul dengan hanfu ungu muda yang menjuntai elegan. Ia tak hanya cantik menawan, tapi dikenal akan kecerdasannya di bidang strategi dan filsafat. Dan tentu saja, senyum isengnya tak pernah hilang.
“Gege, kamu lupa membalas surat dari Pangeran Shan dari Selatan. Dia mengundangmu ke turnamen menunggang kuda,” Lang Yue menyodorkan sebuah gulungan surat.
Rui Feng mendesah. “Kalau bisa aku tukar semua surat diplomatik dengan teh hangat dan kebun bunga, aku akan lakukan.”
“Sayangnya kamu pewaris tahta, bukan tukang kebun,” kata Lang Yue sambil terkekeh.
Yao Mei yang kini menjadi pelayan pribadi Lang Yue dan juga sahabat terdekatnya ikut tertawa. Di belakang Rui Feng, Yao Zhen berdiri dengan posisi pengawal. Kini tubuhnya kekar dan matanya awas, namun ia masih menyimpan kesetiaan murni pada sang putra mahkota.
...------...
Hari itu, istana menerima kunjungan dari utusan Kekaisaran Tulian. Anak lelaki kaisar Tian, Pangeran muda bernama Tian Rensu, diundang untuk menjalin hubungan perdamaian. Dan kebetulan... ia seumuran dengan Lang Yue dan Rui Feng.
Ketika Lang Yue muncul di ruang perjamuan, Pangeran Tian Rensu tertegun sesaat. Ia membungkuk sopan dan berkata, “Kecantikan dan karisma Anda, Putri Lang Yue, telah lama saya dengar dari para pelukis istana kami. Tapi mereka rupanya terlalu hemat pujian.”
Lang Yue mengedip ke arah Yao Mei. “Dia pintar merayu. Jangan sampai aku kelewatan membalas.”
Rui Feng memiringkan kepala. “Kalau dia terlalu banyak memuji, aku kirim dia pulang pakai unta.”
Di usia ketiganya belas tahun, Rui Feng mulai mengambil bagian dalam sidang negeri, membaca laporan provinsi, dan ikut dalam rapat kecil bersama Kaisar Liang Xu.
Sedangkan Lang Yue, meski belum duduk di kursi kekuasaan, sering dimintai pendapat oleh para menteri karena solusi-solusinya yang cerdas dan praktis. Termasuk satu usul gilanya minggu lalu:
“Jika distribusi beras tersendat di lembah barat karena longsor, kita kirim lewat sungai dengan rakit raksasa yang ditarik angsa! …Eh, kalau tak bisa angsa, setidaknya perahu.”
Semua menteri tertawa. Tapi dua hari kemudian, ide perahu sungai itu berhasil menyelamatkan satu desa dari kelaparan.
Malam harinya, di balkon utama, Mei Lin duduk sambil mengamati kedua anaknya dari jauh. Kaisar Liang Xu datang membawa selimut kecil.
“Mereka sudah besar... dan tak membutuhkan kita seperti dulu,” katanya pelan.
Mei Lin menggeleng. “Mereka akan selalu butuh kita. Tapi sekarang, mereka mulai tahu caranya berdiri sendiri. Aku bangga... tapi juga sedih.”
Kaisar Liang Xu memandang istrinya. “Kalau mereka setengah saja seperti ibunya... maka kerajaan ini akan selamat seribu tahun.”
Mei Lin mencubit pinggang suaminya. “Berhenti merayu, Kaisar. Aku sudah tua.”
“Tapi makin tua makin manis,” bisik Liang Xu sambil tersenyum.
Malam itu, istana tak hanya diterangi lentera. Tapi juga cahaya dari dua sosok remaja luar biasa Rui Feng dan Lang Yue yang kini mulai dikenal seantero negeri sebagai Cahaya Timur dan Barat.
Dan dunia... perlahan menyadari bahwa kedamaian Liang mungkin akan terus terjaga bukan karena kekuatan perang.
Tapi karena cinta, didikan, dan tawa—yang ditanamkan oleh seorang perempuan luar biasa: Permaisuri Mei Lin.
...----------------...
keesokan harinya
Langit di pelabuhan barat berwarna kelabu. Ombak menghantam dermaga dengan liar, dan para pedagang mulai mengeluh karena kapal tak bisa berlabuh. Tapi itu bukan masalah utama.
Masalah sebenarnya adalah hilangnya beberapa peti logam kekaisaran... dan kabar tentang penyusup berbaju hitam yang muncul lalu menghilang di tengah keramaian.
Di istana laporan ini masuk ke tangan Kaisar Liang Xu. Sebelum ia sempat menunjuk siapa pun, suara Rui Feng terdengar tegas:
“Ayahanda, izinkan aku dan adikku menyelidiki langsung.”
Lang Yue berdiri di sebelahnya sambil tersenyum ceria. “Kami akan menyamar. Kami sudah terbiasa dengan penyamaran, bukan?”
Mei Lin yang mendengar itu langsung menyipitkan mata. “Penyamaran macam apa kali ini? Jangan bilang kamu mau pakai jenggot palsu dan jadi pedagang kuda lagi, Feng'er.”
Rui Feng tersenyum. “Bukan kuda, sekarang aku jadi tukang perahu.”
Lang Yue menambahkan, “Dan aku jadi penyair miskin. Tapi tetap cantik.”
----
Saat tidak mendapatkan izin mereka berangkat diam-diam, ditemani oleh dua orang kepercayaan: Yao Zhen si pengawal gagah dan Yao Mei si pelayan setia yang kini lebih seperti kakak ketiga bagi keduanya.
Rui Feng mengenakan jubah coklat kusam, membawa dayung besar. Lang Yue mengikat rambutnya acak-acakan dan menyandang gulungan puisi-puisi tak karuan.
“Kalau aku membacakan puisiku, musuh pasti kabur,” kata Lang Yue sambil tertawa.
Yao Mei menjawab, “Lebih baik kamu diam. Bahaya utama bisa datang dari suaramu sendiri.”
Di pasar pelabuhan, mereka melihat seorang anak kecil dikejar tentara penjaga kota. Ia memeluk sebuah guci tua dan wajahnya penuh ketakutan.
Lang Yue segera maju, mengangkat tangan. “Berhenti! Apa anak sekecil itu bisa mencuri peti logam seberat dua kuda?”
Tentara kebingungan. “Tapi dia mencurigakan…”
Rui Feng maju dan dengan lembut bertanya pada si anak. “Apa kamu mencuri sesuatu?”
Anak itu geleng kepala. “Aku hanya… ingin menyembunyikan guci peninggalan ayahku dari orang-orang berbaju hitam. Mereka mengincarnya.”
Lang Yue melirik isi guci itu. Di dalamnya, ada potongan logam kecil berbentuk lambang kekaisaran Bai Xu.
“Pasti ada yang menyelundupkan harta negara lewat pelabuhan gelap,” ucap Rui Feng.
Mereka menyusuri jejak pelabuhan malam hari. Saat itu, mereka tak sadar bahwa empat pria berpakaian hitam sudah mengintai sejak siang.
Saat mereka tiba di gudang kosong, para pria bertopeng itu menyerang.
“Lang Yue, lindungi anak itu!” teriak Rui Feng sambil mencabut pedangnya.
Lang Yue, dengan kelincahan luar biasa, menarik Yao Mei dan si anak kecil ke sudut. “Zhen ge! Tutupi kami!”
Pertarungan berlangsung cepat dan intens. Tapi Rui Feng telah belajar dari ayahandanya. Dengan satu sabetan cepat, ia melucuti senjata lawan pertama.
Lang Yue tiba-tiba mengambil batu bata dan melemparnya ke kepala lawan kedua sambil berkata, “Maaf, itu puisi batu.”
Yao Mei dan Yao Zhen ikut membantu hingga keempat penyerang akhirnya berhasil dilumpuhkan.
Dari interogasi, diketahui bahwa kelompok itu adalah mata-mata dari wilayah perbatasan yang tidak puas atas perdamaian antara Liang dan Bai Xu. Mereka mencuri lambang-lambang resmi agar bisa memfitnah dan menciptakan konflik antara dua kerajaan besar.
“Aku pikir kita sudah tak punya musuh,” gumam Rui Feng.
Lang Yue menimpali, “Musuh selalu ada, Feng’er. Bahkan dalam istana pun kadang ada tikus berkumis.”
Rui Feng tertawa. “Kita pulang. Ibu pasti mencium rencana kita dan sudah memasak bubur cabai buat menghukum kita.”
Kaisar Liang Xu berdiri di tangga utama saat mereka kembali. Wajahnya dingin tapi matanya memancarkan rasa bangga.
“Bagaimana misinya?” tanyanya.
“Berhasil, Ayahanda. Tapi… aku kehilangan sepatuku,” kata Lang Yue sambil mengangkat satu kakinya yang hanya berkaus kaki.
Mei Lin muncul dari balik tiang istana, tangan di pinggang. “Kalau kalian pikir bisa menyelinap keluar tanpa ibumu tahu, kalian salah besar. Sekarang mandi, lalu ke dapur. Kalian akan masak sendiri makan malam!”
Rui Feng dan Lang Yue saling pandang. “Aduh…”
----
Langit malam berpendar di atas istana. Kembar kerajaan kembali membawa kisah.
Rakyat bersyukur.
Kaisar dan Permaisuri bangga.
Dan dua pewaris takhta Kekaisaran Liang… mulai menyadari satu hal penting: dunia lebih luas dari istana, dan masa depan sudah menanti di luar dinding-dinding kekuasaan.
bersambung