Cinta seharusnya tidak menyakiti. Tapi baginya, cinta adalah awal kehancuran.
Yujin Lee percaya bahwa Lino hanyalah kakak tingkat yang baik, dan Jiya Han adalah sahabat yang sempurna. Dia tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum manis Lino, tersembunyi obsesi mematikan yang siap membakarnya hidup-hidup. Sebuah salah paham merenggut persahabatannya dengan Jiya, dan sebuah malam kelam merenggut segalanya—termasuk kepercayaan dan masa depannya.
Dia melarikan diri, menyamar sebagai Felicia Lee, berusaha membangun kehidupan baru di antara reruntuhan hatinya. Namun, bayang-bayang masa lalu tidak pernah benar-benar pergi. Lino, seperti setan yang haus balas, tidak akan membiarkan mawar hitamnya mekar untuk pria lain—terutama bukan untuk Christopher Lee, saudara tirinya sendiri yang telah lama mencintai Yujin dengan tulus.
Sampai kapan Felicia harus berlari? Dan berapa harga yang harus dibayar untuk benar-benar bebas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Restoran Italia di area Cheongdam-dong malam itu dipenuhi dengan aroma truffle dan bisikan percakapan romantis. Lilin yang ditempatkan di setiap meja memancarkan cahaya lembut, menciptakan suasana intim yang sempurna.
Di salah satu meja sudut, Lee Lino duduk di hadapan Han Jiya. Jiya tampak berseri-seri, matanya dipenuhi pendar kebahagiaan. Lino mengenakan setelan kasual yang elegan, dan ia memainkan perannya dengan sangat baik.
"Aku senang sekali kau mau menyempatkan waktu, Oppa," kata Jiya, menyesap wine merahnya dengan senyum. "Aku tahu kau sangat sibuk dengan persiapan ujian dan organisasi Ayahmu."
Lino meraih tangan Jiya yang berada di atas meja, menggenggamnya dengan kehangatan yang dipelajari. Jiya langsung membalas genggaman itu, matanya memancarkan rasa syukur.
"Tentu saja aku menyempatkan diri, Sayang," jawab Lino, suaranya lembut dan meyakinkan. "Sesibuk apa pun aku, kau adalah prioritasku. Kau tahu itu, 'kan?"
"Ya, aku tahu," Jiya mengangguk. "Terima kasih, Oppa. Aku merasa sangat dihargai."
Lino menatap Jiya, mempertahankan senyumnya yang sempurna. Namun, di balik mata yang lembut itu, ada kebosanan yang mendalam. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri karena harus mengucapkan kalimat-kalimat manis ini, tetapi ini adalah harga yang harus ia bayar.
𝘋𝘪𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩. 𝘒𝘢𝘵𝘢-𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘳𝘢𝘳𝘵𝘪 𝘢𝘱𝘢-𝘢𝘱𝘢, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘶𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘭𝘢𝘯 𝘬𝘦 𝘥𝘦𝘱𝘢𝘯.
Mereka berbicara tentang kuliah, teman-teman, dan rencana liburan. Jiya bercerita dengan antusias, dan Lino mendengarkan dengan sabar, sesekali menyela dengan pertanyaan cerdas untuk menunjukkan ketertarikannya.
Namun, di tengah cerita Jiya tentang kasus hukum yang menarik, tatapan Lino tanpa sengaja beralih ke pintu masuk. Ia mengharapkan Yujin tiba-tiba muncul di restoran ini, meskipun ia tahu kemungkinan itu sangat kecil.
𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘩𝘪𝘯𝘥𝘢𝘳𝘪𝘬𝘶, 𝘓𝘦𝘦 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯?
Ketidakmampuan Lino untuk mendapatkan Yujin secara langsung telah meningkatkan obsesinya menjadi tantangan yang harus ia taklukkan.
Lino kembali fokus pada Jiya, yang sedang menunggunya menanggapi ceritanya.
"Kau sangat pintar, Jiya. Aku yakin kau akan menjadi pengacara yang hebat suatu saat nanti," puji Lino, sentuhannya di tangan Jiya semakin erat.
Jiya merona. "Aku akan hebat karena kau selalu mendukungku, Oppa."
"Aku akan selalu mendukungmu. Tentu saja," janji Lino, sebuah janji palsu yang terdengar indah di telinga Jiya.
Saat pelayan datang untuk membersihkan piring pembuka, Jiya berdiri.
"Aku ke toilet sebentar, Oppa. Kau mau pesan dessert?"
"Pesan saja apa pun yang kau suka, Sayang. Aku akan menunggumu di sini." Lino melepaskan genggaman tangannya, memberikan senyum yang meyakinkan.
Begitu Jiya menghilang di balik pintu toilet, senyum Lino runtuh. Ekspresinya seketika berubah dingin dan perhitungan. Wajahnya yang lembut kini tampak seperti topeng yang dilepas, menampakkan kegelapan di baliknya.
Lino segera meraih ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan mencari nama Lee Yujin. Ia tidak boleh menyia-nyiakan waktu; Jiya bisa kembali kapan saja.
Ia menekan tombol panggil.
Di seberang telepon, Yujin sedang berada di rumah, bekerja di meja desainnya, berusaha keras menyelesaikan proyek kuliah yang menumpuk.
"𝘏𝘢𝘭𝘰?" suara Yujin terdengar waspada, tetapi tidak kasar.
"Yujin, maaf mengganggumu selarut ini," kata Lino, nadanya diubah menjadi serius.
"𝘠𝘢, 𝘖𝘱𝘱𝘢? 𝘈𝘥𝘢 𝘢𝘱𝘢?"
"Ini tentang desain Ayahku," Lino berbohong tanpa cela. Ayahnya, seorang dokter spesialis, tidak ada hubungannya dengan desain interior. "Ayahku sedang renovasi ruang praktiknya. Aku ingat kau bekerja di Butik Vanté, dan kau mempunyai selera yang bagus. Aku membutuhkan saranmu untuk pemilihan warna dan tekstur minimalis untuk ruang tunggu."
Yujin terdiam sejenak. Ia tahu ini alasan yang sangat lemah. Lino punya Christopher, desainer yang jauh lebih hebat di rumahnya. Tapi Yujin terlalu sopan untuk langsung menolak.
"𝘈𝘬𝘶 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘥𝘦𝘴𝘢𝘪𝘯 𝘪𝘯𝘵𝘦𝘳𝘪𝘰𝘳, 𝘖𝘱𝘱𝘢," jawab Yujin hati-hati. "𝘈𝘬𝘶 𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘊𝘩𝘳𝘪𝘴𝘵𝘰𝘱𝘩𝘦𝘳 𝘖𝘱𝘱𝘢 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘤𝘰𝘤𝘰𝘬 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘵𝘶𝘮𝘶."
Lino menghela napas yang dibuat-buat lelah. "Christopher terlalu sibuk akhir-akhir ini. Dan kau tahu, seleranya terlalu... avant-garde untuk ruang tunggu medis yang seharusnya tenang. Aku butuh sentuhanmu yang lembut dan minimalis, Yujin."
Lino berbicara dengan cepat, tidak memberikan Yujin kesempatan untuk berpikir. Ia tahu kelemahan Yujin adalah sifat tidak tegaan dan rasa hormatnya pada kakak tingkat.
"Aku janji tidak akan lama. Bisakah kita bertemu sebentar besok sore di kafe dekat kampus? Aku akan tunjukkan beberapa sample dan kau hanya perlu memberikan pendapatmu saja," pinta Lino, nadanya penuh permohonan yang direkayasa.
Yujin merasa terjebak. Ia tidak ingin bertemu Lino, tetapi menolak 'bantuan' untuk Ayah Lino terasa tidak sopan.
"𝘉𝘢𝘪𝘬𝘭𝘢𝘩, 𝘖𝘱𝘱𝘢. 𝘉𝘦𝘴𝘰𝘬 𝘴𝘰𝘳𝘦, 𝘺𝘢. 𝘗𝘶𝘬𝘶𝘭 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵, 𝘥𝘪 𝘒𝘢𝘧𝘦 𝘚𝘰𝘳𝘪," putus Yujin, nadanya pasrah. "𝘛𝘢𝘱𝘪 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘯𝘵𝘢𝘳. 𝘈𝘬𝘶 𝘢𝘥𝘢 𝘱𝘦𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘢𝘯 𝘣𝘶𝘵𝘪𝘬 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘪𝘵𝘶."
"Tentu! Aku janji hanya sebentar. Terima kasih banyak, Yujin. Kau adalah penyelamatku," Lino menyimpulkan, nadanya berubah ceria, padahal tidak pernah ia gunakan saat berbicara dengan Jiya.
Lino menutup teleponnya. Ia meletakkan ponselnya di meja, dan senyum dingin kembali terukir di wajahnya.
"𝘓𝘪𝘩𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩? 𝘚𝘦𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘪𝘯𝘪. 𝘚𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘩𝘢𝘯𝘺𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘪𝘱𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘭𝘢𝘴𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘱𝘢𝘵. 𝘛𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘺𝘢𝘬𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘵𝘶𝘩𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯𝘯𝘺𝘢. 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘰𝘭𝘢𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢𝘢𝘯 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨, 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘮𝘪𝘯𝘵𝘢𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘩𝘶𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘶𝘢."
Lino menghela napas puas, menyandarkan punggungnya ke kursi yang empuk. Ia merasakan lonjakan kegembiraan yang ia rasakan setiap kali ia berhasil memanipulasi situasi untuk semakin dekat dengan Yujin.
"Besok sore. Aku akan menguasai setiap detik pertemuan itu. Aku akan menunjukkan betapa indahnya jika kami bekerja sama. Betapa sempurna dirinya untuk berada di sisiku, bukan di samping si bodoh Kim Taehyung, atau si anak haram Christopher."
Kebenciannya pada Christopher begitu mendalam, berasal dari rasa inferioritas yang diselimuti oleh status sosial Lino yang 'sempurna'. Christopher, putra ibu tiri Lino, selalu lebih tenang, lebih berbakat dalam desain, dan yang paling penting, lebih dicintai oleh Ayah Lino, meskipun Christopher adalah anak dari pernikahan sebelumnya.
Lino percaya, merebut Yujin dari Christopher adalah cara terbaik untuk membalas dendam pada seluruh keluarganya, termasuk Ayahnya sendiri.
Dan Jiya? Lino menoleh ke pintu toilet.
Jiya keluar, tampak segar dan cantik.
Lino segera mengaktifkan topengnya kembali. Ia tersenyum hangat, meraih tangan Jiya seolah ia baru saja merindukannya selama berjam-jam.
"Aku sudah memesan Tiramisu kesukaanmu," kata Lino manis. "Maaf membuatmu menunggu. Aku baru saja mendapat telepon mendadak dari Ayah. Ada masalah kecil, tapi sudah teratasi."
"Tidak apa-apa, Oppa! Aku senang kau menyelesaikan masalah itu dengan cepat," Jiya duduk kembali, matanya penuh cinta. Ia sama sekali tidak curiga sedikitpun. "Aku sangat bangga padamu."
Lino tersenyum, mengamati Jiya yang mulai menikmati tiramisu-nya. Ia merasa superior. Jiya begitu mudah diperdaya oleh sepotong kebohongan kecil dan janji manis. Jiya adalah pintu gerbang teraman menuju Yujin, dan Lino tidak akan menyia-nyiakannya.
𝘉𝘪𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘑𝘪𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘱𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢. 𝘚𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘥𝘪𝘢 𝘺𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘬𝘶, 𝘴𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘮𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘠𝘶𝘫𝘪𝘯.
Di tengah cahaya lilin yang romantis, Lino menyesap wine-nya. Kencan malam itu terasa seperti kemenangan besar. Ia telah berhasil menjerat Yujin untuk bertemu dengannya besok, dengan Jiya sebagai perisainya.
Ia adalah aktor ulung dalam drama kehidupannya sendiri, dan ia menikmati setiap detik kemunafikan itu.
.
.
.
.
.
.
.
— Bersambung —