Alda Putri Anggara kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan tumbuh di bawah asuhan paman dan bibi yang serakah, menguasai seluruh harta warisan orang tuanya. Di rumah sendiri, Alda diperlakukan seperti pembantu, ditindas oleh sepupunya, Sinta, yang selalu iri karena kecantikan dan kepintaran Alda. Hidupnya hanya dipenuhi hinaan, kerja keras, dan kesepian hingga suatu hari kecelakaan tragis merenggut nyawanya untuk beberapa menit. Alda mati suri, namun jiwa seorang konglomerat wanita cerdas dan tangguh bernama Aurora masuk ke tubuhnya. Sejak saat itu, Alda bukan lagi gadis lemah. Ia menjadi berani, tajam, dan tak mudah diinjak.
Ketika pamannya menjodohkannya dengan Arsen pewaris perusahaan besar yang lumpuh dan berhati dingin hidup Alda berubah drastis. Bukannya tunduk, ia justru menaklukkan hati sang suami, membongkar kebusukan keluarganya, dan membalas semua ketidakadilan dengan cerdas, lucu, dan penuh kejutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 – “Aku, Istri Si Dingin yang Tak Tersentuh”
Hari hari menjadi istri sah Arsen Varmond ternyata… jauh dari kata romantis.
Aurora...eh maksudnya, Alda versi upgrade mulai hari ini terbangun pagi-pagi, menatap suaminya yang masih terlelap di kursi roda
Ya, benar. Di kursi roda.
Bukan karena dia insomnia, tapi karena kamar mereka dipisah.
Satu kamar besar buat Arsen, satu kamar tamu kecil buat Alda.
“Wow, nikah tapi kayak kontrak kos-kosan. Romantis banget,” gumamnya sarkastik sambil ngaca.
Namun Alda tidak kesal. Ia justru tersenyum miring.
“Tenang saja, Tuan Dingin. Aku bakal bikin kamu panas tanpa sentuhan.”
---
Saat sarapan, semua pelayan menatap aneh.
Maklum, biasanya rumah besar itu sunyi kayak museum. Tapi sekarang pagi pagi ?
Ada tawa, bau kopi, dan... suara seseorang menyanyi sumbang di dapur.
“Laa laa laa… siapa yang mau sarapan cinta hari inii~”
Kepala pelayan hampir menjatuhkan piring.
Dan di meja makan, Arsen hanya bisa menatap istri barunya yang datang dengan celemek berbentuk kelinci.
“Pagi, suamiku yang dingin tapi menawan!” seru Aurora ceria.
Arsen mengangkat alis. “Kamu selalu seberisik ini di pagi hari? Tumben sekali”
“Bukan berisik, Tuan. Ini energi positif.”
Alda duduk, menuangkan kopi untuknya. “Kopi spesial buatan istrimu. Dijamin bikin hidupmu gak hambar lagi.”
Arsen mendesah pelan, tapi meminum juga.
Dan ketika rasa kopi menyentuh lidahnya, ia menatapnya takjub. “Ini… enak.”
Aurora tersenyum puas. “Tentu. Aku barista, bukan barbie.”
Pelayan di belakang menahan tawa. Arsen menunduk sedikit, menutupi senyum yang tiba-tiba muncul.
Untuk pertama kalinya, suasana rumah itu terasa... hidup.
---
Beberapa bulan berjalan, Alda benar-benar mengubah segalanya.
Ia mengatur ulang dekorasi rumah, menyingkirkan perabot mahal tapi suram, menggantinya dengan tanaman hijau dan aroma kopi.
Pelayan yang dulu tegang kini sering tertawa.
Dan Arsen? Meski masih dingin, kini lebih sering keluar kamar.
Suatu sore, Aurora mendapati dia di halaman belakang, membaca dokumen di kursi rodanya.
“Kerja terus, Tuan Dingin?”
“Bisnis gak bisa berhenti cuma karena pernikahan pura-pura,” jawab Arsen tanpa menoleh.
Alda mengangkat alis. “Siapa bilang pura-pura? Aku udah masak, nyuci, dan bikin kamu senyum dua kali hari ini. Itu udah jadi istri sejati versi modern.”
Arsen menatapnya. “Kamu menghitung senyumku?”
“Tentu. Langka banget, kayak gerhana matahari.”
Arsen menahan tawa, tapi gagal. Aurora tersenyum puas.
---
Namun di balik tawa, Aurora tidak lupa pada misi utamanya, balas dendam manis pada keluarga bibi Ratna dan kelak, pada dua pengkhianat yang membunuhnya di kehidupan lalu.
Malam itu, ia duduk di balkon, menatap kota dengan laptop di pangkuan.
“Langkah pertama, ambil kembali apa yang jadi hak Alda,” gumamnya.
Dengan otaknya yang masih menyimpan semua kemampuan bisnisnya sebagai Aurora Valente, ia membuka akun lama perusahaan keluarga Joko Ratna—dan dalam waktu satu jam, menemukan daftar manipulasi harta warisan orang tua Alda.
Aurora terkekeh. “Lihatlah, Bibi Ratna sayang. Kau pikir aku anak bodoh, tapi aku adalah versi upgrade Alda plus Aurora Valente 2.0.”
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang.
“Kamu ketawa kayak penjahat kartun.”
Aurora menoleh cepat. Arsen berdiri di ambang pintu balkon, memegang secangkir teh.
“Wah, Tuan Dingin belajar bercanda? Kemajuan pesat.”
“Aku penasaran. Kamu sebenarnya siapa, sih?”
Alda menatapnya, lalu tersenyum genit. “Istrimu. Calon pengacau hidupmu, mungkin.”
Arsen menatap lama, lalu berkata pelan, “Kamu beda dari gadis manapun yang pernah kutemui.”
Alda mencondongkan badan. “Itu karena aku bukan gadis biasa.”
Mereka saling tatap. Udara seolah berhenti sejenak.
Sampai akhirnya Aurora tersenyum dan berdiri. “Aku ke dapur dulu. Kamu mau roti atau... aku?”
Arsen hampir tersedak. “Roti.”
Alda tertawa keras. “Sayang sekali. Padahal yang kedua lebih enak.”
---
Keesokan harinya, Aurora memulai “misi kecil” berikutnya: menghadapi keluarga lamanya.
Ia datang ke rumah Bibi Ratna dengan mobil mewah keluarga Varmond.
Begitu turun, semua tetangga melongo.
Bibi Ratna langsung panik. “A-Alda?! Kamu datang buat apa?!”
Alda tersenyum manis tapi tajam. “Oh, cuma mau bagi rezeki. Kalian kan suka rezeki?”
Sinta keluar dengan gaun mencolok, matanya langsung iri melihat perhiasan di tubuh Aurora.
“Sombongnya, mentang mentang sudah nikah" ujar Sinta
Aurora mendekat, menepuk bahunya. “Tenang, Sin. Kalau kamu mau, aku bisa bantu cariin juga... asal kamu siap dapet yang tua, botak, dan ngorok.”
Sinta mendengus. “Kamu sombong banget!”
“Aku cuma realistis,” Aurora tersenyum tajam. “Dulu kalian ambil semua harta orang tuaku. Sekarang... aku cuma mau kasih kabar: rumah ini udah atas nama siapa ya kira-kira?”
Bibi Ratna pucat. “A-apa maksudmu?”
Aurora mengeluarkan berkas dari tasnya dan menaruh di meja. “Surat balik nama. Lengkap. Hukum suka keadilan, Bi, asal punya bukti dan kecerdasan.”
Sinta ternganga. “Kamu curang!”
Aurora tersenyum manis. “Oh, tidak, sayang. Aku cuma main sesuai aturan. Bedanya, aku tahu aturannya lebih dulu.”
Ia berbalik, melambaikan tangan. “Nikmatilah pemandangan terakhir dari rumah ini sebelum kalian harus... keluar.”
Sinta berteriak marah, tapi Aurora sudah melangkah pergi—dengan gaya seperti ratu.
---
Malamnya, di rumah, Arsen mendengar kabar dari media sosial: “Keluarga Ratna kehilangan rumah akibat penipuan pajak.”
Ia menatap Aurora yang sedang menata bunga. “Kamu ada hubungannya sama berita ini?”
Aurora tersenyum tanpa dosa. “Tentu saja tidak… aku cuma bantu pajak menemukan bukti.”
Arsen menatapnya lama, lalu tertawa kecil. “Kamu berbahaya.”
Aurora menatap balik, senyum menggoda. “Tapi menyenangkan, kan?”
Arsen menatapnya lagi, kali ini dengan pandangan berbeda hangat, bukan lagi dingin.
Ia menghela napas. “Ya. Menyenangkan sekali.”
Aurora mendekat, berbisik di telinganya.
“Dan ini baru pemanasan, Tuan Varmond. Belum saatnya kamu tahu… betapa chaos-nya hidupmu nanti kalau aku mulai jatuh cinta.”
Arsen menatapnya, separuh senyum muncul di wajahnya.“Kalau kamu jatuh cinta, aku harap aku yang jadi alasnya.”
Aurora terkekeh. “Deal.”
---
Malam itu, mereka duduk bersama di teras, menatap langit yang berkilau.
Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan Arsen, tawa lembut terdengar dari mulutnya.
Dan untuk pertama kalinya sejak kematian Aurora Valente, jantungnya berdebar bukan karena dendam… tapi karena cinta yang tumbuh di antara dua orang yang sama-sama patah tapi berani.
Namun di sudut hatinya, Aurora masih berjanji:
“Setelah Bibi Ratna dan Sinta, selanjutnya giliran kalian… suamiku dan sahabatku yang dulu membunuhku. Tunggu saja. Balas dendamku akan datang dengan lipstik dan senyuman.”
Bersambung