Apa jadinya jika kakak beradik saling jatuh cinta. Seluruh dunia bahkan menentang hubungan mereka.
Dan tanpa mereka sadari, mereka telah melakukan sumpah untuk sehidup semati bersama.
Hingga sebuah kecelakaan mengakhiri salah satu hidup dari mereka.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Apakah mereka memang ditakdirkan untuk hidup bersama?
Ikuti jalan ceritanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yenny Een, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 Diusir
Setelah dinyatakan sehat, Hakim keluar dari rumah sakit. Hakim melihat kegelisahan di wajah Amina. Sepanjang perjalanan Amina hanya meneteskan air mata. Hakim bertanya ada apa gerangan.
Amina masih menahan emosi di dalam dada. Amina hanya menunjukkan rekaman CCTV di ponsel Hakim. Hakim melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mata Hakim membelalak, Hakim mengepalkan tangannya.
Amina menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Sopir Amina sebenarnya tahu perbuatan Laila pada Nabila malam itu karena dia kebetulan ada di dapur. Sopir Amina memilih bungkam karena takut Laila akan memecatnya. Sopir Amina hanya diam saat mendengar rekaman CCTV itu.
Mobil mereka memasuki halaman rumah. Hakim membuka pintu mobil. Dengan langkah panjangnya Hakim masuk ke dalam. Laila dan Hadi kaget melihat Hakim yang pulang dari rumah sakit.
"Hakim, kamu sudah sehat?" Laila menghampiri Hakim.
"Ma tolong dijelasin. Apa yang Mama lakukan pada Nabila!" Hakim menunjukkan rekaman CCTV kepada Laila.
Laila tidak menyangka sama sekali, di ruang tamu rumah Hakim ada CCTV. Laila bukannya menyesali perbuatannya. Laila bahkan menyalahkan semua ini pada Amina.
Hadi marah besar, lagi-lagi Laila menyalahkan semua yang terjadi kepada Amina.
"Sudah berapa kali Mama bilang, jangan menikah dengan Amina. Ini akibatnya jika tidak tahu asal usul calon istrimu! Lihat, setelah menikah, kalian lama punya anak. Ketika anak kalian lahir. Mereka tidak ada yang bener!"
PLAK!
PLAK!
Hadi sudah tidak terima dengan semua perkataan Laila. Kali ini Laila sungguh tidak bisa dimaafkan. Laila egois tidak mengakui kesalahannya. Selalu menyalahkan orang lain.
Hakim saat itu hanya diam. Hakim sama sekali tidak membela Amina. Hakim sempat berpikir jangan-jangan yang dikatakan Laila ada benarnya. Ini semua karena Amina.
Amina terduduk menangis di lantai rumahnya. Sakit hati Amina mendengar semua yang dilontarkan mama mertuanya. Ternyata mama mertuanya masih menganggapnya orang yang tidak pantas mendampingi Hakim.
Selama ini Amina selalu menerima Hakim apa adanya. Amina sering mendapatkan perlakuan kasar dari Laila. Amina ikhlas menjalani kehidupannya.
Amina memandangi Hakim yang berdiri di depannya. Hakim sama sekali tidak membelanya dan malah membuang muka. Semenjak kepergian Nabil, Hakim berubah. Amina sering mencium bau alkohol setiap kali Hakim pulang larut malam.
"Maafkan saya. Tapi kok Mama tega Ingin membunuh janin Nabila. Apa yang akan terjadi jika saja Nabila minum air itu? Apakah Mama berani menjamin air itu hanya akan menggugurkan janinnya saja? Bagaimana dengan Nabila? Apakah Mama ingin Nabila menyusul Nabil?" Amina kembali meraung sedih.
"Cukup Amina!" kali ini Hakim menatap lekat Amina.
Jauh di dalam hati, Hakim juga sangat marah atas perlakuan kasar Laila kepada Nabila. Tapi entah mengapa, setelah mendengar Amina berani melawan Laila, Hakim tidak terima. Biar bagaimanapun Laila adalah ibu kandungnya.
"Maaf, Ma, Pa, jika saya membuat malu keluarga. Semua ini terjadi karena perbuatan seseorang yang dendam kepada kami," isak Amina.
"Amina, apa maksudmu?" Hadi membantu Amina berdiri.
Amina kemudian memberitahu mereka apa yang dikatakan Kiran kepadanya. Dan Amina meminta bantuan papa mertuanya untuk mencari tahu siapa sebenarnya Amelia. Mengapa dia ingin menghancurkan keluarganya.
Dan seseorang mengetuk pintu dan langsung masuk ke ruang tamu. Dia adalah pengawal Hadi. Dia memberikan informasi, sekarang ini Fadli dan Dina berada di kantor polisi karena Amel ditangkap polisi.
"Amel ditangkap polisi?" Hadi membulatkan matanya.
"Sudah lama tidak melihat Amel. Pa, Hakim Ikut ke kantor polisi," kata Hakim.
"Ma, ingat Amina tidak bersalah," bisik Hadi sebelum meninggalkan rumah Hakim.
Laila menatap tajam ke arah Amina. Laila memaki Amina habis-habisan. Selama berpuluh-puluh tahun pernikahan, baru kali ini Hadi memukulnya di hadapan Hakim dan Amina.
Laila tidak terima, Laila mengusir Amina keluar dari rumah Hakim. Amina menangis dan tidak sedikitpun beranjak dari tempatnya. Laila terus memaksa Amina. Laila mengambil sebuah kartu berwarna hitam. Laila memasukkan kartu itu ke dalam tas Amina.
"Pergi! Keluar dari rumah ini!"
"Ma, sebegitu bencinya kah Mama? Saya gak mau pergi kecuali Mas Hakim meminta," Amina mengatupkan kedua tangannya.
"Hakim menyesal punya istri seperti kamu! Pergiiiiiiii!"
Amina ditarik paksa oleh Laila sampai ke depan pagar rumahnya. Amina didorong keluar. Laila menyuruh satpam mengunci pagar dan tidak membiarkan Amina masuk ke dalam rumah.
Amina menangis histeris. Amina memandangi rumahnya dari balik pagar. Amina perlahan berjalan menyusuri jalan. Pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan. Mengapa hanya dia yang disalahkan. Apa hanya dia yang mempunyai kesialan.
Amina juga tidak terima jika terus disalahkan. Amina bukan Nabi yang bisa sempurna. Amina juga tidak luput dari dosa. Amina tidak bisa melawan takdir jika kedua anaknya saling mencintai. Sekeras apapun Amina menentang hubungan mereka, kenyataannya Nabila mengandung anak Nabil.
Amina semakin berat melangkah. Amina merasa tidak sanggup memikul beban hidup ini sendirian. Baru beberapa bulan Nabil pergi meninggalkannya. Sekarang Nabila juga lari bersembunyi dari kejaran Laila. Amina juga diusir dari rumahnya sendiri.
"Amina! Amina!" suara panggilan itu menyadarkan Amina dari lamunan.
Amina menoleh ke arah kanannya. Kiran menurunkan jendela mobilnya dan menyuruh Amina untuk masuk ke dalam mobilnya. Amina pun masuk.
"Kamu kenapa? Aku tadi mampir ke rumah, tapi kata Pak Satpam kamu baru saja keluar dari rumah dan Pak Satpam bilang kamu diusir dari rumah."
Amina tidak bisa lagi menahan air mata yang sudah kesekian kalinya mengalir. Kiran membawa Amina ke rumahnya. Di perjalanan Amina berbagi kesedihan kepada sahabatnya.
"Amel? Siapa?" tanya Kiran.
"Sepupu Hakim," jawab Amina.
"Dia, yang dulu suka sama Hakim? Bukannya Tante Laila mengusir keluarganya?"
"Katanya dia ada di kantor polisi."
"Apa jangan-jangan Amelia itu adalah Amel sepupu Hakim?"
"Mustahil, Kiran, aku lapar," Amina memegang perutnya.
Kiran mampir ke rumah makan. Mereka masuk ke dalam rumah makan dan memilih duduk di samping pohon hias sakura. Mereka memesan makanan.
Dari kejauhan Amina melihat Surya memasuki rumah makan yang sama dengan mereka. Amina menutupi wajahnya agar tidak terlihat. Ternyata tempat duduk Surya persis di belakangnya. Kiran bertanya kenapa Amina bertingkah aneh.
Amina menaruh telunjuk di atas bibirnya meminta Kiran untuk diam. Amina mengirim pesan kepada Kiran bahwa di belakangnya ada Surya yang waktu itu ditolak Nabila.
Kiran memperhatikan Surya yang seolah menunggu seseorang. Dan benar, tidak berapa lama seorang cowok seusia Surya duduk di depan Surya.
"Kusut amat lu?" ledek teman Surya.
"Gila! Gue hampir aja bonyok dihajar massa!" Surya sedikit memukul meja.
"Napa lu? Maling ya?" ejak temannya lagi.
"Wan yang benar aja lu! Orang tua gue kaya. Gara-gara teman Nabila, teriakin gue maling!
"Hah? Serius? Penasaran gue," Iwan mendekatkan diri.
"Tadinya gue mau nyulik Nabila. Gue mau dia aborsi," kata Surya.
"APAAAAAAAA!" sontak Amina bangkit dari duduknya.
GEBRAAAAAKKK!
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...