SEASON 1!!!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading Guyss🌷🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MELAMAR
Daren duduk bersila di sudut barak, cahaya lentera kecil menari lembut di atas lembar demi lembar halaman buku yang kini mulai ia kenali sebagai miliknya. Jari-jarinya perlahan menelusuri kalimat-kalimat di sana, berat, asing, namun tak terasa mengancam.
Bukunya sangat tebal.
Ia beranjak dan mengangkat buku lama yang sudah dipenuhi sobekan dan noda darah, buku pemberian Kanel sudah terlalu rusak. Bahkan beberapa halaman nyaris lepas.
“Maafkan saya, Komandan...” bisiknya, menggenggam buku itu seolah hendak menyelamatkan kenangan yang tertinggal di sela-selanya.
Malam menebar dingin yang sunyi. Namun di tempat lain, sebuah ruang kerja tua masih menyala. Di sana, Kanel berdiri membelakangi meja kerjanya, menatap langit malam yang jernih dari jendela besar yang dibiarkan terbuka.
Cahaya bulan jatuh ke lantai batu seperti jalan perak yang membentang di hadapannya.
Tok. Tok.
Suara ketukan lembut memecah keheningan. “Maaf, aku sedikit terlambat.”
Karin melangkah masuk, rambutnya diikat sederhana, matanya lelah tapi tetap tenang. Kanel menoleh, matanya melunak saat melihat perempuan itu.
“Duduklah,” katanya.
Karin duduk perlahan di kursi seberang meja. Ia tahu, ini bukan hanya tentang urusan perban atau dapur. Wajah Kanel menunjukkan sesuatu yang lebih dalam.
“Apa yang ingin dibicarakan, Komandan?”
Kursi kayu tua itu berderit pelan saat Kanel akhirnya duduk, menyandarkan tubuhnya yang tampak lebih lelah dari biasanya. Malam telah larut, tetapi ruangan itu masih diterangi cahaya lentera yang menggantung rendah. Di hadapannya, Karin duduk tenang, menunggu seperti biasa, sabar dan penuh rasa hormat.
Namun malam ini, Kanel tidak membawa laporan. Tidak pula evaluasi barak atau strategi militer. Ada sesuatu yang jauh lebih rumit dari itu. Lebih sulit dari perang mana pun yang pernah ia menangkan.
“Karin…” suaranya dalam, hampir seperti gumaman. Ia menatap meja, bukan wajah perempuan di depannya. “Apa kau… sudah memiliki pasangan?”
Karin mengerjapkan mata. Pertanyaan itu datang seperti angin asing di tengah hari yang biasa. Tidak kasar, tidak tiba-tiba, tapi cukup mengejutkan untuk membuat napasnya tertahan sejenak.
“Pasangan?” ulangnya pelan. “Tidak. Aku rasa… belum saatnya memikirkan itu.”
Keheningan menjalar. Tidak membeku, tapi menggantung. Kegugupan mereka bukanlah jenis yang kikuk, melainkan jenis yang muncul saat dua orang dewasa akhirnya menyentuh sesuatu yang telah terlalu lama dihindari.
Kanel menatapnya kini, langsung dan dalam.
“Kalau begitu…” ia menarik napas. Dalam, berat. “Bagaimana jika kau menikah denganku?”
Dunia seolah hening selama beberapa detik.
Karin membelalak. Kata-kata itu menabrak pikirannya dengan kekuatan halus yang tidak bisa ia sangkal. Bukan karena ia tak pernah membayangkannya. Tapi karena ia tak pernah menyangka pria ini, pria sependiam dan setegas Kanel... akan benar-benar mengucapkannya.
“Menikah…?” gumam Karin, nadanya nyaris seperti bisikan.
“Benar.” Kanel mencondongkan tubuhnya sedikit. Kini suara dan sorot matanya serupa nada seorang jenderal yang memutuskan jalannya sendiri. “Beberapa surat dari bangsawan luar sudah datang. Mereka mulai menawarkan anak-anak mereka untuk dijodohkan dengan Gerald. Dan sebelum semuanya berubah menjadi urusan politik kerajaan… aku ingin mendahuluinya.”
Karin diam, menatapnya dengan mata yang masih menyimpan keterkejutan. Tapi jauh di balik itu, ada sesuatu yang lain, halus, lama, dan penuh kehati-hatian.
“Pernikahan seorang putra mahkota sering dilakukan bahkan sebelum ia dewasa,” lanjut Kanel pelan. “Demi aliansi. Persatuan. Aku tak bisa menghindari itu untuk Gerald. Tapi aku bisa memilih apa yang kulakukan untuk diriku sendiri. Dan aku… ingin memilihmu.”
Karin mencoba bicara, namun suara yang keluar dari tenggorokannya nyaris hanya bisikan.
“Tapi…”
Namun sebelum ia dapat menyelesaikannya, Kanel lebih dulu bicara, nada suaranya sedikit lebih cepat dari biasanya, seolah ingin menepis kesalahpahaman sebelum tumbuh.
“Karin, kau bisa menolak jika keberatan. Ini bukan paksaan,” katanya, nyaris gugup. Kalimat itu terdengar seperti seseorang yang telah bersiap kehilangan jawaban yang ia harapkan.
Karin terdiam. Matanya menatap lelaki itu, seorang komandan yang dulu adalah jenderal paling ditakuti dan dihormati. Seorang pria yang dalam sekejap diseret jatuh dari takhtanya karena fitnah keji. Nama yang dulu dielu-elukan, kini sering diucap dengan lirih dan bisik-bisik.
Semua karena satu tuduhan yang tak pernah terbukti, meniduri selir istana, Selena Noctelle.
Namun Karin tahu lebih dari siapa pun bahwa Kanel tidak seperti itu. Ia tahu karena ia melihatnya bukan sebagai jenderal, bukan sebagai bangsawan. Tapi sebagai seseorang yang dahulu membantunya, mengajari bagaimana menegang pang yang benar, dan menegakkan punggungnya saat semua meremehkan gadis kecil di ruang tabib.
“Apa… Anda tidak akan meninggalkan saya?” tanyanya akhirnya, pelan, namun penuh makna. Bukan karena ragu, tapi karena takut kehilangan.
Kanel menatapnya dalam-dalam. Kali ini, tak ada jawaban cepat. Ia diam.
“Aku tidak ingin kehilangan siapa pun,” lanjut Karin, suara serak, “jika orang itu… sudah masuk dalam hidupku.”
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan jujur.
Kanel menghela napas panjang. Ia menunduk sejenak, lalu menatap Karin lagi dengan mata yang tidak lagi sekeras baja, tapi seperti seseorang yang tahu betapa rapuhnya semua hal yang ia cintai.
“Karin… aku tidak tahu harus menjawab apa,” katanya lirih. “Hidupku bukan hidup yang tenang. Aku tak duduk manis di perpustakaan atau ruang tabib seperti para bangsawan damai. Aku berada di medan yang berbeda, yang tak pernah menjanjikan umur panjang…”
Lalu ia menambahkan, hampir tak terdengar, “Aku juga benci kehilangan. Dan lebih benci lagi… meninggalkan.”
Karin mengalihkan pandangan. Di dalam hatinya, kenangan bertumpuk.
Ia ingat tangan Kanel yang mengangkatnya dari tanah yang dipenuhi reruntuhan. Ingat suara tenangnya yang menyuruhnya harus tetap hiddup, bahkan saat semua orang menyuruhnya menyerah. Ingat sosok yang berdiri di depan ruang tabib dengan luka di pundaknya, tapi masih sempat tersenyum.
Ia tahu bahwa Kanel pernah memiliki banyak lamaran, ia tahu para gadis istana dan bangsawan sangat menginginkan posisi sebagai istrinya.
Sangat sempurna untuk diriku, tapi...
Lalu, dengan suara yang mantap dan perlahan, Karin menatapnya kembali.
“Benar…,” katanya.
Kanel mengerjap, sedikit bingung.
“Baiklah,” lanjut Karin dengan senyum kecil yang menahan gemetar. “Aku akan menikah denganmu.”
Kanel tampak semakin gugup. Ia menarik napas panjang, lalu mencoba tersenyum, meski senyum itu masih terasa canggung.
“Baiklah… aku akan segera memberi tahu kakakku. Dan… menggelar pernikahan untuk kita.” Suaranya lirih, namun penuh kesungguhan.
Karin hanya mengangguk pelan. Ada keheningan sejenak yang nyaman, sebelum ia bertanya dengan suara lebih ringan, mencoba mencairkan suasana.
“Oh ya… Gerald. Menurutmu, ia akan memilih siapa sebagai pendampingnya nanti?”
Nada suaranya terdengar seperti pertanyaan iseng, tapi sorot matanya mengandung rasa ingin tahu yang tulus.
Kanel tidak langsung menjawab. Ia melangkah pelan menuju jendela besar yang menghadap taman istana. Di luar sana, bulan menggantung utuh, menyinari halaman dengan cahaya perak yang lembut. Ia berdiri diam, menatap langit seperti sedang mencari jawabannya di antara bintang-bintang.
Karin ikut mendekat, berdiri di sampingnya. Mereka berdua terdiam cukup lama, hanya ditemani semilir angin dan suara lembut daun yang bergesekan.
“Aku juga tidak tahu,” ujar Kanel akhirnya, suaranya rendah, nyaris seperti gumaman. “Gerald… dia tidak mungkin memilih pendamping yang biasa.”
Karin menoleh ke arah pria itu. “Maksudmu?”
Kanel tetap menatap bulan saat menjawab.
“Bukan tentang keturunan atau kecantikan. Tapi Gerald… dia tumbuh dalam dunia yang penuh tekanan, strategi, dan pengkhianatan. Ia akan mencari seseorang yang bisa mengimbangi langkahnya. Yang tak hanya berdiri di sampingnya, tapi juga di belakangnya saat ia goyah.”
Ia menoleh perlahan ke arah Karin. “Itu sebabnya, aku belum yakin siapa yang bisa memenuhi harapan itu.”