Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Lelah
"Dia bukan Hania!" Sabil melepaskan penutup kepala dari hodie gadis itu. "Ada yang sedang mempermainkan ku!" geram Sabil.
Ia gegas pergi meninggalkan klinik yang sudah mengabarkan keberadaan Hania (palsu).
Dari seberang jalan dimana klinik berada, seseorang di dalam mobil sedan hitam menekan sebuah nomer yang terhubung dengan asisten Raditya.
"Untuk saat ini dia bisa terkecoh, lain kali cari cara yang lebih baik agar dia tidak curiga pada putraku!" Arman mematikan sambungan teleponnya. Dia adalah papa Raditya.
"Dan ingat jaga baik-baik gadis itu, jangan sampai adikku menemukannya!" sambungnya
Fajar sudah menyingsing saat Sabil pulang ke rumah Papa mertuanya dengan wajah kusut dan lesu. Langkahnya terhenti saat melihat Papa mertuanya sedang berbincang dengan Arman dan Raditya. Mereka datang untuk mengucapkan bela sungkawa secara langsung, karena Arman baru sempat datang ke rumah duka. Arman dan Raditya tersenyum dengan wajah teduh, seolah tidak ada yang sedang mereka tutupi.
"Sabil, maaf om baru bisa hadir. Kami turut bela sungkawa atas meninggalnya istrimu," ucap Arman 'sepertinya' tulus. "Semoga Danisha Husnul khatimah," imbuhnya, kali ini sorot matanya menyimpan keteduhan.
Sabil mengulas senyuman tipis, segaris tanpa ekspresi berlebihan. "Terima kasih, om." Kini matanya tertuju pada Raditya, "Radit, bagaimana bonekamu, apa dia masih sakit?" tanyanya, suaranya rendah dan serak menyimpan kesedihan. Ia sangat mengkhawatirkan Hania.
"Sudah lebih baik setelah kamu datang, tapi sayangnya kamu dokter yang pelit. Kamu tidak mau memberinya obat dan infusan padanya."
Di balik wajah Raditya yang datar dan terkesan mampu mengontrol diri, Sabil bisa merasakan ketegangan yang sahabatnya tutupi. Dia berusaha tersenyum tipis seolah dunianya sedang ia tenangkan.
"Apa dia masih mengalami sakit perut, gelisah dan terus menangis? Badannya masih demam dan tubuhnya menggigil?" tanya Sabil, kali ini ia nyaris tidak sanggup membendung airmatanya. Matanya memerah penuh luka.
Teringat saat terakhir Hania mengalami gerd dan serangan panik, kondisinya sangat memprihatinkan. Sabil yakin, Hania ada dalam genggaman tangan Raditya saat ini. Cara Raditya berdiri dengan percaya diri, menunjukkan tindakan salahnya sedang disupport oleh orang-orang di sekitarnya.
Raditya mencondongkan tubuhnya ke depan Sabil. "Kamu bilang dia hanya boneka, tidak bisa merasakan sakit dan tidak bernapas." Senyumnya menyeringai. "Tidak mungkin kan dia akan mengalami itu semua. Ingat dia bukan manusia, bro!"
Sabil terpancing, ia menarik kerah kemeja Raditya dengan kasar. "Ini tentang nyawa, jangan main-main denganku!" ucapnya, suaranya mendesis tajam menunjukkan taring dan menyemburkan bisa.
Ketakutan menggantung di mata Raditya. Bola matanya menelusuri mata merah penuh amarah dan luka dari manik mata Sabil. Tangan Raditya mulai gemetar, serangan kecil Sabil seolah akan menghancurkan dunianya.
"Hei, apa-apaan kalian," Arman melerai cengkeraman tangan Sabil. "Sabil ada apa?" tanyanya.
"Om lebih tahu apa yang Raditya sembunyikan. Aku peringatkan, jangan sentuh dan sakiti dia. Jika aku bisa membuktikan kesalahan Raditya, aku tidak segan-segan membawa kasus ini ke jalur hukum," ancamnya dengan tegas.
Kemarahan Sabil membangunkan sosok Tya dalam diri Raditya, dia menangis seperti anak perempuan yang ketakutan, dia bersembunyi di balik punggung Papanya sambil menangis sesenggukan dan tangannya mencengkram sisi kain celana Arman.
"Sabil, kamu ini apa-apaan sih! Mereka datang ke sini untuk takziah dan mengirimkan doa pada Nisa, tapi sikapmu seperti ini. Apa yang terjadi?!" pmyel Darmono.
"Hania hilang Pa, hilang saat pemakaman. Dan aku memukan pin Hania ada di kasur Raditya tadi malam."
"Hania siapa? Mengapa kamu seperti kehilangan keluargamu, sementara putriku meninggal kamu tidak sehancur ini!" cecar Darmono menunjukkan kekecewaannya.
Keadaan itu dimanfaatkan Arman untuk berlindung di balik kemarahan sahabatnya.
"Lihatlah, putra angkat mu Darmono, dia berani menuduh dan mengancam kami. Tanah merah istrinya masih basah, dan tamu datang langsung dituduh. Kami tidak mengenal sama sekali nama perempuan itu, tidak ada hubungan kehilangannya dengan kami!"
"Kamu lihat.Sabil, ancamanmu membuat putraku kembali relapse! Susah payah aku mengobati kejiwaannya, tapi gara-gara kamu dia kembali seperti ini. Darmono, aku kecewa pada kalian!" sambil memeluk putranya, Arman bergegas keluar dari rumah Darmono.
Darmono mengepalkan tangannya di atas sandaran tangan kursi roda, matanya menatap tajam ke arah Sabil. "Kamu bukan hanya membuat Papa kecewa dan sedih karena tidak bisa menghargai kematian Nisa, tapi Papa juga merasa malu karena tidak bisa mendidik kamu untuk menghormati Arman dan Raditya."
Pria tua itu memutar kursi rodanya menjauhi Sabil yang tertunduk lesu. Bude dan Wina yang sejak tadi hanya memperhatikan kejadian itu dari jauh, akhirnya mendekat.
Plak!
Pertama kalinya bude menampar Sabil. Akan tetapi amarah sudah menguasai. "Jika ada orang yang harus disalahkan itu, kamu! Jangan menumpahkan kesalahanmu pada orang lain, apalagi menuduh sahabatmu sendiri! Kalau saja kamu tidak menahan ponsel Hania, bude yakin dia sudah menghubungi kita. Bisa saja saat ini dia sedang tersesat."
"Aku kecewa padamu, Bil! Ternyata sepupuku merasakan hidup terkekang bersamamu. Kamu seolah menaruhnya ke dalam sangkar hingga dia sulit bernapas. Bisa saja Hania saat ini sedang melarikan diri darimu!" tuduh Wina dengan tatapan kecewa.
Sabil menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, lalu duduk tertunduk dalam sambil bergumam, "benarkah kamu tertekan hidup bersamaku, Nia?" suaranya lirih tercekat rasa sesal yang mendalam.
Di sebuah gedung pencakar langit, Arman mendorong rak bukunya yang terbuat dari kayu solid mewah di ruang kerjanya. Di balik dinding kayu yang kokoh itu ada sebuah ruangan peristirahatan yang sangat lengkap, seperti sebuah rumah minimalis mewah. Dia mendekati ranjang, dimana tubuh seorang gadis sedang tergeletak lemah di sana dengan selang infusan dan selang oksigen terpasang di hidungnya yang bangir.
Arman menarik kursi, duduk di samping ranjang. Gadis itu hanya melirik dengan lemah.
"Namamu, Hania?" tanyanya lembut.
Hania mengangguk lemah.
"Dimana keluargamu, nak? Apa pekerjaan Papamu, alamatmu? Aku akan memberitahu keluargamu tentang keadaanmu saat ini."
Airmata Hania menetes dari sudut matanya. "A-aku yatim piatu."
Pupil mata Arman membesar, seolah menemukan peluang. "Aku turut prihatin. Anggaplah aku keluargamu yang baru. Putraku... Radit, tidak jahat. Kami tidak berniat menyakitimu. Dia hanya membantumu saat semua orang tidak ada yang peduli padamu." Arman menunggu respon Hania, namun gadis itu hanya diam tanpa respon, tatapan matanya kosong.
Ia menekankan kata 'tidak jahat' pada Hania, agar gadis itu mau bekerjasama dengannya dan tidak menuduh mereka sebagai penculik.
"Raditya sakit, sama sepertimu. Dia butuh teman, dia ingin berteman denganmu. Aku mohon temani dan sayangi putraku seperti seorang teman dan sahabat. Ada sosok anak kecil yang terjebak dalam dirinya, aku tahu kamu anak baik. Bujuk lah putraku untuk kembali pada kodratnya, aku akan membayar semua usahamu hingga putraku sembuh. Anggap kami keluargamu yang baru, nak Hania."
Hania hanya mengedipkan mata satu kali, lalu wajahnya lurus ke arah langit-langit kamar yang tinggi di atas wajahnya. Tatapan matanya tetap kosong, wajahnya memancarkan kelelahan yang teramat sangat. Dalam hatinya ia berbisik lirih ...
Aku lelah dengan kegelisahanku, aku lelah dengan jalan cerita hidupku sendiri. Akhirnya aku menertawakan pikiran yang tumbuh di kepalaku sendiri, jika dia peduli padaku, nyatanya tidak. Dia tidak perduli padaku.
Dia tidak mencari ku, dia sibuk dengan kematian istrinya.
Aku lelah dengan keheningan yang kembali menghantuiku. Aku lelah bertahan, aku lelah menyemangati diriku sendiri.
Aku lelah, dengan kata-kata yang tidak terucap. Dan airmata yang selalu ku sembunyikan agar orang lain tidak dapat melihat. Aku lelah dengan dunia ini. Dan dengan diriku sendiri yang tidak bisa menemukan tempat untukku beristirahat.
Aku tidak tahu mereka orang baik atau orang jahat. Jika saat ini mereka akan membunuhku, aku pasrah, aku ikhlas, aku tidak akan melawan.
Mungkin dengan jalan ini aku akan menemukan kematianku yang damai.
Pintu terbuka.
Raditya masuk dengan memakai piyama berwarna pink dengan motif teddy bear sambil memeluk boneka dua buah, rambutnya di kuncir dua. Pipinya diberi perona yang berantakan dan bibirnya dipulas pewarna merah menyala. Area di atas bibir dan dagunya berwarna hijau muda, five o'clock shadow begitu kentara menghiasi wajahnya.
Raditya melepaskan sendal rumah, lalu naik ke atas ranjang dimana Hania masih terbaring.
"Gadis, main yuk!" ajak Raditya dengan suara imut.
Hania mengernyitkan keningnya.
"Radit, dia masih lelah dan lemas. Dia sakit. Kalau di depan orang sakit, Radit harus gimana sayang?" tanya Arman lembut.
Dengan suara kecil dan manja, Raditya menjawab, "harus disayang, Papa. Harus dielus-elus kepalanya, dikompres keningnya. Kamu masih demam ya, gadis?!" tanya Raditya pada Hania sambil mengedipkan matanya dengan lucu.
Hania tersenyum tipis saat Raditya mengelus-elus lembut pucuk kepalanya sambil menyanyikan lagu nina bobo. Aroma after shave Raditya yang lembut terendus dan masuk ke dalam indera penciuman Hania, begitu menenangkan dan membuat Hania mengenang momen saat dia berada dalam pelukan almarhum papanya.
"Kamu bobo ya, Gadis. Aku akan menemanimu," gumam Raditya.
tetap waspada, hania masih dalam bahaya