NovelToon NovelToon
Om Duda Genit

Om Duda Genit

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Aurora Lune

Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.

Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketika Pikiran Tak Mau Diam

Di dalam kamar kontrakan kecilnya, Nayla langsung menjatuhkan diri ke kasur begitu sampai. baju kerja nya masih melekat di tubuh, aroma kopi dan debu kafe masih menempel samar. Rambutnya sedikit berantakan, pipinya memerah bukan karena lelah, tapi karena rasa malu yang masih belum hilang sejak tadi.

"Sumpah ya... semoga gue nggak ketemu lagi sama abang ojol itu! Malu banget, astagaaaa..." keluh Nayla sambil menutup wajah dengan bantal.

Ia berguling-guling ke kanan dan ke kiri, selimutnya sampai kusut gara-gara tingkahnya sendiri. Setiap kali mengingat momen tadi, di mana tangannya refleks mukul punggung abang ojol, Nayla langsung meringis.

"Ya Allah, Nayla... apa banget sih! Orang normal kalo kepikiran sesuatu ya diem aja, lah ini... malah mukul orang nggak salah apa-apa," omelnya sambil memukul-mukul bantal.

Wajah abang ojol yang kebingungan tadi terbayang jelas di kepalanya. Nayla sampai menirukan dengan suara dibuat-buat.

"'Aduh, kenapa saya dipukul, Mbak? terus gue jawab apa coba? 'Eh, maaf, Bang, ada nyamuk!' Nyamuk apanya?! Padahal aslinya..."

Nayla berhenti, lalu menutup wajahnya rapat dengan kedua tangan.

"Aslinya gara-gara muka si nyebelin itu tiba-tiba nongol di pikiran gue!!" serunya.

Bayangan wajah Arga muncul begitu jelas tatapan dinginnya, senyum tipis yang ngeselin, sampai cara dia minta nomor telepon Nayla di kafe tadi. Nayla langsung menendang-nendang kasur sambil menjerit kecil.

"Kenapaaa sih harus dia yang kepikiran?! Apa gue udah ketempelan setannya dia apa gimana?!"

Ia duduk tegak sambil mengacak-acak rambutnya. "Duh, Nay, Nay... lo tuh kenapa sih? Kesel iya, jengkel iya, malu apalagi. Tapi kok... tiap keinget dia, rasanya jantung gue ikut kebut-kebutan gini."

Nayla buru-buru memukul pipinya sendiri pelan, lalu kembali menjatuhkan diri ke kasur. Ia menutupi seluruh wajah dengan bantal sambil bergumam,

"Udahlah, Nayla. Lupakan. Fokus kuliah, fokus kerja. Jangan mikirin makhluk aneh itu lagi. Titik!"

Tapi sayangnya, meski ia sudah berusaha keras menepis, bayangan senyum genit Arga tetap muncul di kepalanya. Membuat Nayla mendengus kesal, tapi sekaligus tersenyum kecil tanpa sadar.

"Ih, nyebelin banget sih lo, Pak Genit!"

Nayla masih menelungkup di kasur dengan wajah merah padam. Malunya belum juga hilang, apalagi setiap kali bayangan wajah Arga muncul, jantungnya ikut berdebar nggak karuan. Ia menghela napas panjang lalu bangkit duduk.

"Aduh... nggak bisa nih. Gue kayak orang stress. Mending gue mandi terus keramas, siapa tahu langsung fresh, pikiran jadi waras lagi," gumam Nayla sambil memegangi kepalanya yang rasanya penuh sesak oleh bayangan Arga.

Ia melangkah ke arah lemari kecil, membuka pintunya, lalu mengeluarkan handuk berwarna biru muda. "Biar kepala gue dingin sekalian. Siapa tahu habis mandi gue lupa sama semua drama absurd hari ini."

Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi. Sambil berjalan, Nayla masih ngomel sendiri,

"Masa gara-gara muka satu orang itu, hidup gue jadi nggak tenang. Ih, ngeselin banget!"

Begitu masuk kamar mandi, Nayla menaruh handuk di gantungan lalu membuka kran. Suara gemericik air langsung memenuhi ruangan, membuat suasana sedikit menenangkan. Ia berdiri di bawah pancuran, membiarkan air dingin mengguyur seluruh tubuhnya.

"Haaah... segar banget. Bener kan, Nay, mandi tuh obat segala masalah."

Nayla meraih sampo, menuangkannya ke telapak tangan, lalu mulai menggosok rambutnya dengan penuh semangat. Busa sampo menutupi kepalanya, sementara ia menggumam sambil memejamkan mata,

"Cuci bersih semua pikiran aneh, semua bayangan om nyebelin, semua rasa malu tadi... bye-bye ya, Pak Genit. Jangan nongol lagi di kepala gue!"

Namun, bukannya hilang, bayangan senyum Arga justru semakin jelas di kepalanya. Nayla sampai mendesah kesal.

"Astaga, Nayla! Masa udah disampo pun masih aja kepikiran dia. Lo tuh kenapa sih?!"

Ia mengguyur kepalanya dengan air sampai busa hilang, lalu tertawa kecil sendiri. "Ya ampun, kalau ada yang lihat gue ngomong sendiri gini, pasti dikira orang gila."

Setelah selesai, Nayla keluar dengan rambut basah tergerai. Ia mengeringkan badan dan rambutnya dengan handuk, lalu menatap bayangannya di cermin kecil dekat meja rias.

"Oke, sekarang gue fresh. Lebih waras, lebih segar, lebih... cantik!" katanya sambil mengedipkan mata ke pantulan dirinya sendiri, mencoba menghibur diri.

Meski begitu, pipinya masih memerah sedikit, membuktikan bahwa mandi sekalipun nggak bisa sepenuhnya menghapus bayangan wajah Arga dari pikirannya.

*****

Arga merebahkan tubuhnya di atas kasur, satu tangannya menutup wajah. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, tapi pikirannya sibuk memutar kembali wajah Nayla. Senyum tipis gadis itu, tatapan judesnya, bahkan ekspresi paniknya tadi... semua seolah berputar ulang di kepalanya.

"Kenapa sih gue bisa kayak gini?" batin Arga, menghela napas panjang. Ia bahkan sampai mengacak rambutnya sendiri, seolah ingin mengusir bayangan itu.

Tiba-tiba terdengar suara pintu kamarnya yang terbuka pelan. Arga langsung menoleh. Di ambang pintu, tampak Raka putra semata wayangnya berdiri dengan wajah cemberut.

"Papa..." panggil Raka dengan nada manja tapi kesal.

Arga langsung bangun, duduk di pinggir ranjang. "Kenapa, Raka?" tanyanya lembut, memandang penuh perhatian.

Raka masuk sambil menyeret langkah kecilnya, lalu langsung duduk di samping Arga. Ia menggembungkan pipinya, jelas-jelas sedang kesal. "Raka lupa, Pa. Besok harus bawa kolase dari kacang hijau buat tugas sekolah..." ucapnya dengan nada lesu.

Alis Arga langsung berkerut. "Loh, kok kamu baru bilang sekarang? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin?" suaranya tegas tapi nggak marah.

"Raka lupa, Pa..." jawab Raka sambil menunduk, kedua tangannya saling meremas. Wajahnya polos tapi jelas ketakutan dimarahi.

Arga menghela napas, tapi senyum kecil akhirnya muncul di bibirnya. Ia mengusap rambut anaknya pelan. "Ya sudah, besok kita beli aja di toko. Nanti Papa anterin, gampang."

Namun, Raka langsung menggeleng keras-keras. "Nggak bisa, Pa! Harus buat sendiri! Bu Ica bilang, tugasnya harus hasil tangan sendiri biar belajar kreatif." Raka menatap papanya dengan mata bulat penuh tekad.

Arga terdiam sejenak. Dalam hati, ia kagum. Meski masih kecil, anaknya sudah bisa tegas soal tanggung jawab. "Anak Papa pintar banget. Cerdik lagi." gumamnya dalam hati, sambil menepuk pundak Raka bangga.

"Yaudah deh, kalau gitu kita bikin bareng-bareng malam ini. Papa temenin kamu sampai selesai," kata Arga akhirnya, nada suaranya tegas sekaligus penuh kasih.

Mendengar itu, wajah cemberut Raka seketika hilang, berganti dengan senyum cerah. "Beneran, Pa? Papa nggak sibuk?" tanyanya dengan mata berbinar.

Arga mengangguk. "Untuk Raka, Papa selalu ada waktu. Lagian, udah lama juga kita nggak bikin prakarya bareng."

Raka langsung melompat kegirangan, memeluk Arga erat-erat. "Makasih, Pa! Raka janji nanti bikin yang bagus banget, biar Bu Ica bangga sama Raka."

Arga hanya tersenyum lebar sambil membalas pelukan anaknya. "Iya, Papa percaya. Anak Papa kan pintar, pasti bisa bikin kolase kacang hijau paling keren."

Arga berdiri dari tempat tidurnya, lalu menggandeng tangan mungil Raka. "Ayo, kita turun ke dapur."

"Yeay!" teriak Raka girang, meloncat kecil sambil masih menggenggam tangan papanya. Ia benar-benar terlihat semangat, seperti baru saja memenangkan hadiah besar.

Mereka berdua pun melangkah keluar kamar, menuruni tangga perlahan. Raka sibuk ngoceh sepanjang jalan, "Pa, kolasenya nanti kita bikin bentuk gunung aja ya. Atau... bentuk robot? Atau wajah Papa? Lucu kali ya wajah Papa dari kacang hijau, hehehe."

Arga hanya menggeleng sambil tersenyum tipis, wajah cool-nya sedikit luluh melihat celotehan polos itu. "Jangan wajah Papa dong. Bisa-bisa Papa jadi bahan ketawaan satu kelas kamu nanti."

"Kan biar keren, Pa!" sahut Raka sambil nyengir.

Di dapur, Arga berdiri diam beberapa detik, pandangannya menyapu rak dan meja. Ia membuka satu lemari, lalu satu lagi, tanpa banyak ekspresi.

“Kacang hijau,” gumamnya datar.

Tangannya terhenti di depan toples kosong. Alisnya sedikit berkerut, nyaris tak terlihat perubahan di wajahnya, tapi jelas ia mulai kesal. Ia menarik napas pelan, menutup lemari dengan suara lembut tapi tegas.

“Dia simpen di mana, sih,” ucapnya lirih, nada suaranya tetap tenang tapi penuh tekanan halus.

Raka langsung naik ke kursi dapur dan duduk sambil menepuk-nepuk meja. "Pa, kita butuh lem, kertas karton, sama gunting. Raka udah punya kok di tas. Papa ambilin ya?"

Arga mengangkat alis. "Lho, kamu bilang lupa tugas, tapi peralatan lengkap? Nakal juga kamu ya, pura-pura lupa biar Papa nemenin?"

Raka menutup mulutnya, cekikikan. "Hehehe... ketahuan. Raka kan pengen bikin bareng Papa. Soalnya kalau sendirian nggak seru."

“Yasudah, kamu tunggu di ruang tamu aja. Biar Papa cari kacang hijaunya dulu,” ucap Arga tenang, suaranya dalam dan datar seperti biasa.

Raka yang masih duduk di kursi dapur langsung mengangguk kecil. “Oke, Pa,” jawabnya pelan, sebelum berlari kecil menuju ruang tamu.

Arga menatap punggung anaknya sejenak, bibirnya melengkung tipis bukan senyum, tapi semacam ekspresi yang sulit ditebak antara geli dan lelah. Ia menggeleng pelan, lalu berjalan ke arah lemari dapur dengan langkah tenang.

Tangannya membuka satu per satu rak. Pandangannya tajam, teliti, seolah setiap benda di dapur sedang diinterogasi. Tapi semakin lama, dahinya sedikit berkerut.

Ia menarik napas pelan, menutup lemari dengan suara pelan namun tegas. Dari ruang tamu terdengar suara Raka yang bersenandung kecil sambil menonton TV, membuat sudut bibir Arga terangkat tipis.

1
Lembayung Senja
ceritanya mulai seru... semangat buat novelnya.....😍
Jen Nina
Jangan berhenti menulis!
Yusuf Muman
Ini salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap! 👌
Yuri/Yuriko
Bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!