Di dunia ini, tidak semua kisah cinta berawal dari tatapan pertama yang membuat jantung berdegup kencang. Tidak semua pernikahan lahir dari janji manis yang diucapkan di bawah langit penuh bintang. Ada juga kisah yang dimulai dengan desahan kesal, tatapan sinis, dan sebuah keputusan keluarga yang tidak bisa ditolak.
Itulah yang sedang dialami Alira Putri Ramadhani , gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus SMA. Hidupnya selama ini penuh warna, penuh kehebohan, dan penuh canda. Ia dikenal sebagai gadis centil nan bar-bar di lingkungan sekolah maupun keluarganya. Mulutnya nyaris tidak bisa diam, selalu saja ada komentar kocak untuk setiap hal yang ia lihat.
Alira punya rambut hitam panjang bergelombang yang sering ia ikat asal-asalan, kulit putih bersih yang semakin menonjolkan pipinya yang chubby, serta mata bulat besar yang selalu berkilat seperti lampu neon kalau ia sedang punya ide konyol.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siti musleha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 bayangan di balik senyuman
Restoran itu penuh cahaya kristal yang berkilauan dari lampu gantung. Aroma steak yang baru saja keluar dari dapur bercampur dengan suara sendok garpu yang beradu di meja-meja. Malam terlihat biasa saja bagi sebagian besar pengunjung, tapi tidak bagi Adrian.
Sejak masuk, matanya tidak berhenti mengawasi sekitar. Ia tahu betul, orang dari mobil hitam yang mengikuti mereka tadi tidak akan sekadar berhenti di depan restoran.
Sementara itu, Alira duduk di kursi seberang, sibuk membuka menu dengan ekspresi kebingungan. “Mas, kalau aku pesan tiga menu sekaligus, Mas marah nggak?”
Adrian menatapnya datar. “Kau sanggup menghabiskannya?”
“Ya nggak juga sih,” Alira terkekeh. “Tapi kan enak kalau difoto semua. Abis itu aku bilang ke followers: ‘Lagi dinner bareng Mas dingin, jangan iri ya.’ Hehe.”
“Tidak perlu.” Suara Adrian tenang, tapi penuh penekanan.
Alira manyun. “Ihh, Mas ini nggak asik banget. Aku kan cuma bercanda.”
Namun ketika tatapan Adrian tidak berubah, Alira mendengus kecil dan akhirnya memilih menu sederhana. “Yaudah deh… aku pesan pasta aja. Tapi Mas yang traktir, ya.”
Adrian menghela napas singkat. “Kapan saya pernah membiarkanmu membayar?”
“Hehe, iya juga sih,” Alira terkikik, lalu mengedip nakal. “Kalau gitu… aku pesan dessert dua.”
Sebelum Adrian sempat menanggapi, suara langkah sepatu kulit terdengar mendekat. Seorang pria berjas hitam rapi, dengan senyum tenang namun penuh tekanan, berdiri di samping meja mereka.
“Maaf mengganggu,” ucapnya dengan suara rendah namun jelas. “Boleh saya bergabung sebentar?”
Adrian langsung menegakkan tubuh. Matanya menajam, penuh kewaspadaan. “Siapa kau?”
Pria itu tersenyum tipis, seolah tidak terpengaruh oleh dinginnya tatapan Adrian. “Nama bisa nanti. Saya hanya ingin menyapa… CEO Adrian, dan tentu saja, istrinya yang cantik.”
Alira yang sedari tadi sibuk dengan menunya, mendongak kaget. “Eh? Istri cantik? Ohh, maksudnya aku? Wah, terima kasih, Mister!” Ia langsung tersenyum lebar, tidak sadar betapa seriusnya situasi itu.
Adrian menoleh sekilas ke arah Alira. “Diam.”
“Heh, Mas… aku kan cuma sopan bales pujian,” bisik Alira pelan, wajahnya sedikit merona karena dimarahi.
Pria misterius itu tertawa kecil, lalu menarik kursi tanpa izin dan duduk. “Saya kagum. Jarang sekali seorang CEO muda sehebat Anda bisa jatuh hati pada gadis polos begini. Tapi justru di situlah kelemahan Anda, bukan?”
Adrian tidak menjawab, hanya menatapnya tajam.
Alira mengernyit bingung. “Kelemahan? Maksudnya apa sih? Mas-ku ini dingin banget loh, nggak gampang jatuh hati. Aku aja perlu usaha super keras buat bikin dia senyum.”
Pria itu memandang Alira dengan tatapan penuh makna. “Dan lihat sekarang, kau berhasil duduk di hadapannya, menjadi istrinya. Kau berharga sekali, Nona.”
Alira salah tingkah, menutup wajahnya dengan menu. “Ih, Mas! Orang ini manis banget sih. Aku jadi salting, padahal aku biasanya centil.”
Adrian mengetukkan jarinya ke meja, suaranya rendah dan tajam. “Berhenti bicara padanya, Alira.”
Alira langsung terdiam, menatap suaminya dengan bibir mengerucut. “Oke, oke, Mas. Jangan galak gitu dong…”
Pria misterius itu tersenyum tipis lagi. “Tenanglah, saya tidak berniat mengganggu malam kalian. Saya hanya ingin mengingatkan… masa lalu tidak bisa hilang begitu saja. Dan terkadang, masa lalu datang dalam bentuk orang-orang yang tak pernah kalian duga.”
Adrian mengepalkan tangannya di bawah meja. “Apa maumu?”
“Untuk sekarang? Tidak banyak. Hanya ingin menunjukkan diri. Anggap saja… salam pembuka.”
Pria itu berdiri, membetulkan jasnya dengan elegan. “Oh ya, Nona Alira, hati-hati. Senyummu itu bisa menimbulkan masalah lebih besar daripada yang kau kira.”
Alira terbelalak. “Hah? Senyumku? Maksudnya… aku harus berhenti senyum? Wah, gawat! Aku kan cantiknya kalau senyum.”
Adrian berdiri, tubuhnya tegak dan penuh wibawa. “Jangan pernah ucapkan namanya lagi,” ucapnya dingin.
Pria itu hanya menundukkan kepala sedikit, lalu melangkah pergi dengan tenang.
Beberapa menit setelah kepergiannya, Alira langsung bersandar di kursinya, wajahnya kebingungan. “Mas, itu siapa sih? Kok kayak villain di drama-drama gitu. Cara ngomongnya bikin merinding, tapi senyumnya kayak aktor antagonis tampan.”
Adrian menatapnya dalam, rahangnya mengeras. “Kau tidak perlu tahu.”
Alira langsung cemberut. “Ihh, Mas. Jangan gitu. Aku kan istrimu. Aku punya hak tahu dong.”
“Semakin sedikit yang kau tahu, semakin aman kau.”
Alira terdiam sejenak, lalu dengan suara kecil ia berkata, “Tapi aku nggak suka dijauhkan dari masalahmu, Mas. Aku kan pengen ada di sisimu, bukan cuma jadi boneka cantik di rumah.”
Adrian menoleh, menatap matanya. Ada sesuatu yang bergetar di balik dinginnya pandangan itu. Ia mengulurkan tangan, menggenggam jemari Alira erat.
“Kau tidak akan jadi boneka. Kau istriku. Itu artinya, kau harus saya lindungi… dengan cara apa pun.”
Alira tertegun, wajahnya langsung memanas. Ia buru-buru menarik tangannya, menutup wajah dengan kedua telapak tangan. “Ihh, Mas! Jangan ngomong gitu dong! Aku bisa pingsan beneran…”
Makan malam mereka berakhir tanpa banyak percakapan lagi. Namun ketika mereka berjalan keluar restoran, Alira sempat melihat ke arah parkiran. Mobil hitam itu sudah tidak ada.
Ia menggenggam lengan Adrian erat-erat. “Mas… aku takut, tapi aku juga penasaran. Sebenernya siapa dia?”
Adrian hanya menatap lurus ke depan, wajahnya semakin dingin. “Bayangan dari masa lalu.”
“Bayangan? Kayak hantu gitu?”
“Bukan.” Suaranya menurun, penuh ancaman yang terpendam. “Dia manusia. Tapi lebih berbahaya daripada hantu mana pun.”
Alira menelan ludah. Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan dunia Adrian bukan hanya soal rapat, angka, atau perusahaan… tapi juga bayangan gelap yang siap menelan mereka kapan saja.
Sesampainya di rumah, Adrian menerima sebuah pesan singkat di ponselnya.
“Ini baru awal, Adrian. Kau tidak bisa melindungi semuanya. Bahkan Alira sekalipun.”
Adrian menggenggam ponsel erat, sementara di ruang tamu Alira masih sibuk menonton drama sambil ngemil, tanpa tahu badai besar sedang mendekat.