Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 30
✨Versi Revisi:
***
Pesawat yang membawa Faizan menuju Jakarta meluncur menembus langit malam. Dari jendela, gemerlap kota di bawah sana perlahan mengecil, menjadi titik-titik cahaya yang mengambang dalam kegelapan.
Di kursi kelas bisnis yang sepi, Faizan bersandar dengan wajah datar, namun pikirannya sama sekali tidak tenang.
Bayangan ibunya terus menghantui—senyum lembut yang dulu selalu menyambutnya setiap pulang kerja, kini tergantikan oleh wajah pucat yang terbaring lemah di rumah. Setiap kali ia memejamkan mata, rasa bersalah itu makin mencekik.
Pramugari datang menawarkan minuman, namun Faizan hanya menggeleng pelan tanpa menoleh. Tidak ada selera, tidak ada ketertarikan pada apa pun selain satu hal: ibunya yang menunggu, dan Alea yang pergi tanpa jejak.
Ia menarik napas panjang, matanya tetap menatap keluar jendela. Di benaknya, satu wajah lain ikut menyelinap — Nayla. Gadis itu pasti masih terbaring lemah di kamar hotel Surabaya, dijaga Arka sesuai perintahnya. Ia sempat ingin menelepon, sekadar menanyakan kabar, tapi jari-jarinya ragu menekan layar ponsel.
Ia tahu, tidak ada gunanya. Ia tidak pandai berbasa-basi, dan tidak pernah tahu bagaimana cara menunjukkan kepedulian tanpa terlihat rapuh.
Jadi, seperti biasa, Faizan memilih diam.
---
Sementara itu, di desa…
Malam baru saja turun. Udara membawa aroma tanah basah sisa hujan sore. Di ruang tamu rumah kayu itu, Alea duduk berhadapan dengan Tante Mira, secangkir teh melati mengepul di antara mereka.
Tante Mira berbicara penuh semangat, matanya berbinar.
“Alea, kebetulan besok ada acara di rumah Pak Sarman. Anaknya itu baik, kerja di kota juga. Tante pikir kamu cocok kenal sama dia.”
Alea tersenyum kecil, tapi matanya menunduk.
“Tapi, Tante…” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. “Alea sudah menikah.”
Tante Mira yang baru meneguk teh langsung tersedak kecil. “Apa?” matanya melebar tak percaya.
“Iya, Tante,” Alea menatapnya serius, meski hatinya bergetar. “Aku sudah punya suami. Namanya… Faizan.”
Keheningan turun seketika.
Jam dinding berdetak pelan, dan suara jangkrik di luar terdengar jelas menembus sela-sela jendela.
Tante Mira menatapnya lama, matanya penuh kebingungan. “Kenapa kamu nggak pernah cerita, Nak? Siapa sebenarnya Faizan itu?”
Alea menelan ludah. Tangannya saling meremas di pangkuan.
“Pernikahan itu terjadi begitu cepat, Tante. Bahkan aku sendiri belum sempat memahaminya. Waktu itu… aku terpaksa. Suami Kak Tania—dia mencoba memperkosaku. Dan aku… menjebak Faizan agar melindungiku. Lalu kami menikah.”
Suaranya bergetar.
“Setelah itu, aku berusaha menerima semua sikapnya. Aku berpikir, mungkin kalau aku cukup sabar, dia akan berubah. Tapi ternyata tidak, Tante… rumah tangga kami terasa dingin, sepi, dan penuh jarak. Aku merasa sendirian, bahkan di rumah sendiri.”
Air mata mengalir tanpa sempat ia tahan.
Tante Mira memejamkan mata sejenak, lalu menggenggam tangan Alea erat-erat.
“Ya Tuhan… kenapa kamu harus menanggung semuanya sendiri, Nak? Kenapa kamu nggak datang ke Tante sejak awal?”
Alea menggeleng pelan. “Aku takut… Aku pikir, kalau aku cerita, aku akan terlihat lemah. Aku cuma ingin bertahan.”
Tante Mira mengusap punggung tangannya lembut, matanya ikut berkaca-kaca.
“Alea, kamu masih muda. Kamu berhak bahagia. Tidak semua beban harus kamu pikul sendiri.”
Untuk sesaat, keheningan kembali mengisi ruangan. Hanya suara hujan rintik yang kembali turun di luar, mengetuk pelan atap seng.
Alea menatap Tante Mira dengan mata sembab.
“Tante… bolehkah Alea tinggal di sini dulu? Sementara saja, sampai Alea siap menghadapi semuanya lagi.”
Tante Mira menatap wajah keponakannya yang pucat, lalu mengangguk pelan.
“Tentu, Nak. Rumah ini rumahmu juga. Selama kamu butuh tempat untuk menenangkan diri, Tante akan ada di sini.”
Alea tersenyum lemah, mengusap air matanya. Untuk pertama kali setelah sekian lama, dadanya terasa sedikit lebih ringan.
Namun jauh di dalam hati, ia tahu ketenangan itu hanya sementara. Cepat atau lambat, Faizan akan datang — dan semua luka yang ia sembunyikan akan kembali terbuka.
---
Keesokan paginya, di Jakarta…
Cahaya matahari menembus tirai kamar besar itu, namun suasananya tetap kelabu. Di ranjang, Ibu Maisaroh berbaring lemah, wajahnya pucat. Di kursi sebelahnya, Faizan duduk dengan tatapan gelisah.
Ia baru saja tiba dari bandara, matanya masih merah karena kurang tidur.
“Mah…” panggilnya lirih sambil duduk di tepi ranjang.
Ia mengangkat mangkuk bubur hangat yang dibawakan Bi Iyem. “Coba makan sedikit, ya? Biar Mama nggak makin lemah.”
Ibu Maisaroh membuka mata perlahan, menatap anaknya dengan cinta bercampur kecewa.
“Tidak, Zan. Mama tidak mau makan.”
“Mah, jangan begini,” suara Faizan nyaris memohon. “Kalau Mama terus menolak makan, Mama bisa jatuh sakit. Tolong… makan sedikit saja.”
Namun wanita itu hanya menggeleng pelan. Suaranya serak tapi tegas.
“Mama baru mau makan kalau Alea ada di sini. Mama kangen, Zan. Mama butuh dia.”
Kalimat itu menghantam dada Faizan seperti palu. Ia terdiam, matanya menunduk.
Tangannya yang memegang sendok gemetar halus, dan napasnya terdengar berat.
“Mah… Alea mungkin butuh waktu,” ucapnya pelan, mencoba menenangkan.
“Tapi Mama tidak butuh waktu,” potong ibunya cepat. “Mama hanya butuh Alea. Sekarang.”
Keheningan panjang melingkupi ruangan.
Akhirnya Faizan meletakkan mangkuk di meja kecil, lalu menatap ibunya dengan mata yang mulai berembun.
“Kalau begitu…” katanya pelan, suaranya serak. “Faiz janji akan mencarinya. Demi Mama. Tapi Mama harus makan dulu, ya?”
Ibu Maisaroh menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk kecil.
Dengan sabar, Faizan mulai menyuapi ibunya sedikit demi sedikit. Setiap sendokan terasa berat — seolah bersama bubur itu, ia juga menelan rasa bersalah yang makin menyesakkan dada.
Begitu suapan terakhir selesai, Faizan menyeka mulut ibunya dengan tisu, lalu tersenyum tipis.
“Sudah, Mah. Sekarang Mama istirahat, biar Faiz yang urus sisanya.”
Ibu Maisaroh menatapnya penuh kasih, sebelum akhirnya terpejam. Nafasnya mulai teratur, tenang.
Faizan duduk beberapa detik, menatap wajah ibunya yang tertidur, lalu berdiri pelan. Begitu pintu kamar tertutup, ekspresinya berubah — dari lembut menjadi keras.
Ia mengeluarkan ponsel, menekan nomor cepat.
“Fandi, cari keberadaan Alea,” suaranya dingin, tegas, tanpa celah untuk bantahan.
“Sekarang juga. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Aku ingin dia kembali ke rumah ini secepat mungkin.”
Fandi di seberang sana terdiam beberapa detik, lalu menjawab mantap, “Siap, bro. Gue gerakkan orang sekarang juga.”
Faizan menatap layar ponsel yang gelap setelah panggilan terputus. Rahangnya mengeras, dan tangan kirinya mengepal erat di sisi tubuh.
Dalam hati ia berbisik, hampir tak terdengar:
> “Aku tidak punya pilihan lagi.”
Angin pagi yang menerobos dari jendela terasa dingin, menyentuh kulitnya seperti tamparan. Ia tahu, langkah berikutnya mungkin akan semakin melukai, tapi demi ibunya — ia akan melakukan segalanya.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/