Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Bab 10
Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan rumah Revana. Suara klakson pendek terdengar. Revana yang sudah siap dengan koper kecilnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, Adrian pasti datang menjemput sendiri seperti yang dijanjikan.
Ketika pintu terbuka, Adrian turun dengan kacamata hitam yang menambah kesan dingin dan berwibawa. Ia berjalan santai ke arah Revana.
“Tepat waktu. Bagus. Kukira kamu akan sengaja telat supaya aku kesal.” ucap Adrian datar tapi menggoda.
Revana melotot kecil. “Kalau bukan karena hutang saya itu, saya nggak akan repot-repot bangun sepagi ini, Pak.”
Adrian tersenyum miring, meraih koper Revana tanpa diminta lalu membawanya ke bagasi.
“Galak sekali. Kamu pikir dengan begitu aku akan mundur? Sayangnya, justru kamu semakin menarik.”
Revana mendengus keras, menyilangkan tangan di dada.
“Pak Adrian yang terhormat, tolong jangan bicara seperti itu. Saya ini sekretaris Bapak, bukan… bukan orang yang bisa digoda seenaknya.”
Adrian membuka pintu mobil untuknya, lalu menunduk sedikit.
“Tapi kamu selalu terlihat lucu setiap kali kesal begini. Itu lebih menghibur daripada rapat dengan direktur-direktur kaku di kantor.” bisik Adrian.
Wajah Revana memanas, ia cepat-cepat masuk ke mobil sambil menggerutu.
“Menyebalkan…” gumamnya.
Mobil pun melaju menuju bandara. Sepanjang perjalanan, Adrian tampak tenang mengemudi, sementara Revana sibuk memalingkan wajah ke jendela, berusaha tidak terpancing.
Namun sesekali Adrian dengan sengaja memancing percakapan.
“Jadi, kamu sudah siap kan menemani bosmu? Ingat, kamu harus selalu ada di sampingku. Jangan tiba-tiba kabur kalau bosan.”
“Memangnya saya punya pilihan lain?” jawab Revana ketus.
Adrian terkekeh, matanya sekilas melirik Revana.
“Tidak. Kamu tidak punya pilihan lain, dan itu yang paling kusukai.”
Revana menggigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak membalas lagi. Tapi dalam hati, ia semakin gelisah, antara kesal, takut, dan entah kenapa ada rasa aneh setiap kali Adrian berhasil membuatnya salah tingkah.
Sementara Adrian, di balik wajah santainya, justru menikmati setiap detik kebersamaan itu. Baginya, Revana yang galak jauh lebih mengesankan daripada wanita lain yang selalu menuruti kehendaknya.
☘️☘️
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam di pesawat, mereka berdua telah sampai di surabaya, seorang driver dengan mobil mewah yang di sewa khusus sudah menunggu kedatangan mereka.
Alih-alih langsung menuju ke hotel, Adrian malah mengajak Revana untuk berkeliling kota surabaya dulu, mencari berbagai kuliner yang terkenal di surabaya, dengan sabar Revana mengikuti setiap langkah Adrian, meskipun tubuhnya lelah, ingin segera istirahat.
Sore menjelang ketika mobil yang di tumpangi Adrian dan Revana tiba di hotel mewah tempat para pebisnis menginap. Lobi hotel tampak ramai dengan tamu-tamu berpakaian formal. Adrian langsung menuju meja resepsionis, sementara Revana berdiri sedikit jauh, menggenggam tas kecilnya erat.
Saat Adrian selesai check-in, ia kembali menghampiri Revana.
“Kunci kamar sudah siap. Ayo, kita naik.”
Revana menunduk, memberanikan diri membuka suara.
“S-sebenarnya, Pak… saya sudah pesan kamar sendiri. Di hotel lain, agak dekat dari sini.” ucap Revana gugup.
Adrian menghentikan langkahnya, alisnya terangkat tajam.
“Apa maksudmu? Kenapa di hotel lain?”
Revana buru-buru menjelaskan.
“Saya coba pesan kamar di sini juga, tapi sudah penuh. Tinggal satu kamar tersisa… dan itu sudah Bapak ambil. Jadi… ya… saya memilih hotel yang lain. Tidak apa-apa, kan? Toh saya tetap bisa mendampingi Bapak untuk acara besok.”
Adrian menatapnya lama, rahangnya mengeras.
“Tidak. Aku tidak mau kamu berpencar dariku. Itu melanggar janji kita.” ucap Adrian kesal.
Revana mengerutkan kening. “Tapi, Pak—”
“Tidak ada tapi, Revana. Kamu ikut denganku, kita satu kamar saja. kamu nggak bisa menolak, ini final.” Adrian memotong cepat, suaranya penuh penekanan.
Wajah Revana langsung panas, ia melangkah mundur sedikit, suaranya meninggi tanpa sadar.
“Satu kamar? Apa Bapak sudah gila? Saya tidak bisa—”
Adrian menunduk, mendekatkan wajahnya, membuat Revana mundur lagi sampai punggungnya nyaris menyentuh pilar marmer di lobi.
“Aku janji tidak akan macam-macam. Kamu aman bersamaku. Tapi jangan coba-coba melanggar kesepakatan kita.” ucap Adrian dengan nada lebih rendah tapi menusuk.
Mata Revana bergetar menatapnya. Sorot mata Adrian tampak tenang di luar, tapi dalam kedalamannya ada bias lain, penuh arti, seperti menyimpan keinginan yang tak diucapkan.
Revana menggertakkan gigi, mencoba bersuara meski suaranya bergetar.
“Saya tidak suka dipaksa…”
Adrian justru tersenyum tipis.
“Tapi aku suka melihatmu terpaksa begini. Kamu… selalu lebih menarik kalau sedang menentangku.”
Revana mendengus kesal, lalu memalingkan wajah. Ia tahu perdebatan ini tak akan dimenangkannya.
“Baiklah… tapi ingat janji Bapak.” ucap Revana lirih.
Adrian mengangguk ringan, lalu meraih koper Revana dan membawanya masuk ke lift bersamanya. Sementara Revana melangkah dengan berat hati, dadanya bergemuruh hebat.
“Tuhan… apa aku sanggup melewati malam ini?” bisik Revana dalam hati.
Sedangkan Adrian, dalam diamnya, tersenyum samar.
“Mari kita lihat… seberapa lama kamu bisa menolak pesonaku, Revana.” ucapnya dalam hati.
...☘️☘️...
Sementara di jakarta.
Malam itu, meja makan di rumah Oma Maria dan Opa Gerald tampak ramai. Aroma sayur sop daging dan ayam goreng memenuhi ruangan. Alesya duduk di samping Andrew yang lahap menyantap makanannya, sementara Oma Maria dengan senyum lebar terus menambah lauk di piring cucu-cucunya.
“Makan yang banyak ya, Lesya, Andrew. Kalian pasti capek setelah seharian di sekolah.”
“Iya, Oma! Enak banget ayamnya!” sedu Andrew riang.
Opa Gerald terkekeh pelan, merasa senang melihat cucu-cucunya bahagia.
“Sudah lama rumah ini tidak seramai ini. Papi kalian sibuk sekali, ya?”
Alesya menaruh sendoknya sebentar, lalu menoleh pada Opa.
“Iya, Opa. Papi lagi ada perjalanan bisnis beberapa hari. Makanya kami minta izin tinggal di sini. Karena disini Lebih nyaman.”
Oma mengelus kepala Alesya dengan lembut.
“Tentu saja Oma senang sekali. Rumah ini rumah kalian juga, kapanpun kalian bisa tinggal disini.”
Hening sejenak, sebelum akhirnya Alesya tersenyum kecil, teringat sesuatu.
“Oh iya, Oma, Opa… kemarin aku ditemani sama sekretarisnya Papi waktu pilih gaun pesta. Namanya Tante Revana.”
Maria dan Gerald saling pandang sekilas, lalu tersenyum.
“Oh begitu? Bagaimana orangnya?”
Mata Alesya langsung berbinar.
“Cantik banget, Oma. Tapi yang lebih penting, dia baik hati. Tante Revana asyik diajak ngobrol, nggak bikin aku canggung sama sekali. Aku merasa kayak lagi punya kakak perempuan.”
Andrew ikut nimbrung dengan mulut masih belepotan nasi.
“Iya Oma! Aku juga pernah lihat Tante Revana dikantor Papi. Dia Cantik! Kayak princess.”
Maria tertawa, menepuk bahu Andrew.
“Wah, kalau sampai Andrew bilang begitu, pasti memang benar cantik sekali ya.”
Alesya melanjutkan dengan penuh semangat.
“Aku senang bisa kenal dia. Rasanya… kalau ada Tante Revana, aku nggak terlalu merasa sendirian. Soalnya Mama kan… jarang mau nemenin aku.”
Nada suaranya sedikit melemah di akhir kalimat. Maria menatap cucunya dengan iba, lalu menggenggam tangan Alesya.
“Lesya, jangan sedih. Kamu masih punya Papi, Oma, Opa, dan adikmu. Dan kalau benar Tante Revana baik seperti yang kamu bilang, mungkin Tuhan kirim dia untuk jadi temanmu juga.”
Alesya mengangguk kecil, tersenyum lagi. Andrew pun kembali makan dengan lahap. Sementara itu, Opa menatap istrinya, keduanya sama-sama mengerti—nama Revana baru saja masuk ke lingkaran perhatian keluarga mereka.
☘️
☘️
☘️