Setelah dikhianati dan mati di tangan suaminya sendiri, Ruan Shu Yue dibangkitkan kembali sebagai putri keempat Keluarga Shu yang diasingkan di pedesaan karena dianggap pembawa sial.
Mengetahui bahwa dirinya terlahir kembali, Ruan Shu Yue bertekad menulis ulang takdir dan membalas pengkhianatan yang dia terima dari Ling Baichen. Selangkah demi selangkah, Ruan Shu Yue mengambil kembali semua miliknya yang telah dirampas menggunakan identitas barunya.
Anehnya, Pangeran Xuan - Pangeran Pemangku yang menjadi wali Kaisar justru muncul seperti variabel baru dalam hidupnya.
Dalam perjalanan itu, dia menyadari bahwa ada seseorang yang selalu merindukannya dan diam-diam membalaskan dendam untuknya.
***
"A Yue, aku sudah menunggumu bertahun-tahun. Kali ini, aku tidak akan mengalah dan melewatkanmu lagi."
Ruan Shu Yue menatap pemuda sehalus giok yang berdiri penuh ketulusan padanya.
"Aku bukan Shu Yue."
Pemuda itu tersenyum.
"Ya. Kau bukan Shu Yue. Kau adalah Ruan Shu Yu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhuzhu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 13: Meminjamkan Harem
Setelah kembali ke istana, Pei Yuanjing langsung pergi ke Istana Weiyang, tempat ia tumbuh besar.
Pei Yuanjing lahir di akhir masa hidup ayahandanya, mendiang kaisar terdahulu. Ibunya adalah selir termuda yang masuk istana dua tahun sebelum sang kaisar meninggal.
Saat itu, kakaknya – Kaisar Tua yang meninggal sebulan lalu sudah berusia tiga puluh tahun lebih. Mengetahui ia memiliki adik bungsu yang usianya sangat jauh darinya, dia tidak mengirimnya keluar daerah.
Sebaliknya, Kaisar Tua membesarkan Pei Yuanjing seperti anaknya sendiri. Mendidiknya, mengajarinya cara menjadi pemimpin yang bijak dan menggunakan orang.
Kakaknya tidak melahirkan banyak anak. Dari semua selirnya, dia punya enam pangeran dan tiga putri. Namun sayangnya, hanya satu pangeran yang bertahan hidup – yakni Pei Ziyan, yang juga mengulang takdir seperti Pei Yuanjing, lahir di masa akhir hidup Kaisar Tua.
Ibu Pei Ziyan juga masih sangat muda, seusia dengan Pei Yuanjing. Dia melahirkan ketika Kaisar Tua berusia lima puluh lima tahun.
Seharusnya dia yang menjadi wali Pei Ziyan dalam memimpin negara. Namun, wanita itu sama sekali tidak bisa diandalkan.
Sejak Pei Ziyan lahir, dia sama sekali tidak peduli. Hanya punya jasa melahirkan, tapi tidak mau membesarkan.
Pei Yuanjing sebagai paman dari Pei Ziyan jelas tidak mungkin membiarkan keponakannya yang masih berusia empat tahun duduk sendirian di atas takhta. Kursi takhta sangat dingin dan kejam, tak terhitung berapa banyak darah yang sudah tumpah di bawahnya.
Maka dari itu, Kaisar Tua menempatkannya di sisi Pei Ziyan, berharap Pei Yuanjing mendampinginya memimpin negara selagi Pei Ziyan belum dewasa.
Dia berada di posisi yang tinggi, berdiri di atas ribuan orang bersama Pei Ziyan. Namun, dia tak sebebas yang terlihat. Biasanya hanya peduli pada masalah pemerintahan dan bagaimana membuat negara tetap makmur sampai Pei Ziyan dewasa.
Istana Weiyang ini adalah satu-satunya tempat yang bisa membuat pikirannya tenang. Ibunya, Janda Selir Agung, dipindahkan ke Istana Wenhua di ujung utara istana untuk menikmati ketenangan. Sedangkan ibu dari Pei Ziyan sudah mengasingkan diri di Istana Lenghua yang sunyi dan tidak pernah keluar lagi.
Pei Yuanjing masuk ke sebuah ruangan rahasia yang dibangun di bawah Istana Weiyang. Ruangan itu bersuhu sangat dingin.
Bagi orang yang tidak memiliki tenaga dalam yang melindungi nadi, tubuhnya akan langsung membeku atau pembuluh darahnya meledak. Namun, Pei Yuanjing adalah orang yang sangat kompeten. Baik beladiri maupun tata kelola negara, dia menguasai semuanya.
Sehelai jubah tipis menutupi tubuhnya. Langkahnya begitu ringan memijaki setiap inci lantai yang semuanya terbuat dari giok yang dingin.
Di tengah ruangan itu, ada sebuah balok es yang sangat besar. Es tersebut mengepulkan asap tipis yang membaur ke udara yang kosong.
Dia berdiri di depan balok es besar tersebut. Mata jernihnya yang selalu memancarkan aura dingin di saat memelototi pejabat kini memancarkan sorot kesedihan yang tidak terucapkan. Di atas balok es tersebut, berbaring sesosok jasad wanita yang membeku.
Wanita itu mengenakan pakaian biru tua dengan bordiran dari benang perak. Kepalanya dihiasi mahkota indah yang terbuat dari emas.
Sosoknya terlihat sempurna dengan tubuh ramping dan tinggi, jemarinya begitu lancip dan putih. Terlihat seperti boneka manusia. Satu-satunya hal yang membuatnya berbeda adalah matanya yang tertutup rapat.
“Paman, kau sudah menyimpannya di sini selama sebulan lebih. Apakah kau berencana membiarkannya terus di sini tanpa menguburkannya?”
Suara halus Pei Ziyan terdengar dari samping. Karena asyik melamun, Pei Yuanjing sampai tidak sadar akan kedatangan keponakan kecilnya.
Bahkan suara langkahnya pun tidak bisa ia dengar. Dia menurunkan pandangannya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Dia sudah mati. Jasadnya lama kelamaan akan membusuk. Paman, tidak ada gunanya kau mempertahankannya seperti ini. Kasihan dia, terus berbaring di atas balok es yang dingin sepanjang waktu.”
“Aku tidak akan membiarkannya dikubur oleh tangan kotor pria itu. Biarlah dia di sini. Setidaknya aku bisa melihatnya.”
Karena pada saat wanita itu hidup, Pei Yuanjing tidak bisa melihatnya. Pertemuan mereka begitu singkat.
Mungkin saja wanita itu juga melupakan dirinya dan menganggapnya seperti orang yang lewat. Tapi bagi Pei Yuanjing, pertemuannya tidak akan pernah bisa dilupakan.
“Kau sudah menegur Adipati Muda Ling dengan keras dan aku juga menyetujuimu. Beberapa hari lagi Adipati Muda Ling akan kembali ke pengadilan setelah masa kurungannya selesai. Jika kau ingin membalas dendam untuknya, kau harus tetap waras.”
Pei Yuanjing tahu. Ditatapnya jasad Ruan Shu Yue dengan penuh penyesalan. Seandainya dia tidak mengizinkan Ling Baichen menikahinya, seandainya dia bisa lebih cepat datang, mungkin nyawanya masih bisa diselamatkan. Tapi, dia tetap saja terlambat.
Sebagai Pangeran Xuan, semua gerak-geriknya selalu diawasi. Dia tidak pernah punya kebebasan sendiri meski memegang kekuasaan besar.
Apalagi setelah menjabat sebagai Pangeran Pemangku yang menjadi wali Pei Ziyan, dia lebih tidak bebas lagi. Dia tidak punya kesempatan untuk menebus gadis itu.
“Aku masih waras. Aku masih harus menggunakan otakku untuk mendidikmu menjadi Kaisar yang bijak dan membantumu mengurus negara.”
“Ah… Paman, meski kau bersikeras, dia tetaplah istri orang lain. Jika kau bukan pamanku, kau sudah lama dikritik karena menyembunyikan jasad istri pejabat.”
“Ling Baichen tidak berhak menguburkannya.”
Pei Yuanjing menghela napasnya. Pada hari Ruan Shu Yue meninggal, dia mendobrak halaman belakang kediaman Adipati Muda Ling. Dengan kemarahan yang tertahan, dia membawa jasad Ruan Shu Yue dari tempat itu, tidak mengizinkan Ling Baichen memakamkannya.
Untungnya, dia adalah Pangeran Pemangku. Kaisar Tua tidak tahu perbuatannya karena terbaring sakit. Tapi, keponakannya tentu tahu karena sebelum naik takhta, Pei Ziyan selalu mengikutinya ke manapun ia pergi.
Ia terkadang bingung dengan sifat keponakannya. Pada saat serius menghadapi para pejabat atau sedang belajar, Pei Ziyan selalu menampilkan sisi kekanakkannya secara alami.
Namun saat tidak ada orang lain dan tidak dalam situasi yang serius, anak itu justru bertingkah seperti orang dewasa. Pei Yuanjing jadi tidak berdaya.
Seperti saat ini. Pagi tadi masih seperti anak kecil, sekarang justru malah terasa sangat dewasa.
“Bagaimana jika Paman mencari gadis lain? Istana Harem masih kosong. Aku bisa meminjamkannya kepada Paman, mengisinya dengan gadis-gadis cantik. Dulu ayahanda juga mengisi haremnya dengan puluhan wanita cantik. Yang tua terlupakan, yang muda berakhir sendirian.”
“Kalau Yang Mulia berani melakukan itu, kau urus sendiri negaramu.”
“Aku lebih suka Paman memanggilku Xiao Yan. Sapaan Yang Mulia membuatku merasa asing dan jauh darimu.”
Pei Yuanjing juga paham. Bagi Pei Ziyan yang masih kecil, menjadi Kaisar adalah kenyataan paling berat yang harus dihadapi dan dijalani.
Dia yang seharusnya bermain ayunan dan kejar-kejaran dengan teman seusianya malah harus berurusan dengan pejabat dan dokumen negara. Wajar jika tertekan dan sisi kekanak-kanakannya tidak bisa ditutupi.
“Ada perbedaan antara Kaisar dan menterinya. Aku tidak boleh melupakan itu.”
“Tapi selain menteri, kau juga paman kandungku, keluargaku, kerabatku yang paling dekat. Anak-anak lain diberikan permen dan mainan oleh paman mereka, tapi aku malah diberikan sebuah negara olehmu.”
“Xiao Yan, kelak lebih rajinlah belajar. Kau tidak boleh malas atau aku akan memberimu empat guru sekaligus.”
"Lain kali aku akan lebih rajin belajar. Selama Paman tidak memukul tanganku, aku pasti akan belajar."
"Perkataan Kaisar adalah titah. Kau tidak boleh mengingkari ucapanmu sendiri."
Pei Ziyan mengerucutkan bibirnya. Hari ini dia baru bisa bersantai karena bisa keluar istana dan bertemu penduduk yang heterogen itu.
Bahkan dibawa pamannya menonton pertunjukan di Keluarga Shu. Setelah kembali dan tahu harus menjadi Kaisar lagi, hatinya jadi kecut.
“Satu guru sudah cukup. Paman, gadis dari Keluarga Shu itu cukup baik dan menarik. Bukankah begitu?”
“Maksudmu Shu Yue?”
“Jadi namanya Shu Yue?”
“Ya. Dia putri keempat Shu Yantang.”
“Begitu rupanya. Dia cukup mirip dengan gadis yang kau sukai,” ucap Pei Ziyan sambil memandang sesosok jasad wanita di atas balok es.
Entah kenapa dia merasakan suatu ketertarikan emosional yang sulit dijelaskan. Seharusnya pamannya juga merasakan hal yang sama. Jika tidak, mana mungkin dia datang kemari untuk memastikannya.
“Ruangan ini dingin dan hari sudah malam. Yang Mulia, mari kita kembali ke Istana Qianqing.”
“Malam ini aku mau tidur di Istana Weiyang. Paman, kau bacakan sebuah cerita untukku. Aku dengar ada kisah menarik yang baru-baru ini sangat terkenal di kalangan rakyat.”
“Bicara soal cerita, kakakmu, Zhaoning, lebih pandai daripada aku. Minta dia saja yang bercerita.”
Pei Ziyan menggeleng dan bibir kecilnya kembali mengerucut. Wajah kecil nan polos itu terlihat kesal.
“Jangan bicarakan dia. Akhir-akhir ini dia sibuk mendemo kediaman Adipati Muda Ling. Dia tidak bisa diandalkan.”
Pei Yuanjing menggelengkan kepalanya tak berdaya. Leluhur kecil ini begitu pandai menjebak orang dan membuat orang tidak berdaya menghadapinya.
Sayangnya dia menyayanginya dan tidak mungkin membuangnya. Walau suasana hatinya belum sepenuhnya membaik, Pei Yuanjing tetap menuruti keinginan Pei Ziyan, membacakan sebuah cerita yang sedang marak dibicarakan di kalangan penduduk Jingdu.
Emang enak di tampar kenyataan
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣