Dibalik cerita kelam dan kesalahan besar, ada luka yang tersembunyi mencari kesembuhan.
"Aku membelimu untuk menjadi wanita bayaranku seorang!" -Bara-
"Pilihanku menerima tawaranmu, dan perasaanku adalah resiko dari pilihanku sendiri " -Shafa-
*
Hanya seorang gadis yang terjebak dalam dunia malam hanya untuk pengobatan Ibunya. Lalu, bertemu seorang pria kaya yang membelinya untuk menjadi wanita bayaran miliknya seorang. Bisa terlepas dari dunia malam saja, dia sudah bersyukur dan menerima tawaran itu.
Namun, sialnya dia salah melibatkan hati dan perasaan dalam situasi ini. Mencintai pria yang membayarnya hanya untuk pemuas gairah saja.
Di saat itu, dia harus menerima kenyataan jika dirinya harus pergi dari kehidupan pria itu.
"Aku harus kembali pada istriku"
Dengan tangan bergetar saling bertaut, dada bergemuruh sesak dan air mata yang mulai menggenang, Shafa hanya mampu menganggukan kepalanya.
"Ya, aku akan pergi dari kehidupanmu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilatih Untuk Tetap Kuat
Beberapa kali mendapatkan notifkasi pembayaran pada Rumah Sakit milik keluarga Andreas. Sudah tiga notifikasi dalam waktu tiga bulan ini.
Bara menatap ponselnya dengan sedikit bingung. Meski Shafa pernah memberikan penjelasan jika dia harus membantu saudaranya yang di rawat disana. Sebenarnya Bara tidak masalah dengan jumlah uang yang di bayarkan.
"Kau ke rumah sakit lagi hari ini?" tanya Bara saat melihat Shafa keluar dari ruang ganti.
Shafa sedikit tertegun atas pertanyaan itu, dia sejenak terdiam sebelum akhirnya menjawab. "Tidak, aku hanya transfer saja untuk biaya perawatan sepupu aku disana. Em, nanti aku ganti kalo sudah ada uang ya"
"Tidak perlu di ganti, aku hanya penasaran saja. Takutnya kau yang sakit"
Benarkah dia takut jika aku sakit? Jika dia tahu bagaimana sakitku sekarang, apa mungkin dia akan lebih peduli?
"Terima kasih ya, Bar"
"Sinilah" ucap Bara yang menepuk sisi kosong di sampingnya. Meminta Shafa untuk duduk disana. "Aku melihat akhir-akhir ini tubumu semakin kurus ya. Apa karena bekerja di Perusahaan? Apa ada yang merundungmu disana?"
Shafa menggeleng pelan, selama dia bekerja di Perusahaan Bara yang sudah hampir 3 bulan itu, semuanya baik-baik saja. Dan semua rekan kerjanya juga baik padanya. Masalah berat badannya yang turun, bukan karena pekerjaan, tapi karena tubuhnya yang sedang melawan sakit yang parah ini.
"Tidak, semuanya baik padaku. Aku memang sedang diet, jadi bagus kalau memang sekarang aku terlihat lebih kurusan"
Bara menatap Shafa dengan lekat, tatapan yang seolah tidak percaya atas ucapan Shafa barusan. "Kenapa kau harus diet, aku lihat tubuhmu sudah kecil sejak kita bertemu. Aneh-aneh saja"
Shafa terkekeh kecil, dia mengusap tangan kekar Bara yang berada disampingnya. "Beginilah perempuan, Bar. Memang terkadang aneh, tapi mereka tetap melakukannya hanya untuk kepuasan saja. Udah gak usah protes"
"Besok makan yang banyak, jangan diet diet tidak jelas. Kau mau mati karena tidak makan ya"
"Jangan dong, aku belum siap mati"
Bara tertegun saat melihat tatapan mata yang berubah berkaca-kaca. Wajah berseri Shafa juga berubah sendu, membuat Bara merasa bersalah.
Apa aku terlalu kasar berbicara padanya? Tapi, aku hanya bercanda. Aku juga tidak mungkin menyumpahi dia mati cepat.
"Hey, apa aku terlalu kasar? Kenapa kau mau menangis seperti ini?"
Shafa kembali tersenyum, mengusap sudut matanya yang sudah berair. "Tidak papa, aku hanya takut saja jika aku mati muda. Karena aku belum siap meninggalkan segala hal di dunia ini"
Aku belum siap meninggalkan Ibu yang kondisinya belum benar-benar stabil.
Meski keadaan Ibunya sudah bisa di katakan lebih baik dari sebelumnya. Tapi, selama dia belum benar-benar pulih dan bisa keluar dari Rumah Sakit, maka Shafa belum bisa tenang.
"Sudahlah, sekarang kita istirahat saja. Kau jangan berpikir terlalu jauh"
Mereka berbaring di tempat tidur, saling memeluk dan terlelap. Pelukan yang semakin lama semakin terasa menangkan, membuat keduanya nyaman.
*
Terbangun malam hari ketika perutnya begitu sakit. Mual dan pusing semakin membuat keringat dingin membasahi tubuhnya. Menahan sakit itu yang membuatnya tersiksa. Akhirnya karena tidak kuat lagi, Shafa berlari ke kamar mandi dan muntah disana. Bercak darah ikut mengalir dari hidungnya.
"Argh... Sakit sekali Ya Tuhan"
Memegang perutnya dengan kuat, berharap itu akan menghilangkan rasa sakit. Rasa mual kembali menyerang, Shafa kembali muntah di wastafel. Mencuci wajahnya dan hidungnya yang berdarah.
Berdiri menatap pantulan wajahnya di cermin, melihat pipinya yang semakin tirus, wajah pucat dengan kelopak bawah mata yang sedikit menghitam. Menunjukan betapa lelah dia melawan sakitnya seorang diri.
"Semangat Shafa, menunggu beberapa bulan lagi kau akan bisa sembuh. Semoga"
Shafa mengelus perutnya, sudah bersemayam nyawa lain sejak satu bulan yang lalu. Dan dia berharap ini adalah jalan dari Tuhan untuk kesembuhannya dan kebahagiaan yang baru dalam hidupnya. Meski harus merahasiakan kehadiran anaknya, Shafa tidak masalah, selama dia bisa merawatnya seorang diri.
"Kita berjuang bersama ya, Nak"
Pengobatan harus di hentikan dalam beberapa waktu, karena kehamilan yang masih rentan. Mungkin Shafa yang harus menghentikan pengobatan sampai dia melahirkan. Dia tidak mau membahayakan bayinya.
"Kita bisa melewatinya"
Setelah merasa lebih baik, Shafa kembali ke kamar. Duduk di pinggir tempat tidur dan menatap pria yang tertidur. Parasnya ini selalu membuatnya tenang, tangan Shafa terangkat untuk menyentuh tahi lalat di sudut mata Bara.
Sekarang aku ingat siapa yang mempunyai tahi lalat ini.
*
"Kamu yakin? Menghentikan pengobatan bukan keputusan yang baik, tapi melakukan kemoterapi saat hamil juga cukup beresiko"
"Aku tidak ingin mengorbankan anak yang belum lahir. Biarkan dia melihat dunia ini. Setelah itu, aku akan melakukan semua yang di sarankan. Termasuk operasi pengangkatan rahim"
Dokter hanya menghela napas, tentu dia juga tidak akan bisa memaksa keputusan pasien. "Baiklah, tapi kami tetap meresepkan obat yang aman untuk kamu dan kandungan kamu. Semua keputusan tetap berada di tangan kamu"
"Terima kasih atas pengertiannya, Dok"
"Aku tidak tahu harus bagaimana, kenapa kamu harus memilih jalan ini? Sebenarnya anak bukan segalanya bagi seseorang yang berjuang kesembuhan. Apalagi kamu tidak menikah"
Shafa tersenyum, di tengah guncangan cobaan yang tiada henti. Terus mengalir seperti air yang menjatuhi batu keras, perlahan mengikis dan hancur. Shafa hanya berharap dia tidak akan menyerah begitu saja atas takdir hidupnya dan pilihan hidupnya sendiri.
"Semuanya adalah pilihan Dok, antara berani mengambil resiko atau mengikuti alur hidup yang tetap akan beresiko"
"Kau memang gadis yang dilatih untuk tetap kuat dalam keadaan apapun"
Shafa hanya tersenyum saja, dia keluar dari ruangan Dokter dengan mengelus perutnya yang masih rata. Resiko adalah nyawanya, tapi Shafa akan tetap berjuang untuk bisa mempunyai seorang anak dan berusaha untuk tetap hidup agar bisa merawat anaknya.
"Shafa"
Panggilan dari Andini membuatnya menoleh, Shafa tersenyum pada Dokter cantik itu. Entah sejak kapan, tapi Andini jadi lebih peduli padanya dan mereka seperti teman dekat sekarang.
"Selamat atas kehamilan kamu, tapi ... apa kamu yakin?"
"Semua keputusan yang aku ambil sudah lebih dari yakin yang ada dalam diriku, Dok. Doakan saja yang terbaik untuk aku dan anakku"
Andini mengangguk, dia menatap Shafa dengan lekat. Tangannya menepuk bahunya pelan, memberikan setitik semangat untuk gadis yang sudah rapuh ini.
"Tuhan sedang merencanakan kebahagiaan untuk kamu atas semua yang kamu lewati selama ini"
"Semoga ya, Dok"
Shafa melenggang pergi keluar dari rumah sakit, tempat dia menjalani pengobatan selama beberapa bulan. Dan sekarang dia memutuskan untuk menghentikan pengobatan itu demi keselamatan anak dalam kandungannya.
"Lahirlah dengan sehat, temani Ibu dan Nenek untuk bisa terus bersama selamanya"
Shafa menatap langit yang cerah sore ini, seperti ikut menyemangati atas jalan kehidupan yang akan dia lalui.
"Meski tidak bisa menikah dan memilikimu, tapi aku akan tetap memiliki darah dagingmu, Kak Al"
Bersambung
Mampir di karya temenku ya..
thour buat ibu Rani sehat kembali dan shafa semoga mendapatkan pengobatan terbaik💪💪💪💪🥰🥰🥰🥰