Rasanya sangat menyakitkan, menjadi saksi dari insiden tragis yang mencabut nyawa dari orang terkasih. Menyaksikan dengan mata sendiri, bagaimana api itu melahap sosok yang begitu ia cintai. Hingga membuatnya terjebak dalam trauma selama bertahun-tahun. Trauma itu kemudian memunculkan alter ego yang memiliki sifat berkebalikan. Kirana, gadis yang mencoba melawan traumanya, dan Chandra—bukan hanya alter ego biasa—dia adalah jiwa dari dimensi lain yang terjebak di tubuh Kirana karena insiden berdarah yang terjadi di dunia aslinya. Mereka saling Dalam satu raga, mereka saling menguatkan. Hingga takdir membawa mereka pada kebenaran sejati—alasan di balik kondisi mereka saat ini. Takdir itu memang telah lama mengincar mereka
Zayne Indragon
Beberapa hari telah berlalu sejak kepergian Arka meninggalkan Langgar Suci, keadaan Chandra juga sudah mulai membaik. Merasa gelisah dan tidak bisa hanya berdiam diri saja, Chandra akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu.
"Aku harus melatih tubuh ini supaya terbiasa melakukan pekerjaan yang berat. Tubuh ini sangat lemah," gumam Chandra sambil memandang telapak tangan dan mencengkeramnya berulang kali. Tekad mengalir kuat dalam dirinya, membakar semangat untuk menjadi lebih tangguh.
Chandra beralih menatap Zayne Indragon, seorang ksatria yang ditugaskan oleh Arka untuk mendampinginya. "Zay, apakah kamu bisa membantuku latihan?" tanya Chandra pada ksatria tersebut dengan akrab.
"Tentu saja, Tuan Putri. Apa yang bisa saya lakukan untuk Tuan Putri?" jawabnya dengan hormat. Zayne adalah salah satu orang yang mengetahui identitas Chandra. Kebetulan pada saat Arka tahu identitas Chandra, Zayne ada di Lokasi kejadian.
"Ajarkan aku seni bela diri," jawab Chandra dengan mantap. Tidak hanya itu, dia juga memintanya untuk mengajari cara menggunakan pedang dan berkuda. Dia tahu bahwa keahlian tersebut tidak hanya akan berguna untuk dirinya sendiri, tetapi juga dalam mendukung dan melindungi Langgar Suci ke depannya. Chandra berharap, saat Arka kembali, dia sudah menjadi lebih kuat dan bisa menggunakan kemampuannya dengan baik.
"Aku tidak ingin hanya menjadi beban. Menunggu tanpa melakukan sesuatu itu, sangatlah membosankan," tambahnya lagi.
Dengan senang hati, Zayne menerima permintaan Chandra untuk mengajarinya menggunakan pedang, mempelajari seni bela diri, dan cara berkuda.
Namun, sebelum memulai latihan, Chandra merasa tidak lengkap jika pergi tanpa meminta izin kepada Empu Agung, pemimpin dari Langgar Suci ini. Setelah mendapatkan izin tersebut, Chandra tak membuang waktu sama sekali. Gadis itu memanfaatkan setiap momen dengan baik, meski harus mempertaruhkan sebagian besar waktunya untuk berlatih dan menjadi lebih kuat.
Ada satu hal yang Chandra lupakan. Dengan dia berlatih di luar Langgar Suci, maka intensitas waktunya bertemu dengan teman-teman di sana juga akan berkurang. Hal itu memicu Aria dan Lima menemui Chandra—yang masih dia anggap sebagai Kirana—untuk melayangkan protes. Hanya segelintir orang yang mengetahui identitas Chandra. Semakin sedikit yang tahu, maka itu semakin baik.
"Kamu akan pergi keluar lagi bersama kesatria itu?" tanya Aria saat bertemu dengan Chandra yang bersiap untuk Latihan seperti biasanya. Pertemuan mereka tidak disengaja, Chandra juga tidak bisa mengabaikan mereka begitu saja. Mengingat kebaikan hati kedua gadis itu terhadap Kirana selama ini.
"Maafkan aku, Ria. Aku berjanji, setelah pulang berlatih, aku akan langsung menemui kalian. Kita bisa menghabiskan waktu bersama lagi," ucap Chandra tak ingin membuat kedua temannya itu merasa sedih.
"Tidak perlu berjanji sampai seperti itu, Kirana. Kami justru senang dan bangga karena kamu telah banyak berubah. Sejak bertemu dengan Kak Mita, kamu semakin keren di mataku," puji Lima sambil memberikan pelukan hangat kepada Chandra.
Aria tidak mau ketinggalan, ikut memeluk Chandra, membuat gadis itu terkejut karena tidak terbiasa diperlakukan sehangat ini oleh orang lain. Perasaan hangat dan sedikit canggung jelas tergambar di wajahnya.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Chandra sambil tersipu malu, rona merah mewarnai pipinya.
Aria tertawa gemas melihat reaksi Chandra yang salah tingkah. "Kami tahu kau telah mengalami banyak hal, Kirana. Kami di sini akan selalu ada untukmu dan selalu mendukungmu."
Lima menambahkan, "Walau kita baru saja saling mengenal, kami menganggapmu seperti keluarga kami sendiri. Kita akan selalu saling mendukung, bukan hanya saat senang, tapi juga dalam kesulitan. Jangan ragu untuk menemui kami saat kau sedang dalam masalah."
***
Chandra memulai latihannya dengan dibantu oleh Zayne, seorang kesatria berpengalaman dan penuh dedikasi terhadap kerajaan Aetherial. Meskipun sebelumnya Chandra merupakan seseorang yang sudah berpengalaman dan terlatih, dia harus mengulang semua pelatihan tersebut dari dasar. Di hamparan padang rumput yang luas, Chandra dan Zayne memulai latihan seni bela diri terlebih dahulu.
Langkah pertama yang diajarkan oleh Zayne adalah mengenal posisi dasar. Dalam posisi ini, kaki ditempatkan sejajar satu sama lain, lutut sedikit ditekuk, dan berat badan merata di kedua kaki. Tubuh tegak, bahu rileks, dan pinggang sedikit condong ke depan. Tangan berada di depan tubuh, siap untuk bertindak atau bertahan, dengan siku yang sedikit ditekuk dan jari-jari yang rileks. Posisi dasar ini dirancang untuk memberikan kombinasi antara stabilitas dan fleksibilitas, membentuk pondasi tubuh yang kokoh. Dengan memahami dan melatih posisi dasar ini secara konsisten, Chandra dapat membangun dasar yang kuat untuk kemampuan bela dirinya.
Hal selanjutnya yang sangat penting adalah pernapasan. Zayne mengajarkan bagaimana caranya mengendalikan pernapasan saat bertarung, memastikan pernafasannya tetap stabil dan terkendali bahkan dalam situasi yang tidak menguntungkan.
Setiap sesi dimulai dengan pemanasan yang intens. Peregangan otot, lari ringan, dan latihan kardiovaskular membantu Chandra mempersiapkan tubuhnya untuk latihan yang lebih intensif dan menghindarkan dari cedera serius. Chandra merasakan kelelahan fisik, tetapi juga ada semangat yang membara dalam dirinya. Meskipun berat, Chandra tetap menikmati setiap momen selama Latihan berlangsung, karena dia tahu bahwa kemampuannya akan meningkat.
Selanjutnya, Chandra melatih kembali gerakan dasar seperti pukulan, tendangan, dan blok. Zayne dengan sabar memperbaiki postur dan teknik gerakan Chandra, memastikan bahwa latihan yang selama ini dia pelajari telah terpatri dalam dirinya dengan baik. Meskipun gerakan seni bela diri yang Zayne ajarkan agak sedikit berbeda, Chandra menunjukkan ketanggapan yang luar biasa dalam mempelajari sesuatu yang baru. Zayne mengagumi ketekunan dan semangat gdis itu, merasa bangga melihat muridnya yang gigih.
Zayne juga mengajarkan kombinasi gerakan dengan menggabungkan serangan dan pertahanan, meningkatkan kecepatan dan koordinasi dalam setiap gerakannya. Chandra merasa semakin percaya diri dengan setiap kemajuan yang berhasil dicapai. Latihan ini tidak hanya memperkuat fisiknya, tetapi juga mental, menjadikannya lebih tangguh dan kuat.
Hingga setelah beberapa waktu berlalu, Chandra menunjukkan kemajuan yang signifikan. Zayne mulai melibatkannya dalam sparring ringan atau simulasi pertempuran. Meskipun butuh waktu yang tidak sebentar, kira-kira selama empat belas bulan, akhirnya Chandra bisa menguasai seni bela diri dan juga cara menggunakan pedang dengan baik. Di sela-sela latihan, Chandra juga belajar cara mengendarai kuda. Ada salah satu kuda yang diberikan oleh Arka agar Chandra bisa latihan sepuasnya.
Latihan dasar dalam seni pedang tidak jauh berbeda dengan seni bela diri. Hanya saja, dalam pelatihan seni pedang membutuhkan media. Media pertama tidak langsung menggunakan pedang asli, melainkan pedang kayu yang memang diperuntukan untuk Latihan pemula.
Zayne selalu memperhatikan setiap detail ilmu yang diajarkannya, mulai dari posisi kuda-kuda, hingga gerakan sabetan dan tusukan yang benar. Setiap gerakan diperinci dengan seksama oleh Zayne, memastikan Chandra memahami setiap teknik pedang yang diajarkan. Chandra dengan tekun menyerap setiap pelajaran, terus berlatih berulang kali hingga gerakan tersebut menjadi bagian dari nalurinya.
Seiring berjalannya waktu, Chandra mengalami perkembangan yang pesat di bawah bimbingan Zayne. Gerakan lebih lancar, reaksi lebih cepat, dan kekuatannya semakin menonjol.
Zayne selalu merasa bangga melihat perkembangan dan hasil usaha yang ditunjukkan oleh Chandra. Meskipun begitu, dia tidak bisa merasa puas sama sekali dan terus memberikan arahan, dukungan, maupun dorongan agar Chandra mampu mencapai potensinya yang sejati.
Selama berada dalam bimbingan Zayne, keduanya tidak hanya berbagi hubungan sebagai guru-murid semata, tetapi juga membangun ikatan persahabatan yang kuat. Latihan itu bukan hanya mengasah keterampilan perang Chandra, tetapi juga membentuk karakternya menjadi seseorang yang gigih, tulus, dan penuh semangat. Chandra merasakan kehangatan dan dukungan dari Zayne, yang semakin memotivasinya untuk terus berkembang.
"Aku terkesan dengan kecepatanmu dalam belajar, Tuan Putri," ucap Zayne di suatu hari ketika mereka sedang beristirahat dari latihan padat yang cukup melelahkan. Nada suaranya penuh kebanggaan dan kekaguman.
Chandra tersenyum mendengar pujian yang terlontar dari bibir gurunya tersebut. "Ini semua berkatmu. Aku berhutang banyak padamu, Zayne," balasnya kemudian, merasa terharu dan bersyukur atas bimbingan dan dukungan Zayne.
"Sepertinya latihan hari ini kita selesaikan sampai di sini saja. Kita harus segera kembali ke Langgar, karena aku mendengar Putra Mahkota akan datang," ajaknya sambil mengulurkan tangan, membantu Chandra berdiri.
Chandra menerima uluran tangan Zayne dengan senang hati. Mereka bergegas kembali, mengingat jarak dari tempat Latihan menuju Langgar Suci tidaklah dekat. Setidaknya, mereka cukup beruntung karena tidak harus berjalan kaki untuk pulang. Dengan mengendarai kuda, jarak yang ditempuh jadi tidak terlalu memakan banyak waktu.
***
Langkah kaki seorang pria menggema di Lorong yang sepi, memecah keheningan yang mencekam. Lampu-lampu menggantung di langit-langit Lorong, memancarkan cahaya remang-remang yang tidak cukup terang untuk mengusir bayang-bayang gelap yang menari di dinding. Udara di sekitarnya terasa dingin, menyusup melalui celah-celah pakaian dan menimbulkan sensasi merinding di tengkuk leher.
Lorong itu terlihat sempit dan panjang tak berujung, dengan dinding-dinding yang tampak menutup rapat di sekitarnya seolah mencoba menelan siapa pun yang berani melintasinya. Namun, pria itu tidak merasa takut sedikit pun. Dia melangkah dengan tenang, karena dialah pemilik tempat itu.
Bersambung
Senin, 13 Oktober 2025