Malam itu menghancurkan segalanya bagi Talita —keluarga, masa depan, dan harga dirinya. Tragedi kelam itu menumbuhkan bara dendam yang ia simpan rapat-rapat, menunggu waktu untuk membalas lelaki keji yang telah merenggut segalanya.
Namun takdir mempermainkannya. Sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawanya dan putranya— Bintang, jika saja Langit tak datang menyelamatkan mereka.
Pertolongan itu membawa Talita pada sebuah pertemuan tak terduga dengan Angkasa, lelaki dari masa lalunya yang menjadi sumber luka terdalamnya.Talita pun menyiapkan jaring balas dendam, namun langkahnya selalu terhenti oleh campur tangan takdir… dan oleh Bintang. Namun siapa sangka, hati Talita telah tertambat pada Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Intro_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merawat Papa
Dari pos jaga, Pak Satpam, Pak Jaya, yang sudah sepuluh tahun bekerja di rumah keluarga itu, mengernyit heran. Ia melihat sosok tuannya, Angkasa, tergeletak di depan pintu utama.
“Ya Allah… Tuan…” Pak Jaya buru-buru keluar dari pos jaga dan berlari kecil. Sesampainya di depan pintu, ia terengah, wajahnya panik bercampur geram.
“Kenapa bisa begini? Mbak Talita ini gimana sih… tuannya begini kok dibiarkan.” Gerutunya lirih, sambil memegang bahu Angkasa yang lebam.
Ia mencoba mengguncang perlahan. “Tuan, bangun… ayo bangun…” Tapi Angkasa hanya mengerang pelan, tubuhnya masih terasa panas.
Pak Jaya menarik napas berat. “Hadeh… kalau begini bisa bahaya. Untung saya cek-cek. Mbak Talita keterlaluan…”
Dengan sigap ia merogoh kantong kecil di ikat pinggangnya, mengeluarkan kunci serep. Dengan hati-hati ia membuka pintu rumah, lalu memapah Angkasa masuk. Tubuh tuannya terasa berat, langkahnya terseok-seok, tapi ia tetap berusaha.
“Sabarlah, Tuan. Kalau bukan saya, entah jadi apa nasibmu.”
Ia membaringkan Angkasa di ranjang empuk kamar utamanya, merapikan selimut seadanya. Saat itu, Bintang tiba-tiba masuk dengan mata yang masih sembab karena menangis semalaman.
“Pak Satpam… Tuan Angkasa udah di kamar?” tanyanya dengan suara serak.
Pak Jaya mengangguk. “Iya, Nak. Tuan sudah saya baringkan di ranjang. Tapi kondisi beliau parah, banyak luka. Harus dijaga betul.”
Bintang menatap Angkasa yang tertidur lemah, lalu mendekat, menggenggam tangan Angkasa kecil-kecil. “Biar aku yang jagain … Mama nggak mau? Jadi aku aja.”
Pak Jaya sempat ragu, lalu menghela napas. “Nak… kamu masih kecil, apa bisa?”
“Aku bisa…” Bintang mengangguk mantap, walau suaranya bergetar. “Aku akan lapin keringat Tuan Angkasa, kasih minum kalau haus. Aku janji nggak akan tinggalin Tuan Angkasa.”
Melihat kesungguhan itu, hati Pak Jaya sedikit luluh. Ia menepuk kepala Bintang pelan. “Ya sudah… jaga Tuan baik-baik, ya. Tapi kalau ada apa-apa, panggil saya dari gerbang. Saya nggak bisa jauh dari pos, takut ada keadaan darurat.”
Bintang mengangguk mantap, duduk di kursi kecil di samping ranjang. Tangannya tak lepas menggenggam jemari Angkasa, wajah mungilnya penuh tekad.
^^^^
Bintang duduk di kursi kecil di samping ranjang. Tangannya yang mungil sesekali meremas kain lap yang dicelupkan ke dalam mangkuk berisi air hangat, lalu perlahan menempelkan ke dahi Angkasa yang penuh keringat. Gerakannya kikuk, tapi penuh ketulusan.
“Tuan… jangan sakit lagi ya…” gumamnya lirih, meski Angkasa tak mendengar.
Sesekali Bintang mengganti kain lap itu, seperti meniru apa yang pernah ia lihat Mamanya lakukan dulu saat ia demam. Ia juga menuangkan air ke dalam gelas, lalu dengan hati-hati menyentuhkan ke bibir Angkasa. Setetes demi setetes ia mencoba menyuapkan, takut kalau kebanyakan malah tersedak.
“Begini rasanya… merawat Papa beneran,” pikir Bintang. Hatinya hangat, meski matanya masih basah.
Sambil menatap wajah Angkasa yang babak belur, Bintang merasakan sesuatu yang selama ini ia rindukan. “Aku pengin Papa beneran, bukan jadi Tuan Muda…”
Tak sadar, air mata menetes di pipinya. Tapi Bintang cepat menyekanya dengan punggung tangan.
Waktu terus berjalan. Malam semakin larut, dan rasa kantuk akhirnya menyerang. Bintang masih berusaha menahan mata, takut meninggalkan Angkasa sendirian. Tapi tubuh kecil itu kalah. Ia akhirnya memanjat ranjang, lalu meringkuk di sisi Angkasa.
Ia menyelipkan wajahnya ke lengan Angkasa yang kokoh meski penuh luka, lalu berbisik pelan sebelum terlelap, “Begini rasanya tidur sama Papa…” Dalam tidur polosnya, Bintang tersenyum tipis.
makasih sudah mampir