Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Mau Diremehkan Suami
Nateya menegakkan tubuhnya, lalu menatap Elias dengan dingin. Bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang penuh sindiran.
“Waktu lima menitmu sudah habis, Jenderal. Jadi, lepaskan aku sekarang. Aku sudah mengantuk dan ingin tidur.”
Cengkeraman Elias di pinggang Nateya perlahan mengendur. Meski tatapan mata pria itu masih membara, tetapi akhirnya ia menarik napas panjang dan melepaskan sang istri.
"Pikirkan baik-baik ucapanmu tentang pergi ke Gunung Arunika. Jangan sampai kau menyesal, Seruni. Kau bukan perempuan yang bisa hidup sendirian di tempat seperti itu," pungkas Elias dengan rahang mengeras.
Setelah menyampaikan peringatan kepada Nateya, Elias berjalan keluar dengan raut kesal yang jelas terbaca di wajahnya. Pintu ditutup agak keras, meninggalkan gema pendek di kamar yang sepi.
Begitu Elias benar-benar pergi, Nateya langsung menutup pintu dan memutarnya kunci. Ia mengembuskan napas kasar.
"Dasar pria feodal! Sok dominan, angkuh, dan menyebalkan! Aku tidak habis pikir kenapa Seruni sampai tergila-gila padamu," umpat Nateya.
Puas merutuki Elias, Nateya kemudian merebahkan diri ke ranjang. Ia menarik selimut hingga sebatas dada.
Dengan gerakan malas, Nateya meraih jam weker di nakas dan memutarnya agar berbunyi pada pukul setengah enam pagi.
“Aku harus bangun lebih pagi. Aku tidak boleh larut dalam drama yang dibuat Elias dan Amara."
Tak lama kemudian, rasa lelah menyeret tubuh dan pikiran Nateya masuk ke dalam tidur yang pulas.
***
Keesokan paginya, bunyi kringgg jam weker terdengar menusuk telinga. Mata Nateya masih lengket, tetapi ia memaksa bangun dan duduk sambil menguap panjang.
Walau kantuk masih melanda, Nateya berdiri dan mengenakan setelan olahraga sederhana: kaus putih lengan panjang dan celana training abu-abu. Rambutnya diikat tinggi, dan wajahnya mulai kelihatan segar sesudah meminum segelas air putih.
Tanpa menunda lagi, Nateya berdiri di depan cermin. Ia mulai melakukan gerakan senam ringan: memutar leher ke kanan dan kiri, merentangkan tangan ke atas lalu membungkuk ke depan.
Nateya menggoyangkan pinggang dengan ritme yang stabil. Lalu, ia melanjutkan dengan gerakan lunges dan squat, mengayunkan tangan seolah mengikuti irama.
"Seandainya ada musik seperti di zaman modern, pasti lebih asyik," gumam Nateya.
Sekejap ia membayangkan, dan muncullah sebuah earphone kecil tanpa kabel yang bisa ditempel di telinga.
Senyum tipis terbit di wajah Nateya. Mendengar musik ritmis mampu menambah semangatnya. Tubuhnya pun bergerak lebih lincah, mengikuti ketukan yang hanya ia dengar sendiri.
Setelah beberapa menit, Nateya berhenti. Sembari menyapu keringat tipis yang membasahi keningnya, Nateya menatap pintu kamar.
“Ah, lebih baik lari pagi sekalian. Udara segar pasti menyenangkan.”
Tanpa berpikir dua kali, Nateya berjalan keluar kamar. Saat kakinya hampir melewati pintu rumah, langkah Nateya terhenti mendadak.
Suara berat dan tegas menyergapnya dari belakangm
“Mau ke mana kau pagi-pagi begini?”
Nateya terkejut, tubuhnya menegang. Ketika ia menoleh, Elias sudah berdiri di ruang tengah. Pria itu mengenakan setelan olahraga militer yang berwarna hitam, lengkap dengan sepatu kulit. Wajahnya datar, tetapi matanya menyipit penuh selidik.
Nateya menghela napas dalam hati. Baru ia ingat, Elias memang seorang Jenderal yang terbiasa menjaga kebugaran dengan olahraga pagi.
'Sungguh menyebalkan. Bahkan, untuk berlari pagi saja aku harus bertemu dengan pria itu,' rutuk Nateya dalam hati.
Nateya menahan dengus kesalnya, lalu menoleh pada Elias dengan tatapan sinis.
“Kalau kau belum bisa membaca gerak-gerikku, aku jawab sekarang. Aku mau lari pagi," ketusnya.
Elias menaikkan sebelah alisnya, wajahnya seperti menahan tawa. “Kau? Lari pagi?”
Pertanyaan Elias mengandung keraguan, seolah kata-kata Nateya barusan hanyalah lelucon.
Mendengar respons Elias, Nateya memutar bola matanya malas.
“Memangnya aku kelihatan sedang bercanda?”
Tanpa menunggu balasan Elias, ia segera melesat ke luar rumah.
Udara pagi langsung menyergap paru-paru Nateya. Dingin, segar, dan jauh berbeda dengan udara perkotaan modern yang ia kenal. Nateya menarik napas panjang, merasakan sejenak ketenangan yang membuat tubuhnya lebih rileks.
Ia mulai berlari menyusuri jalanan berbatu yang masih basah oleh embun. Diiringi kicauan burung-burung dari pepohonan di sekitarnya.
Namun, tak berselang lama, Nateya merasakan beban di tubuh Seruni yang ia tempati. Lemak di pinggang dan paha membuat setiap langkah terasa berat.
Alhasil, napas Nateya mulai memburu hanya dalam hitungan menit. Keringat menetes deras dari pelipis, dan rongga dadanya terasa sesak.
“Astaga… tubuh ini benar-benar payah. Baru segini saja sudah megap-megap," keluh Nateya sambil tetap berlari.
Belum sempat ia memperlambat langkah, sebuah bayangan hitam melesat melewatinya.
Elias berlari dengan ritme stabil, tubuh tegapnya mantap menembus udara pagi. Otot lengan pria itu berkontraksi tiap ayunan, dan wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kelelahan.
Nateya spontan mendengus. "Sial, dia sengaja mengejekku.”
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Nateya mencoba mengejar sang suami. Namun, paru-parunya terasa terbakar, jantungnya berdegup terlalu kencang.
Akhirnya, gerakan Nateya terhenti di tepi jalan. Ia membungkuk sambil memegangi kedua lututnya. Napas Nateya tersengal dan wajahnya memerah seperti udang rebus.
Tiba-tiba, suara langkah mendekat cepat. Elias berbalik arah dan berhenti tepat di depan Nateya
Pria itu berdiri tegak dengan dada naik turun, meski wajahnya masih tampak tenang.
"Kalau sudah tidak kuat, tidak usah memaksakan diri. Jangan membuat masalah di jalan. Bila kau sampai pingsan, aku yang harus menggendongmu pulang ke rumah.”
Sindiran Elias bagai pukulan telak bagi Nateya. Ia mendongak dengan mata memincing. Siap untuk menantang balik pria arogan yang gemar meremehkannya ini.