Berkali-kali dikhianati membuat Marwah mengalami trauma, dia tidak mau menjalin hubungan dengan pria mana pun juga. Hingga akhirnya dia bertemu dengan seorang pengusaha berkedok ustaz yang sedang mencari orang untuk mengurus ibunya.
Nahyan ternyata tidak jauh berbeda dengan Marwah. Keduanya tidak beruntung dalam hal percintaan.
Akankah Allah menjodohkan mereka berdua dan saling mengobati luka satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 9 Melatih Kesabaran
Menjelang sore, Nahyan sudah menunggu di depan rumah Marwah. "Kamu hati-hati ya, Nak. Kalau kamu gak betah jangan ditahan-tahan bilang saja sama Ustaz," ucap Pak Dadang dengan mata berkaca-kaca.
"Iya, Pak. Lagi pula, nanti Marwah akan setiap hari menghubungi kalian," sahut Marwah dengan senyumannya.
Dadang memeluk dan mencium kepala Marwah begitu sangat lama. Baru kali ini ia melepas anaknya pergi jauh sampai ke kota, dulu sempat mondok di pesantren tapi tempatnya dekat dan Dadang pun bisa bertemu dengan Marwah kapan pun. Setelah itu Dadang menghampiri Nahyan yang masih berdiri di samping mobilnya.
"Ustaz, saya titip Marwah. Tolong kalau bisa Ustaz sering-seringlah nasihatin dia, Marwah butuh motivasi dan dukungan agama supaya dia tidak sedih terus," ucap Pak Dadang.
"Tenang saja Pak, Marwah aman bersama saya," sahut Nahyan dengan senyumannya.
Nahyan membukakan pintu mobil tapi Marwah menolak. Bahkan Marwah memilih duduk di belakang dari pada di depan dan Nahyan memaklumi itu. Setelah pamitan, akhirnya Nahyan dan Marwah pun pergi.
Dadang dan Ani sampai menghapus air matanya melepas anak sulung mereka pergi. Bersamaan dengan kepergian Marwah, Nazwa pun datang bersama Iwan. "Loh, Ibu dan Bapak kenapa? memangnya siapa yang di mobil itu?" tanya Nazwa.
"Kakak kamu pergi ke Jakarta," sahut Bu Ani.
"Apa, ke Jakarta? mau ngapain?" Nazwa terlihat kaget begitu juga dengan Iwan.
"Ada Ustaz yang membutuhkan orang untuk menjaga ibunya, dan kakak kamu mau katanya jadi dia pun ikut dengan Ustaz Nahyan," sahut Bu Ani.
"Kok Ibu langsung percaya saja? bagaimana kalau itu penipuan?" tanya Iwan dengan khawatirnya.
"Tidak mungkin Ustaz Nahyan berbohong, dia begitu sangat baik," sahut Bu Ani.
"Bu, sekarang itu orang-orang sudah pintar. Banyak kita tertipu dengan penampilan, jangan mentang-mentang dia Ustaz jadi Ibu dan Bapak percaya saja," kesal Iwan.
"Kamu kenapa sih? bukanya do'akan yang baik-baik malah suudzon sama orang. Lebih bagus Marwah pergi dari rumah ini dari pada dia terus-terusan sakit melihat kamu yang ada lukanya akan terus menganga!" bentak Pak Dadang yang membuat Iwan seketika terdiam.
Nazwa pun segera mengambil Namira dan mengajak Iwan pulang. Dia tidak mau sampai terjadi pertengkaran antara Bapak dan suaminya. Sementara itu, selama perjalanan keduanya saling diam satu sama lain.
Nahyan fokus dengan jalanan, sedangkan Marwah fokus juga melihat jalanan. "Ya, Allah semoga luka aku bisa sembuh karena aku ingin sembuh gak mau terus-terusan tersiksa dengan luka masa lalu," batin Marwah.
"Oh iya, Mama aku itu mempunyai tempramen yang keras apalagi kepada orang baru. Beliau akan marah-marah dan maki-maki orang itu makanya tidak ada yang kuat menjaga Mama," ucap Nahyan yang masih fokus ke jalanan.
"Maaf, kalau boleh tahu apa awalnya Mama Ustaz punya masalah dan pengalaman pahit?" tanya Marwah.
"Iya. Waktu itu aku sedang melanjutkan pendidikan di Australia dan Papa meninggal dunia. Aku gak bisa pulang karena saat itu aku sedang ujian, jika aku maksa pulang maka aku harus mengulangnya tahun depannya lagi. Mama sudah beberapa kali meminta aku untuk pulang, tapi aku tidak bisa. Bukan karena aku tidak sayang sama Papa dan Mama, tapi aku gak mau sampai mengulang lagi tahun depan. Itu membuat Mama marah besar dan sampai sekarang Mama membenci aku bahkan dia suka marah-marah tanpa jelas," jelas Nahyan.
Marwah manggut-manggut pertanda dia mengerti dengan apa yang dijelaskan oleh Nahyan. "Ustaz, aku coba selama satu minggu ya, jika aku tidak kuat nanti aku minta Ustaz untuk mengantarkan ku pulang lagi ke kampung," ucap Marwah.
"Iya."
Menjelang Malam, Nahyan pun sampai di rumahnya. Marwah sampai kaget melihat rumah Nahyan yang sangat megah dan besar itu. "Ayo, masuk!" ajak Nahyan.
Nahyan memperkenalkan Marwah kepada asisten rumah tangganya. Setelah itu Nahyan pun membawa Marwah ke lantai dua. "Ini, kamar kamu dan yang sebelahnya kamar Mama aku. Sedangkan yang itu, kamar aku jadi kalau ada apa-apa kamu langsung ngomong saja sama aku," ucap Nahyan.
"Baik, Ustaz."
"Jam segini biasanya Mama sudah tidur jadi kamu istirahat saja. Besok subuh, kamu langsung saja ke kamar Mama dan bawakan sarapan untuknya," ucap Nahyan.
"Iya, Ustaz."
"Aku istirahat dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Nahyan masuk ke dalam kamarnya begitu juga dengan Marwah. Marwah memperhatikan kamar itu, begitu luas dan nyaman. "Ternyata Ustaz Nahyan bukan orang sembarangan, pantas saja setiap mendapat undangan untuk memberikan tausiah, beliau gak mau di bayar ternyata beliau orang kaya," batin Marwah.
Marwah duduk di ujung ranjang. "Seperti apa Mama beliau? kenapa semua orang tidak ada yang kuat?" batin Marwah kembali penasaran.
Marwah merasa sangat kelelahan, dia pun akhirnya merebahkan tubuhnya dan tidak membutuhkan waktu lama akhirnya dia pun tertidur.
***
Keesokan harinya....
Sebelum adzan subuh, Marwah sudah bangun karena dia memang terbiasa bangun sebelum adzan. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk mandi, setelah selesai mandi suara adzan pun terdengar dan Marwah segera melaksanakan shalat subuh. Marwah keluar dari dalam kamar dan berjalan menuju dapur.
"Bi, Ibu sukanya sarapan apa?" tanya Marwah ramah.
"Oh, kalau pagi-pagi biasanya Nyonya makan sereal, nanti makan nasinya di jam makan siang," sahut ART.
"Oh begitu, baiklah saya saja yang bikin sereal Bi," ucap Marwah.
"Silakan, Neng."
Marwah pun segera membuat sereal, setelah selesai dia pun berjalan menuju kamar Halimah. Jantung Marwah berdetak tak karuan, entah kenapa rasanya gugup sekali. Mendengar dari ucapan Nahyan, Mamanya suka marah-marah maka dari itu dia harus menyiapkan mental jika tiba-tiba Halimah memarahinya.
Di depan pintu kamar Halimah, Marwah beberapa kali menghembuskan napasnya. "Bismillah, semoga Bu Halimah suka dengan kehadiran ku," batin Marwah.
Marwah mengetuk pintu, lalu perlahan membuka pintu kamar itu. "Assalamualaikum."
Marwah masuk, dan terlihat Halimah sudah bangun dan duduk di atas kursi roda dengan masih menggunakan mukena. "Selamat pagi, Bu. Perkenalkan nama saya Marwah, saya orang baru yang akan merawat dan menjaga Ibu selama Ustaz Nahyan kerja. Ini saya bawakan sereal, karena katanya Ibu suka sarapan sereal," ucap Marwah ramah.
Baru saja Marwah menyimpan nampan di atas meja, Halimah langsung menepis nampan itu sehingga semuanya jatuh berantakan. Marwah sampai membelalakkan matanya karena terkejut. Halimah menatap Marwah dengan tatapan marah. "Keluar kamu!" tegas Mama Halimah.
Marwah menghela napas. "Sebentar ya, Bu. Saya bereskan dulu yang berserakan ini takutnya pecahan gelasnya kena ke Ibu," sahut Marwah.
Dengan cepat Marwah berlari untuk mengambil lap pel, Halimah memperhatikan Marwah dari ujung kaki sampai kepala. Pakaian syar'i di tambah dengan cadar membuat Halimah semakin kesal. Baru hari pertama saja Marwah sudah membuat Marwah sport jantung, akankah Marwah bisa bertahan sampai seminggu ke depan?