Luka Vania belum tuntas dari cinta pertama yang tak terbalas, lalu datang Rayhan—sang primadona kampus, dengan pernyataan yang mengejutkan dan dengan sadar memberi kehangatan yang dulu sempat dia rasakan. Namun, semua itu penuh kepalsuan. Untuk kedua kalinya, Vania mendapatkan lara di atas luka yang masih bernanah.
Apakah lukanya akan sembuh atau justru mati rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksy_K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Car Free Day
Pagi itu Rayhan, Pandu, Ali, dan Pak Rudy sedang sibuk menata instrumen musik di salah satu spot yang menjadi pusat keramaian.
Hiruk pikuk itu terasa berbeda, lebih manusiawi. Jalan-jalan besar yang biasa penuh kemacetan kini jadi ruang lega. Anak-anak bersepeda, pasangan berjoging dengan santai, bahkan pedagang kaki lima mendadak membuka lapak di tepi trotoar. Membuat bau jajanan menguar bercampur dengan keringat orang-orang yang berlari.
Beberapa orang yang asyik berolahraga atau sekedar menikmati Car Free Day sesekali bertanya dengan antusias, menunggu penampilan dari band Delta. Membuat Rayhan, Pandu dan Ali lebih bersemangat, ingin tampil dengan penampilan yang memuaskan.
Tiba-tiba datang tiga gadis remaja mendekati Rayhan yang sedang memasang mikrofon. Mereka saling bersikut lengan dengan wajah malu-malu, hingga salah satu dari mereka memberanikan diri bertanya pada Rayhan.
“Kak, maaf. Boleh tahu nama IG nya apa?” ucapnya dengan menyodorkan ponsel di hadapan Rayhan.
Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa dirinya yang diajak bicara oleh gadis itu. Pandu yang menyadari hanya membalas dengan gerakan dagunya, seolah menyuruhnya untuk mengatasi sendiri.
“Emmm ... boleh, tapi dengan satu syarat,” ucapnya dengan senyum karir.
Sontak ketiga gadis itu mengangguk serempak.
“Kasih tahu teman-teman kalian kalau saat ini ada band keren dan tentu saja tampan yang tampil di CFD. Oke?” ucap Rayhan mengedipkan mata, senyumnya di buat semanis mungkin, memancing teriakan histeris yang segera menarik banyak pasang mata.
Pandu dan Ali saling adu pandang. Alis terangkat, bibir mencebik, seolah menolak untuk percaya bahwa orang yang berdiri di sana adalah teman mereka sendiri. Namun di balik rasa ilfeel itu, Pandu bersyukur karena perlahan-lahan sifat Rayhan yang sempat terkubur kini perlahan-lahan muncul.
Setelah melakukan promosi dengan wajahnya, Rayhan berbalik badan, dan disambut tepuk tangan dari Pak Rudy. Menggeleng pelan dengan tatapan takjub.
“Bagus! Ini baru yang namanya memanfaatkan aset dari lahir. Teruskan!”
Rayhan menggaruk belakang kepalanya, hanya bisa menarik ujung bibirnya tipis. Ia pun tanpa sadar melakukan kebiasaan lamanya, gestur sederhana yang dulu selalu menyenangkan para penggemarnya.
Tidak butuh waktu lama, persiapan mereka sudah selesai. Rayhan sudah siap di posisinya dengan gitar listrik di tangannya. Jantungnya berdegup kencang, sensasi yang sudah lama tak pernah dirasakan kini perlahan menjalar dari ujung kakinya hingga jemarinya.
Sekilas ia menoleh, memastikan bahwa anggota lain siap memulai. Pak Rudy juga sudah siap melakukan live TikTok di samping.
“Selamat pagi semua! Terima kasih sudah ikut meramaikan Car free Day hari ini. Nama saya Rayhan, bareng teman-teman akan membawakan beberapa lagu.” Suara dalam dan rendah itu langsung membuat beberapa melebarkan telinganya, mencari sumbernya.
“Jadi, izinkan kami menjadi soudtrack untuk kalian pagi ini. kalau ada fals dikit, anggap saja efek spesial, ya.” Ujarnya dengan sedikit bercanda.
Orang-orang mulai melirik, sebagian melambatkan langkah, sebagian berlalu setelah menoleh sekilas.
“Lagu pertama, kami akan membawa lagu dari RAN Selamat Pagi.”
Begitu senar pertama dipetik, dan suara pertama mengalun, suasana seketika berubah. Riuh Car Free Day seakan menambah warna baru. Musik menempel di udara, menahan beberapa orang untuk berhenti, tersenyum, bahkan ikut menggoyangkan kepala mengikuti irama.
Di sisi lain, Vania tersengal-sengal mengikuti langkah lebar Okta. Tangannya ditarik tanpa jeda, seakan mereka berpacu pada waktu yang kian menipis.
“Okta! Pelan-pelan!”
“Buruan! Gue harus dapet spot kamera yang bagus sebelum makin rame!”
“Emang kita mau kemana sih?”
“Udah lo diem aja, lo cuman perlu temeni gue.”
Dan terpaksa Vania menutup mulutnya, napasnya saja seperti di ujung tanduk. Tak ada tenaga untuk berdebat. Hingga akhirnya mereka di tempat tujuan. Alunan musik dan suara yang sangat familiar menyapa indra pendengarannya. Di sana, beberapa orang telah berkerumun, menyaksikan konser mini gratis yang berada di Car Free Day.
Ketika Okta menerobos ke kerumunan, Vania dapat melihat dengan jelas, sosok Rayhan yang akhir-akhir ini selalu diam-diam menempel padanya. Hanya untuk bisa tertidur pulas di sampingnya, entah itu di kelas, kantin, atau perpustakaan. Seolah dirinya menjadi pengganti obat tidur untuknya.
“Pandu!” seru Okta dengan melambaikan tangan yang dibalas senyuman ceria.
Karena teriakan Okta, refleks Rayhan ikut melirik ke depan dan benar saja, mata mereka bertemu. Cukup lama, lekat, dan dalam. Tatapan yang seakan saling menyelam dalam perasaan yang hanya mereka pahami.
Musik pun berhenti. Saat lagu selanjutnya akan dimainkan, Rayhan berbalik dan mengatakan sesuatu yang membuat Pandu melebarkan matanya.
“Gak bisa gitu lah, Ray! Itu kan gak ada di daftar!” protes Pandu setengah berbisik.
“Sekali ini saja, Pan.”
“Gak, gue takut salah tempo. Kita cuman pernah main lagu itu sekali.”
Ali mencoba menyahuti. “Lo yakin, Ray? Kalau nanti jelek, bukan cuman lo yang malu. Tapi kita.”
Rayhan mengangguk mantap. “Gue yakin!”
Setelah perdebatan kecil itu, lagu selanjutnya pun segera dimainkan. Pandu pindah menduduki alat cajón, Rayhan dan Ali pun berganti memainkan gitar akustik. Beberapa orang makin penasaran begitu pula dengan Vania.
“Lagu ini spesial untuk seseorang yang saat ini berada di sini.” Ucapan Rayhan sontak membuat bisik-bisik di sekitar, yang mencari seseorang yang dimaksud. Vania langsung menunduk, sudah menebak siapa sosok itu.
“Jika ini adalah akhir, biarlah aku hadapi dengan hati terbuka. Spesial untukmu, Writing’s On The Wall dari Sam Smith.”
Suara berat nan lirih menembus udara pagi, lagu itu bukan sekedar musik jalanan—ia berubah menjadi pengakuan, getir dan rapuh, namun penuh keberanian. Seakan setiap kata lahir dari dada yang patah namun masih berani berharap.
“How do i life? How do i breathe? Where you’re not here suffocating. I wanna feel love run through my blood. Tell me, is this where i give it all up?”
Ketika lirik itu di nyanyikan, mata legam itu menatap Vania begitu lekat. Seolah perasaannya hanya mampu ia sampaikan lewat lantunan nada. Mata Vania bergetar, bibirnya ia gigit kuat-kuat, dadanya sesak, terhimpit oleh beban yang begitu berat.
Di atas aspal tanpa panggung megah itu, menjelma jadi momen jujur untuk Rayhan, seakan tak ada kesempatan lain. Lagu itu berakhir tanpa kesalahan sedikit pun, namun gaungnya menggantung di udara.
Vania menunduk, hatinya bergetar hebat, antara ingin lari atau diam di tempat yang membuatnya makin terhanyut. Rayhan menatapnya sekali lagi, seolah dunia hanya berpusat pada dirinya dan Vania.
Tak ada sepatah kata, hanya tatapan sedu penuh arti.
Di balik bisik-bisik penonton, ada dua hati yang saling berperang. Satu ingin menyerah dan satu masih berusaha bertahan. Dan di titik itulah mereka sadar, perasaan mereka terlalu besar untuk disembunyikan, tapi terlalu rapuh untuk diungkapkan.
.
.
.
sholeh bgt rayhan nih wkwk