NovelToon NovelToon
Hadiah Penantian

Hadiah Penantian

Status: tamat
Genre:Romantis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter / Tamat
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Chocoday

Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.

Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.

Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.

"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.

Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?

Simak kisahnya di cerita ini yaa!!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jalan-jalan Malam

Hari sudah mulai gelap, aku juga sudah bersiap dengan pakaian yang cukup hangat. Panggilan masuk dari Hanif membuatku langsung menyambungkannya.

"Assalamualaikum A! Kok tumben telepon, udah di depan?"

"Waalaikumsalam neng!"

"Hiksssss...... Om gak boleh pergi kalau gak sama aku,"

Aku mendengar suara tangisan radit yang memaksa ingin ikut bermain dengan kita berdua.

"Nanti Aa jemput kamu, tapi tunggu dia tenang dulu. Gak apa-apa kan?"

"Iya A gak apa-apa. Emang kalau diajak kenapa?"

(Masa mau pacaran ajakin bocah)

"A? Kamu masih disitu kan?"

"Iya neng. Gak baik aja anak kecil main malem. Lagian besok dia suka susah sekolah kalau abis dari luar malemnya,"

"Oh gitu, ya udah atuh. Neng tunggu ya A! Nanti kabarin aja kalau mau jemput,"

"Iya nanti Aa kabarin. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam,"

Setelah panggilannya terputus, aku memilih untuk menyemil kue yang sempat kubeli tadi siang sepulang sekolah—lumayan untuk mengganjal lapar sembari menunggu Hanif menjemput.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, Hanif baru saja mengabari jika dirinya akan pergi menjemput. Hanya dengan beberapa menit saja, motornya sudah terdengar parkir di halaman rumah ibu kost.

Aku izin untuk bermain keluar sebentar—sebenarnya hanya untuk mengajak Hanif jajan malam saja sembari menonton bioskop film horor terbaru rencananya.

Laki-laki itu memintaku untuk duduk sembari menunggunya mengambil tiket yang sudah ia pesan melalui online. Karena merasa bosan, aku memilih untuk mengantri membeli popcorn dan juga cola.

Tidak butuh waktu lama, kita berdua sudah duduk di kursi bioskop dengan film yang mulai diputar.

"Dingin gak?" tanya Hanif.

Aku menggelengkan kepala, "kan ini di tengah-tengah. Jadi gak terlalu dingin karena kehalang sama orang lain." Laki-laki itu mengangguk paham.

Film mulai berjalan, satu persatu scene horor itu mulai terlihat. Hantu yang tiba-tiba muncul dengan suara yang mengejutkan—menggema, membuatku berulang kali terkejut.

Hanif menggenggam tanganku, "takut ya?" bisiknya.

"Enggak," jawabku singkat, "santai aja."

Hanif menahan senyumannya.

Sudah tahu aku berbohong, laki-laki itu tetap saja terkekeh ketika melihat wajahku cukup pucat ketika film itu selesai diputar.

Aku memukul tangannya, "seneng banget kalau ngejek orang!!"

Hanif terkekeh, "ya abisnya masih bilang gak takut, padahal mukanya udah pucat kayak hantu tadi."

"enggak pucat, ini cuman kedinginan aja," jawabku dengan sedikit menekuk wajah.

Hanif terus terkekeh mendengarnya. Laki-laki itu masih saja merasa gemas dengan kelakuanku.

"Habis ini mau kemana?" tanyanya.

"Pengen es krim," jawabku sembari menggandeng tangannya ke parkiran.

"Emangnya lagi gak diet if?"

Aku menggelengkan kepala, "pengecualian kalau sekarang. Masa udah keluar malam gak jajan es krim," jawabku membuatnya terkekeh.

"Yang seember?" tanyanya.

"Boleh?" tanyaku balik.

Hanif tersenyum gemas, "boleh," jawabnya sembari mencubit pipiku, "kan gak sering juga."

"Tapi nanti bantu abisin!" pintaku.

"Kan kamu mau yang seember, kalau gak bakal habis yang kecil aja belinya," ucap Hanif.

Aku melepaskan tangannya, "aa gak mau beli juga?" tanyaku.

"Kan Aa gak terlalu suka," jawabnya.

Aku menekuk wajahku, "ya udah kita jajan yang lain aja kalau Aa gak terlalu suka. Aa sukanya apa?"

Hanif malah mendekatkan wajahnya padaku, "suka kamu."

Aku mendorong wajahnya karena tersipu malu.

Nih cowok kenapa tiba-tiba jadi terang-terangan begini?

Kan aku jadi salah tingkah.

Hanif terkekeh pelan melihat pipiku yang mulai memerah karenanya. Laki-laki itu memakaikan helm padaku—mencubit hidungku pelan, "yuk naik!"

Pada akhirnya, aku tetap jadi pergi membeli es krim seember yang direncanakan tadi. Sedangkan Hanif membeli wedang jahe yang cukup hangat—kebetulan berjualan tempat di samping toko es krim yang kubeli.

Hanif tersenyum memperhatikan aku yang sedang memakan es krim cukup banyak itu, "kamu gak pernah sakit perut gara-gara es krim kan?"

"Emang bisa ya?" tanyaku, "dari dulu suka es. Perasaan baru denger bisa bikin sakit perut."

"Bisa kalau makannya kebanyakan. Kan apapun yang berlebihan itu gak baik," jawabnya.

Aku menggeser ember kecil es krim itu, "ya udah bantu abisin berarti."

Hanif sempat menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Padahal maksudnya cuman buat nakut-nakutin aja.

Kok malah disuruh makan juga.

"Ayo dong Aa!! Nih sendoknya," pintaku sembari memberikan sendoknya.

"Tapi Aa udah kenyang," jawabnya dengan menyentuh perut yang sedikit buncit.

"Ih sayang kalau gak abis Aa,"

"Ya suruh siapa banyak-banyak belinya. Kan tadi Aa bilang beli yang kecil aja," timpalnya.

Aku menekuk wajah mendengarnya.

Pada akhirnya, Hanif tetap membantuku menghabiskannya, "lain kali jangan beli yang gede kalau misalnya kamu gak sanggup ngabisin sendirian." Aku terdiam mendengarnya.

"Masih mau dengerin Aa gak?"

Aku mengangguk, "iya ih!!!"

Hanif menahan senyumannya sembari memperhatikanku yang terus memakan es krimnya hingga habis.

Tidak lama setelahnya, kita sempat berkeliling sebelum pulang—menikmati pemandangan malam di kota. Cukup banyak orang yang masih berkeliaran juga, bahkan mungkin hanya sekedar bermain sepertiku.

Pulangnya, Hanif mengajakku untuk pergi ke toko buku sebentar. Laki-laki itu ingin membeli salah satu buku untuknya belajar lebih banyak—katanya.

Aku mengikutinya dari belakang, sembari sesekali melihat buku novel yang sudah terpajang rapih di barisan khusus.

Suatu saat novel aku bisa terpajang di sini gak ya?

Bakal ada kesempatan gak ya?

Hanif tersenyum lalu menghampiriku, "semoga nanti buku tulisan dengan nama penulis Ry itu bisa terpajang disini."

Aku menoleh pada Hanif, "aa..... tau?"

Hanif mengangguk, "aa sempet tanya sama kamu kan tentang itu. Terus kamu juga cerita kalau kamu bikin novel di platform yang cukup terkenal itu."

"Terus tau darimana nama pena aku?" tanyaku.

Hanif hanya mengisyaratkan tangannya—menunjuk pada layar ponselku yang menyala dengan wallpaper tulisan Ry.

"Terus Aa cari, aa baru baca sedikit sih. Tapi seru, menurut Aa, ceritanya realistis walaupun emang agak susah dicari kisah kayak begitu," ucapnya dengan sedikit ragu.

Aku terkekeh pelan, "gak udah ragu buat ungkapin pendapat a. Aku sama sekali gak tersinggung kok."

"Aa baca yang mana?" tanyaku.

"Baca yang paling banyak pembacanya, apa ya lupa judulnya. Kalau gak salah, Duniaku untukmu gitu," jawabnya.

Aku sempat terdiam mendengarnya.

Itu kan ceritanya nanti bakal ada kehidupan suami istrinya.

Gimana kalau Aa baca terus malah jadi mikir yang enggak-enggak sama aku?

"Neng?" panggil Hanif membuatku tersadar mendengarnya, "HAH?"

"Kenapa?" tanyanya.

Aku menggelengkan kepala, "udah belum cari bukunya?"

"Udah, tinggal bayar. Kamu ada buku yang mau dibeli gak?" tanyanya membuatku langsung menggelengkan kepala.

"Ya udah Aa bayar dulu ya!" aku mengangguk mengiyakan.

Setelah membayarnya, Hanif mengajakku untuk pulang karena memang sudah cukup malam. Takutnya, ibu kost atau bahkan bapak salah paham padanya. Sekalipun sudah izin terlebih dahulu tapi tetap saja tidak baik juga berkeluyuran sampai tengah malam.

Baru saja akan keluar dari toko buku, seseorang yang kukenal sedang menggandeng perempuan seksi menuju toko baju yang cukup mewah.

"Riyani?" panggilnya, "kamu masih gini-gini aja ternyata. Sekarang udah bisa bawa laki-laki malam begini ya? Udah dibolehin ngapain aja kamu sekarang?"

1
Chocoday
Ceritanya dijamin santai tapi baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!