Setelah ditolak oleh gadis pujaan kampus, Rizky Pratama tiba-tiba membangkitkan sebuah sistem ajaib: setiap kali ia mendapat satu pengikut di siaran langsung, ia langsung memperoleh sepuluh juta rupiah.
Awalnya, semua orang mengira Rizky hanya bercanda.
Namun seiring waktu, ia melesat di dunia live streaming—dan tanpa ada yang menyadari, ia sudah menjelma menjadi miliarder muda Indonesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apa aja 39, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Kembali dengan Selamat
Urat di pelipis Pak Nurdin menonjol ketika ia melihat Rizky masih santai duduk di sofa. Dengan langkah lebar ia maju, meraih kerah baju Rizky, dan mengangkatnya dengan kasar.
“Kamu masih berani duduk di sini?!” bentaknya, suaranya bergema di ruang kantor yang tegang.
Rizky hanya menoleh dengan senyum tipis, lalu kembali menjatuhkan tubuhnya ke sofa.
“Pak Nurdin,” katanya tenang, “jangan gampang marah. Kata orang, terlalu sering marah bisa bikin cepat tua. Hati-hati, nanti ginjalnya kena.”
“Kurang ajar!” Pak Nurdin menepuk meja keras-keras. “Kamu tahu kenapa saya panggil kamu hari ini?”
Rizky hanya menggeleng polos, seolah benar-benar tidak tahu apa-apa.
Dengan geram, Pak Nurdin mengeluarkan ponselnya. Di layar, terpampang sebuah postingan yang sedang viral—isi komentar penuh dengan makian.
“Lihat ini! Gara-gara ulahmu, gosip soal kamu main perempuan dengan dua siswi sudah tersebar ke seluruh sekolah. Kamu pikir sekolah ini tempat apa? Orang tua bayar uang sekolah untuk apa, hah? Untuk lihat anaknya jadi buaya darat?”
Rizky mengangkat kedua tangannya, wajahnya pura-pura tak berdosa.
“Bapak mungkin salah paham. Saya tidak pernah pacaran dengan siapa pun selama sekolah. Mereka sendiri yang maksa, pagi-pagi beliin sarapan, ngajak ngobrol, ngajak jalan. Saya sudah menolak berkali-kali.”
Ucapan itu membuat Pak Nurdin terbahak marah. “Jadi kamu ini siapa sampai cewek-cewek berebut mendekatimu? Sejak kapan sekolah ini jadi panggung idolamu?”
Rizky hanya menggaruk kepalanya. “Mungkin karena saya terlalu ganteng, Pak.”
“Diam kamu!” teriak Pak Nurdin, wajahnya merah padam. “Kamu benar-benar bikin suasana sekolah kacau! Sekarang saya kasih dua pilihan. Pertama, keluar dari sekolah dan pulang. Silakan lakukan sesukamu di luar, saya tidak peduli. Atau, kedua—telepon orang tuamu, biar mereka datang ke sekolah dan dengar langsung perbuatan memalukanmu!”
Dua pilihan itu membuat Rizky mengerutkan kening. Pulang memang enak, tapi kalau orang tuanya tahu ia dikeluarkan, itu jelas aib. Sementara memanggil orang tua datang? Itu lebih memalukan lagi.
Dengan nada serius, ia menatap balik Pak Nurdin.
“Pak, saya pikir masalah ini belum jelas. Kesalahannya mungkin bukan di saya. Bukankah lebih baik diselidiki dulu?”
“Diselidiki?” Pak Nurdin hampir meledak lagi. “Apa kedua siswi itu budakmu? Masa iya mereka rela-rela saja jadi bahan gosip kalau bukan kamu yang memulai? Sudah jelas, kamu mempermainkan perasaan mereka! Apalagi ada bukti foto! Bahkan Sinta—putri Pak Tang dari Jiangcheng—mana mungkin tertarik sama kamu kalau bukan karena kamu cari gara-gara!”
Wajah Pak Nurdin semakin tegang. “Karena kamu tidak mau memilih, saya pilihkan untukmu. Berkemaslah. Saya tidak akan mempermalukanmu di depan semua orang. Anggap saja kamu mengundurkan diri.”
Tapi Rizky masih duduk santai, suaranya datar namun penuh tekanan.
“Pak Nurdin, saya tidak ingin keluar. Saya yakin Bapak bisa bantu saya cari jalan keluar.”
“Rizky!” Pak Nurdin berdiri dan menunjuk hidungnya. “Kamu ini murid atau preman?! Sudah berani panggil saya ‘Nurdin Tua’ segala! Kamu tahu apa artinya menghormati guru?”
Tatapan Rizky berubah dingin. “Saya tahu arti menghormati guru. Tapi, mohon maaf, Bapak tidak pantas dihormati.”
“Maksud kamu apa?” suara Pak Nurdin tercekat, mulai panik.
Rizky menyandarkan tubuh ke sofa, tangannya menunjuk ke arah dinding samping.
“Kantor sebelah tadi… cukup ramai, ya?”
Jantung Pak Nurdin seketika berdebar kencang. Sebuah hawa dingin menjalar dari tengkuknya. “K-kamu… bicara apa?”
Rizky menyilangkan tangan di belakang kepala, santai seakan menguasai situasi.
“Maksud saya, Bapak tadi asyik berduaan dengan Bu Ratna di ruangan sebelah. Kalau saya cerita ke publik… kira-kira apa yang akan orang-orang pikirkan?”
Wajah Pak Nurdin pucat. Bagaimana bocah ini bisa tahu?
“Rizky! Kamu sadar tidak kalau kamu sedang memfitnah? Itu bisa kena hukum!”
“Fitnah?” Rizky terkekeh pelan. “Dinda dan Ayu yang mengganggu saya, malah saya yang dituduh salah. Apa itu bukan fitnah? Soal Bapak dengan Bu Ratna, kalau saya unggah ke media sosial… biar netizen yang menilai. Saya yakin mereka pintar memilih mana yang masuk akal.”
Pak Nurdin tercekat. Ia tahu, sekali isu ini tersebar, meski tanpa bukti foto pun, gosip akan meledak. Kepala sekolah bisa marah besar, reputasinya hancur.
Setelah diam lama, akhirnya ia berdeham. “Ehem… Rizky, memang ada kejanggalan dalam kasusmu. Baiklah, saya akan menyelidiki lebih lanjut.”
Rizky tersenyum puas. “Nah, begitu lebih bijak. Saya haus, Pak. Tolong ambilkan segelas air penuh.”
Pak Nurdin hampir meledak lagi. “Kamu pikir kamu ini siapa? Mau seenaknya perintah saya?”
Rizky pura-pura meregangkan leher, lalu bersuara keras, “Kalau begitu… saya ceritakan saja di kelas, bahwa Pak Nurdin—”
“Cukup!” Pak Nurdin buru-buru menutup mulutnya. “Baik, baik! Saya ambilkan air.”
Dengan wajah kelam, ia menuangkan teh ke gelas lalu menyodorkannya.
Rizky meneguk pelan, lalu mengunyah sedikit daun teh. “Hmm, ini teh apa?”
“Longjing,” jawab Pak Nurdin dengan nada kesal.
“Enak juga. Boleh minta dua bungkus untuk saya bawa pulang?”
Pak Nurdin hampir pingsan menahan emosi. Dengan pasrah, ia menyodorkan semua kantong teh yang tersisa. “Ambil saja semuanya! Asal cepat pergi!”
Rizky berdiri, mengemasi teh dengan senyum lebar.
“Terima kasih, Pak. Jangan khawatir, saya percaya Bapak orang yang bermoral tinggi. Kalau ada gosip aneh, biar saya yang pertama membela nama baik Bapak.”
“Keluar!” bentak Pak Nurdin, wajahnya merah padam.
Dengan langkah santai, Rizky meninggalkan ruangan.
---
Kebetulan, bel pelajaran baru saja usai. Koridor dipenuhi siswa yang berhamburan. Rizky berjalan kembali ke kelas dengan kedua tangan di saku, wajahnya tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Di dalam kelas, Rafi sudah lebih dulu mendekati Sinta dengan ekspresi penuh harap.
“Sinta, aku kemarin nemu ruang belajar baru. Lingkungannya bagus, harganya murah. Mau coba belajar bareng di sana?”
Sinta menatapnya sebentar lalu menggeleng. “Tidak usah. Aku lebih suka belajar di rumah malam ini.”
Rafi tidak menyerah. “Tapi suasana belajarnya benar-benar nyaman. Lagipula, pemahaman bacaanmu kan masih agak lemah. Aku bisa bantu ngajarin.”
Sinta tetap tersenyum tipis. “Terima kasih, tapi ayah sudah menyewa tutor pribadi untukku.”
Jawaban itu membuat Rafi terdiam, wajahnya kaku.
Saat itu, pintu kelas terbuka. Rizky masuk dengan santai. Seorang teman berkacamata langsung berseru kaget, “Eh, Rizky? Bukannya kamu tadi dipanggil ke ruang dekan? Kok bisa balik?”
Rizky menoleh dengan senyum kecil. “Masa iya saya mau tidur di kantor dekan? Tentu saja balik ke kelas.”
Begitu melihatnya, Sinta langsung berdiri. Wajahnya penuh cemas. “Rizky, kamu baik-baik saja? Apa kata Pak Nurdin?”
Rizky menenangkan dengan senyum percaya diri. “Santai. Saya sudah jelaskan semuanya, dan Pak Nurdin setuju kalau masalah ini bukan salah saya. Ada orang yang sengaja memprovokasi. Setelah diselidiki, saya diizinkan kembali belajar seperti biasa.”
Sinta terlihat lega. “Syukurlah…”
Di sisi lain, bibir Rafi melengkung kaku. Hatinya panas. Sejak kapan Pak Nurdin bisa sebaik itu? pikirnya dengan kesal.
Dan saat Sinta kemudian berkata dengan suara lembut, “Rizky… malam ini kamu mau belajar bareng aku, kan?”
Kalimat itu seketika membuat pertahanan Rafi runtuh.