Sean Montgomery Anak tunggal dan pewaris satu-satunya dari pasangan Florence Montgomery dan mendiang James Montgomery yang terpaksa menikahi Ariana atas perintah ayahnya. Tiga tahun membina rumah tangga tidak juga menumbuhkan benih-benih cinta di hati Sean ditambah Florence yang semakin menunjukkan ketidak sukaannya pada Ariana setelah kematian suaminya. Kehadiran sosok Clarissa dalam keluarga Montgomery semakin menguatkan tekat Florence untuk menyingkirkan Ariana yang dianggap tidak setara dan tidak layak menjadi anggota keluarga Montgomery. Bagaimana Ariana akan menemukan dirinya kembali setelah Sean sudah bulat menceraikannya? Di tengah badai itu Ariana menemukan dirinya sedang mengandung, namun bayi dalam kandungannya juga tidak membuat Sean menahannya untuk tidak pergi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilang Tanpa Jejak
Ruangan rapat markas Montgomery malam itu seperti ruang pengadilan. Dindingnya dipenuhi layar monitor yang menampilkan peta kota, daftar nama, rekaman CCTV dari terminal, stasiun, bandara, hingga rumah sakit. Tumpukan dokumen dan map hasil kerja Jonash dan tim selama dua minggu terakhir berserak di atas meja. Namun semua itu berujung sama, nihil.
Jonash berdiri tegak di ujung meja, bahunya tegang. Sejak sore ia sudah mengulang-ulang data ini, memastikan tidak ada satu celah pun yang terlewat. Tapi hasilnya tetap nihil. Seakan Ariana hilang ditelan alam.
Suara pintu berderit keras memecah keheningan. Sean masuk, langkah sepatunya berat, matanya merah menyala. Aura yang dibawanya membuat udara di ruangan itu menegang. Semua anak buah yang duduk langsung menunduk, bahkan ada yang pura-pura sibuk membalik halaman meski tak bisa membaca sepatah kata pun.
“Bagaimana?!” Suara Sean datar tapi menekan.
Jonash maju setengah langkah, menyerahkan map tebal. Sean meraihnya kasar, membolak-balik cepat. Satu demi satu lembar ia geser, matanya menajam. Hingga akhirnya ia melempar map itu ke lantai. Kertas-kertas berhamburan, berputar di udara sebelum jatuh di kaki anak buahnya yang membeku.
“Dua minggu! Kalian sudah melakukan pencarian dua minggu dan ini yang kalian hasilkan?” suaranya meledak. “Kertas-kertas busuk tanpa jejak!”
Tak ada yang berani menjawab.
Jonash menatap lurus, suaranya rendah tapi jelas. “Semua jalur sudah kulacak, setiap catatan administrasi sudah kuterobos. Tapi nama Ariana sama sekali tidak ada dalam daftar penumpang.”
“Omong kosong!” Sean menghantam meja dengan tinjunya, dentuman keras membuat beberapa orang refleks mundur. “Ariana sebatang kara, tidak punya sia pun di dunia ini. Tidak mungkin dia hilang begitu saja tanpa jejak. Bahkan jika dia mati sekali pun, seharusnya tetap meninggalkan jejak!”
Kadar oksigen di ruangan ini menghilang setengah sejak kedatang Sean, sesak dan sulit bernapas. Namun di dalam hati Jonash berputar pertanyaan yang sama, bagaimana mungkin Ariana lolos dari sistem pelacakan yang ia kuasai? Berkat kasus Ariana jiwa Jonash sedikit bergejolak, meragukan kemampuannya sendiri akibat tidak mampu bahkan untuk menemukan seorang wanita hamil yang tidak berpengaruh. Ini aneh, Ariana hilang tanpa bayangan. Tidak mungkin ia bergerak sendiri, pasti ada tangan besar yang menyembunyikannya.
Tapi Jonash menyimpan semua pemikiran itu di dalam otak. Sean dalam keadaan tidak bisa diperdebatkan.
“Teruskan pencarian,” kata Sean akhirnya, suaranya tajam seperti pisau. “Aku tidak peduli harus mengeluarkan berapa banyak orang dan berapa banyak uang. Tidak ada alasan untuk berhenti sampai dia ditemukan.”
Jonash dan seluruh anak buahnya hanya mengangguk. Bayangan Jerry yang saat ini terbaring di rumah sakit dengan tulang rusuk retak, bahu patah, hasil amukan Sean beberapa hari lalu berputar di kepala. Semua orang tahu penyebabnya, tapi tak seorang pun berani mengucapkan.
Dua minggu kemudian Sean kembali dan mendapatkan hasil yang sama. Belum ada hasil signifikan, bahkan sedikit jejak. Aula latihan mengeluarkan aroma keringat dan darah. Sean mengamuk di tengah lingkaran anak buahnya. Tinju dan tendangannya mendarat membabi buta. Satu per satu anak buah jatuh terkapar, tubuh mereka lebam dengan wajah yang penuh luka.
“Bangun!” teriak Sean pada seorang pria yang sudah berlutut dengan bibir berdarah. “Bangun atau kubunuh kau!”
Pria itu mencoba merangkak, tapi tubuhnya ambruk. Sean menendang perutnya hingga ia terguling. Semua orang tercekat, tak berani bergerak.
Jonash berdiri di tepi, kedua tangannya mengepal. Ia menatap Sean yang bergerak liar, bukan lagi pemimpin dingin yang ia kenal, tapi binatang buas yang kehilangan akal.
Dalam hati Jonash bergemuruh. Kau kembali pada Sean Montgomery yang dulu. Kau membakar dirimu sendiri dengan api yang kau nyalakan.
Saat Sean kembali menghantam salah satu anak buah yang sudah tak berdaya, Jonash melangkah maju. Dan tanpa aba-aba, tinjunya menghantam rahang Sean.
Dentuman itu menggetarkan aula. Semua orang membeku, tak percaya ada yang berani menyentuh bos mereka.
Sean terhuyung ke belakang, darah merembes di sudut bibir. Ia menoleh perlahan, mata liar menatap Jonash. “Berani kau…”
Jonash tidak bergeming. Sorot matanya tajam, tapi ada luka di dalamnya. Ia tidak lagi berdiri sebagai bawahan. Ia berdiri sebagai seseorang yang pernah berhutang nyawa pada Sean.
Tinju tadi bukan pemberontakan, tapi peringatan dari sahabat setia.
Ruangan menjadi sunyi dalam sekejam. Seluruh anak buah menahan napas, meringis membayangkan bagian mana dari tubuh Jonash yang harus diperbaiki di ruang operasi. Tapi Jonash tetap maju, suaranya dingin dan keras.
“Apa yang terjadi denganmu Sean Montgomery?” katanya. “Kau sendiri yang dulu melepaskan Ariana demi kekuasaan. Kau yang membiarkan dia pergi. Dan bayi itu… sejak awal kau tahu keberadaannya. Tapi kau tetap menyingkirkannya demi ambisimu. Lalu kenapa sekarang kau berteriak seolah baru saja kehilangan masa depan hah?”
Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada pukulan.
Sean berdiri diam, napasnya berat. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi matanya kosong, seperti ada sesuatu yang runtuh di dalam dirinya.
Jonash menghela napas panjang. “Berpikirlah dengan jernih, Sean. Tenangkan dirimu dan gunakan otak yang membawamu pada posisi sekarang. Memukuli mereka tidak akan membuatmu puas. Kau sedang terbakar oleh api yang kau sulut sendiri.”
Lalu ia berbalik, meninggalkan aula. Para anak buah hanya bisa menunduk, tidak berani menatap salah satu dari mereka. Jonash bukan hanya anggota, tapi ia orang yang berdiri di belakang Sean bahkan sebelum mereka ada.
Sean kembali ke rumah kecil Ariana. Pintu kayu berderit ketika ia dorong. Lampu ruang tamu temaram, sofa masih rapi, meja masih dipenuhi botol susu dan mainan bayi yang masih dibungkus plastik menandakan semua benda itu masih baru.
Ia berjalan perlahan, menelusuri setiap benda yang sebelumnya disentuh oleh Ariana. Tangannya berhenti di rak kecil. Ada bingkai foto USG kecil berwarna hitam putih. Foto kecil itu membuat napasnya tercekat. Sejak dalam kandungan bayi itu tahu harus meniru miniatur siapa.
Ia melangkah ke kamar, membuka lemari lagi. Pada pagian bawah, sebuah kotak persegi berdiri tegak dengan rapih. Sean mengambilnya dengan cepat berharap menemukan petunjuk. Tapi tidak, tulisan ‘Tabungan untuk Bayi’ menyentuh sisi dirinya yang keras. Ia membukanya dengan hati-hati, tumpukan uang dengan berbagai warna menumpuk disana.
Sean meraih tumpukan uang itu, menggenggamnya erat. Dadanya terasa sesak, tapi wajahnya tetap dingin.
Lalu ia berbaring di atas ranjang milik Ariana, matanya yang merah menengadah menatap langit-langit.
“Berani sekali kau menghilang dari pandanganku, Ariana… Kau melanggar perintahku untuk menunggu.”
Aroma Ariana masih tertinggal di atas bantal, Sean menghirupnya dalam. Aroma yang dapat membawanya dalam ketenangan. Ia memejamkan mata perlahan, tertidur dalam posisi menelungkup. Kotak tabungan Ariana masih berdiri diatas nakas, menyaksikan titik kelemahan insan yang menciptakan penderitaan bagi pemiliknya.
ayo gegas,cak cek sat set..Kejar apa yg pengen km dapatkan.
Jadilah pinter biar Ariana Luluh.
Ada Ethan yg akan menjadi penghubung,rendahkan egomu.
nikmati penyesalanmu 😁
biarkan sean merasakan sakit seperti apa yg kau rasakan dulu.😏