Aku tak pernah percaya pada cinta pandangan pertama, apalagi dari arah yang tidak kusadari.
Tapi ketika seseorang berjuang mendekatiku dengan cara yang tidak biasa, dunia mulai berubah.
Tatapan yang dulu tak kuingat, kini hadir dalam bentuk perjuangan yang nyaris mustahil untuk diabaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xzava, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Jam menunjukkan pukul tiga kurang. Mereka semua sudah siap, tapi memang berencana berangkat tepat jam tiga.
Tiba-tiba bel rumah Yura berbunyi. Semua saling pandang.
Yura melirik ke arah Rizki tanpa berkata apa-apa. Rizki langsung berdiri dan berjalan ke pintu.
“Thank you, bro,” ujar Yura sambil senyum saat Rizki membuka pintu.
Tak lama Rizki kembali masuk sambil berseru, “Woy, suami lo!”
Yura spontan berlari keluar. Terdengar suara teman-temannya meledek dari dalam rumah.
“Denger laki-nya datang, langsung lari!” celetuk Hana disambut tawa.
“Namanya juga lagi kasmaran,” tambah Aldin, menggoda.
“Bodoh amat,” balas Yura cepat sebelum pintu tertutup di belakangnya.
Di depan, Ardhan berdiri santai, menyambut Yura dengan senyum.
“Senyumnya sumringah banget tuh,” goda Ardhan.
Seketika Yura manyun, pura-pura kesal.
“Bercanda, bercanda,” ujar Ardhan sambil tertawa.
“Hampir gue batalin buka pagar,” gerutu Yura, tapi tangannya tetap membuka pagar.
“Canda doang kok,” ucap Ardhan sambil tertawa kecil. “Ayo.”
“Bentar, gue panggil mereka dulu,” kata Yura lalu berlari masuk kembali ke rumah.
“Ayo berangkat!” serunya begitu sampai di dalam.
“Let’s go!” teriak Rizki penuh semangat.
Sesampainya di depan, Rizki langsung menyapa Ardhan dengan gaya sok akrab, “Ayo bang!”
“Duluan aja, pintunya gak dikunci,” balas Ardhan santai. Ia tidak melihat Yura.
“Yura lagi di WC,” sahut Hana.
Barulah Ardhan ikut berjalan ke rumahnya.
“Masuk, masuk,” ucap Ardhan membuka pintu lebar-lebar.
“Waaah…” reaksi Hana dan Febi bersamaan begitu melangkah masuk.
“Bersih kali,” ujar Febi takjub.
“Gak nyangka cowok bisa sebersih dan serapi ini,” tambah Hana.
“Biasa aja kali. Gue juga bisa kok,” sahut Rizki dengan percaya diri.
“Bisa berantakin,” celetuk Aldin cepat.
Tawa pun meledak memenuhi ruang tamu. Dari dekat pintu, Ardhan ikut tersenyum mendengar lelucon itu sambil menunggu Yura.
“Lama amat,” ujar Ardhan begitu Yura akhirnya muncul.
“Lama mata lo,” balas Yura sinis, membuat Ardhan terkekeh.
“Ayo masuk,” kata Ardhan sambil menggandeng tangan Yura masuk ke ruang tengah.
“Bang, ini boleh dimakan gak?” tanya Rizki sambil menunjuk tumpukan cemilan di atas meja.
“Makan aja, jangan sungkan,” sahut Ardhan ramah.
“Tenang, gak akan,” balas Rizki langsung menyerbu cemilan. Lagi-lagi semua tertawa.
“Kak, boleh nyalain TV gak?” tanya Febi.
“Nyalain aja. Anggap rumah sendiri,” jawab Ardhan sambil duduk santai.
“Sertifikat rumahnya mana kak?” celetuk Hana sambil nyomot cemilan dari tangan Rizki.
“Gak gitu juga kali,” timpal Yura sambil geleng-geleng.
Dan tawa pun kembali pecah, memenuhi rumah Ardhan.
Febi yang sudah menyalakan TV terlihat asyik mengganti-ganti channel, mencari tontonan yang menarik.
“Nyari apa sih, lo?” tanya Hana, penasaran melihat kelakuan Febi.
“Channel Suster Gunting,” jawab Febi singkat, disusul tawa kecil dari Hana.
“Itu lagi, itu lagi,” komentar Aldin sambil menggeleng. “Itu mana ada channel-nya! Nonton di YouTube aja, lebih gampang.”
“Caranya?” tanya Febi polos, menyodorkan remote ke Aldin.
Tanpa banyak bicara, Aldin langsung mengambil remote itu dan mulai mencarikan film yang dimaksud.
“Suster Gunting apaan? Bukannya Suster Ngesot ya?” tanya Ardhan bingung.
“Film baru, Bang,” jelas Rizki. “Semalam kami nonton, tapi belum selesai. Makanya nih bocah pengen nonton lagi.”
Ardhan mengangguk paham.
“Haus,” ujar Yura tiba-tiba. Tatapannya menangkap kode dari Aldin yang memang ingin minum juga.
“Bentar, mau minum apa?” tanya Ardhan.
“Apa aja yang ada,” sahut Yura sambil bangkit dari duduknya, berjalan menuju dapur. Ia sempat menoleh ke arah teman-temannya. “Eh, kalian mau minum apa?”
“Apa aja yang seger-seger,” jawab Aldin cepat.
“Okeeeh!” Yura mengangkat tangannya membentuk simbol oke.
“Mau buat apa?” tanya Ardhan sambil mengikuti ke dapur. “Ada kopi, teh, sama... ini.” Ia menunjuk deretan botol sirup warna-warni di rak.
“Banyak amat?” Yura mengerutkan dahi.
“Itu Ibu yang beli,” jawab Ardhan santai.
“Buat yang orange aja deh. Ada es batu gak?” tanya Yura sambil membuka kulkas.
“Ada,” jawab Ardhan.
Tepat saat itu, bel rumah berbunyi. Yura otomatis menoleh ke arah Ardhan.
“Bang, ada orang!” teriak Rizki dari ruang tengah.
“Gue ke depan dulu,” ucap Ardhan. Tapi sebelum pergi, tangannya sempat mengacak rambut Yura.
“Kak Ardhan, iih!” protes Yura kesal, buru-buru merapikan rambutnya.
Ardhan hanya tersenyum, lalu melangkah keluar dapur.
Hana dan Febi langsung menyusul ke dapur setelah mendengar suara Yura.
“Kenapa lo?” tanya Hana.
“Itu lho, Kak Ardhan berantakin rambut gue,” keluh Yura sambil sibuk membenahi rambutnya.
“Ada aja tingkahnya,” celetuk Febi sambil terkekeh.
Mereka bertiga pun mulai menyiapkan minuman bersama-sama.
Sementara itu, Rizki dan Aldin duduk santai di ruang tengah, matanya tertuju ke arah pintu.
“Itu dia?” tanya Aldin ke Rizki.
“Gak tau, orangnya gak kelihatan,” jawab Rizki.
Mereka mendengar samar-samar suara Ardhan dari luar mengucapkan terima kasih.
“Dia bilang makasih ke siapa ya?” tanya Rizki lagi.
“Kagak tau gue,” sahut Aldin.
Tak lama, Ardhan masuk membawa sebuah kotak besar.
“Wooooooh!” seru Rizki dan Aldin bersamaan.
“Ini nih!” celetuk Rizki langsung berdiri.
“Makasih, Bang!” ucap Aldin sambil menyambut kotak pizza dari tangan Ardhan.
“Santai aja,” balas Ardhan sambil tersenyum.
Tak lama, Hana dan Febi masuk dari dapur sambil membawa gelas-gelas berisi minuman.
“Wooooh, pizza!” seru mereka.
“Enak nih!” tambah Hana antusias.
Ardhan langsung melangkah ke dapur menghampiri Yura yang masih sibuk mengagumi tata letak dapurnya.
“Kenapa? Ayo keluar. Gue beli pizza,” ajaknya.
“Seriusan?” Yura sontak menggandeng tangan Ardhan. “Makasih, Kak!”
Ardhan hanya tersenyum melihat ekspresi senangnya.
Saat yang lain asyik menikmati pizza sambil mengobrol dan bercanda, berbeda halnya dengan Febi yang tampak serius menatap layar TV. Ia masih fokus menonton film horor yang tadi dicarinya. Sesekali terdengar teriakannya karena terkejut oleh adegan-adegan mendadak.
“Kapan dia datang?” bisik Yura pelan kepada Ardhan, suaranya nyaris tak terdengar oleh yang lain.
Ardhan hanya mengangkat bahu, memberi isyarat bahwa ia pun tidak tahu pasti.
Namun belum sempat mereka lanjut mengobrol, bel rumah kembali berbunyi. Seketika semua mata tertuju ke arah pintu. Seolah-olah mereka bertanya dalam hati, "Itu dia?"
“Bersikap biasa saja,” ucap Ardhan tenang, memberi instruksi singkat sebelum berdiri untuk membukakan pintu.
Teman-temannya serempak mengangguk.
“Harus kah kita berdiri?” tanya Hana pelan.
“Bisa. Menghargai tamu,” jawab Febi tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar. “Setelah itu terserah.”
“Mode acting, on,” celetuk Rizki sambil merapikan duduknya.
Ardhan membuka pintu. Di depan pagar, sebuah mobil terparkir.
“Ardhan,” sapa Rani sambil tersenyum tipis.
“Kenapa tiba-tiba ke rumah?” tanya Ardhan sambil membukakan pagar untuknya.
“Ayah menyuruh ke sini,” jawab Rani sembari turun dari mobil dan berjalan ke arah belakang untuk membuka bagasi. “Entah bagaimana menolaknya, jadi gue nurut aja.”
Ardhan hanya menatapnya sebentar, lalu ingin melangkah ke arah pintu. “Ini berat, bantuin gue.”
"Lo bawa koper buat apa?" tanya Ardhan heran tapi tetap menghampiri Rani dan membawakan kopernya.
“Gue disuruh nginap,” ucap Rani singkat.
“Kenapa gak bilang, gue lagi kedatangan tamu,” kata Ardhan sambil menggiring koper Rani menuju dalam rumah.
Rani tampak bingung mendengarnya, namun tak diambil pusing.
Ketika Ardhan membuka pintu dan melangkah masuk lebih dulu, ia tiba-tiba berseru dengan lantang, “Sayaaang...!”
“Iy—” Rani nyaris menjawab panggilan itu secara refleks, namun ucapannya tertahan begitu mendengar sahutan dari dalam rumah.
“Kebiasaan, jangan teriak-teriak dong!” sahut Yura dari dalam, terdengar sedikit kesal, meski suaranya tetap ramah. Ia segera melangkah keluar menghampiri.
Mata Rani mengikuti suara itu. Ada sedikit perubahan raut di wajahnya, namun ia tetap diam, menunggu sambutan berikutnya.