NovelToon NovelToon
The Legend Of The Shadow Eater

The Legend Of The Shadow Eater

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / TKP / Hantu
Popularitas:550
Nilai: 5
Nama Author: Senara Rain

Bagi Lira, Yash adalah mimpi buruk. Lelaki itu menyimpan rahasia kelam tentang masa lalunya, tentang darah dan cinta yang pernah dihancurkan. Namun anehnya, semakin Lira menolak, semakin dekat Yash mendekat, seolah tak pernah memberi ruang untuk bernapas.
Yang tak Lira tahu, di dalam dirinya tersimpan cahaya—kunci gerbang antara manusia dan dunia roh. Dan Yash, pria yang ia benci sekaligus tak bisa dihindari, adalah satu-satunya yang mampu melindunginya… atau justru menghancurkannya sekali lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senara Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

4

Ratusan tahun lalu…

Malam itu bulan menggantung redup di langit, seolah sengaja bersembunyi di balik awan tipis. Di tepi hutan, di sebuah gubuk kecil yang dibangun seadanya dari kayu lapuk, Yash duduk bersandar pada tiang, menajamkan pedangnya. Api unggun di depannya berkelip pelan, memantulkan cahaya ke wajahnya yang pucat.

Arum duduk tak jauh dari sana. Gadis itu sudah tumbuh remaja, rambut hitam panjangnya tergerai berantakan, matanya menatap Yash tanpa berkedip. Sejak diselamatkan dari laut, ia sudah tinggal bersamanya. Ketakutan di hari pertama telah memudar, berganti rasa penasaran yang sulit ia jelaskan.

“Kenapa kamu membunuh penduduk desa Lematang waktu itu?” tanya Arum tiba-tiba, suaranya lirih tapi mantap.

Pertanyaan itu membuat tangan Yash berhenti. Pedang di tangannya menurunkan bunyi gesekan. Lama ia terdiam, seolah sedang mencari cara agar kata-katanya tidak menyakiti gadis itu.

Akhirnya ia mendesah. “Karena aku lahir di sana… dan mati di sana.”

Arum mengernyit, tak mengerti.

“Mereka membakarku hidup-hidup,” lanjut Yash dengan suara nyaris bergetar. “Aku lapar, Arum. Aku hanya meminta makan. Tapi mereka menyebutku anak siluman. Mereka bilang ayahku seekor ular. Aku bahkan tak pernah tahu kebenarannya—yang kutahu hanya… ayah dan ibuku meninggalkanku di pulau ini. Dan aku… sendirian.”

Api unggun berderak kecil. Yash menunduk, menutup wajah dengan bayangan. Bahunya yang kekar tampak tegang, tapi ada getaran halus di suaranya.

Arum menatapnya lama, lalu bergeser mendekat. “Jadi selama ini… kau tidak sejahat yang mereka katakan. Kau hanya terluka.”

Kata-kata itu sederhana, tapi seakan meruntuhkan dinding batu yang Yash bangun selama berabad-abad. Matanya yang kelam bergetar, menahan sesuatu yang asing—rasa hangat yang nyaris ia lupakan. Ia menunduk lebih dalam, menghindari tatapan Arum, takut jika kelemahannya terlalu terlihat.

Arum tak menunggu jawaban. Ia hanya duduk lebih dekat, membiarkan api unggun menjadi saksi. Dalam diam itu, Yash merasa aneh—untuk pertama kalinya sejak ia berubah menjadi Lelepah, ada manusia yang tidak melarikan diri darinya.

Sejak malam itu, banyak momen kecil menyusul. Saat Arum mengajarinya menenun dengan daun pandan di tepi sungai, meski Yash tak pernah benar-benar bisa melakukannya, ia tetap pura-pura memperhatikan hanya agar bisa mendengar suara tawa Arum.

Saat Arum mengikat luka di tangan Yash dengan kain lusuh miliknya sendiri, meski Yash berkata itu tidak perlu, ia membiarkannya—karena rasanya berbeda ketika ada yang peduli.

Saat Arum menatap bintang sambil berkata pelan, “Kalau saja aku bisa kembali pada keluargaku…” dan Yash hanya diam, menahan keinginan untuk berkata: tinggallah bersamaku.

Semua momen itu menumpuk, menjadi alasan yang tak pernah Yash ucapkan. Cinta, dalam bentuk paling sunyi.

Masa kini...

Lira mencoba meraih belati di boot-nya, tapi genggaman itu terlalu kuat. Makhluk itu mendekatkan wajahnya—mata besar itu berputar liar, bibirnya menyeringai. “Kau akan ikut denganku…”

Suara itu merayap ke kepalanya, membuat tubuhnya kaku. Tenggorokannya perih, napasnya nyaris putus. Namun dengan sisa tenaga, Lira berhasil menyentuh gagang belati—ujung jari-jarinya gemetar, hampir berhasil menariknya keluar.

SSSHHHHT!

Angin dingin mendesir tiba-tiba, disertai bunyi gesekan logam tipis membelah udara. Dalam sekejap, sesuatu berkilau melintas di depan mata Lira. Kabut di hutan tiba-tiba beriak, seolah ada sesuatu yang membelahnya dari dalam. Angin berputar, dedaunan berjatuhan, membuat makhluk yang mencekik Lira menoleh panik.

Dari balik bayangan pepohonan, sosok pria muncul. Bukan penduduk lokal, bukan pula turis biasa. Ia mengenakan jas hitam elegan yang kontras dengan kemeja putih bersih di dalamnya. Kancing atas kemejanya terbuka, sedikit berantakan, namun entah kenapa justru membuatnya terlihat berbahaya. Tangan kanannya menggenggam sebuah pedang hitam yang tampak basah—entah darah atau sesuatu yang lebih gelap dari itu. Pria itu... Pria yang Lira lihat di jembatan penyebrangan waktu itu.

Makhluk itu mundur dua langkah, matanya menyipit penuh kebencian.

“Yash…” desisnya, suaranya serak bercampur dendam.

Pria itu hanya menatap tajam, suara beratnya keluar pelan.

“Kau sentuh dia lagi… aku habisi kau di tempat.”

Pedangnya sedikit terangkat, dan hutan di sekeliling seperti ikut menahan napas. Makhluk itu melengking, suaranya memecah kesunyian hutan. Angin kencang tiba-tiba berputar di sekitar mereka, membuat obor warga di kejauhan berkedip tak stabil.

Pria itu memutar pedang di tangannya, gerakannya cepat namun terkendali, seperti seseorang yang sudah ratusan kali melakukan ini. Ujung pedang itu berpendar samar—bukan cahaya biasa, melainkan kilau kehijauan yang seperti hidup, berdenyut seirama dengan detak jantung Lira yang masih terengah.

“Aku beri kau satu kesempatan… menghilang, atau aku paksa,” ucap Pria itu suaranya rendah tapi menekan.

Makhluk itu menyeringai, giginya memanjang, rambutnya menjuntai liar. Ia melangkah maju—tapi sebelum kakinya menyentuh tanah, Pria itu menghentakkan pedang ke bawah.

BRAAK!

Tanah di sekitar mereka retak memanjang, dari retakan itu keluar asap hitam yang seolah berusaha menelan kaki makhluk itu. Bau anyir bercampur wangi kemenyan tercium tajam, membuat Lira hampir tersedak.

Makhluk itu berteriak marah, tubuhnya mulai memudar.

“Kurang ajar kau, Yash!”

“Sudah cukup untuk malam ini.” Pria itu mengibaskan pedang, dan dengan gerakan setengah lingkaran, cahaya kehijauan itu membentuk seperti sabit yang memotong udara. Seketika, makhluk itu lenyap, meninggalkan hanya daun-daun berjatuhan dan keheningan berat.

Pria itu menoleh pada Lira, tatapannya menusuk namun tidak keras. “Kau tak seharusnya berkeliaran sendirian di hutan ini,” ujarnya sambil melenyapkan pedangnya masuk ke telapak tangannya. Jas hitamnya tetap rapi, hanya sedikit debu di ujung lengan.

Lira masih terbatuk, matanya sedikit menyipit. “Kau… siapa sebenarnya?”

Pria itu hanya tersenyum tipis. “Nanti kau akan tahu. Sekarang kita kembali—sebelum hutan ini memutuskan untuk memanggil teman-temannya.”

Ia mengulurkan tangan, dan meski hatinya dipenuhi pertanyaan, Lira meraih tangan itu. Genggaman Pria itu hangat, kontras dengan hawa dingin hutan yang masih membekas. “Makhluk apa itu tadi?” tanya Lira sambil mengatur napas, masih setengah menoleh ke arah Pria itu.

“Wewe Gombel,” jawabnya singkat, nada suaranya datar tapi tegas. “Makhluk yang gemar menculik anak-anak.”

Lira mengerutkan kening. “Lalu kenapa dia menyerangku?”

Mata gelap pria itu menatap lurus padanya. “Ada yang istimewa dalam dirimu.” Lira mendengus, mencoba memecah ketegangan. “Jangan bilang… ada berlian di jantungku.”

“Jiwamu,” potong Yash cepat, tanpa senyum. Lira sempat terdiam, rasa dingin merambat di punggungnya. “Apa maksudmu?”

Pria itu tak langsung menjawab. Ia hanya memiringkan kepala, lalu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah sebuah pohon besar beberapa meter di depan. Lira mengikuti arah telunjuk itu. Di bawah naungan akar yang menjuntai seperti tirai, tampak sosok mungil terbaring miring, tubuhnya meringkuk. Rambutnya acak-acakan, pipinya kotor penuh tanah, dan napasnya terlihat pelan naik turun.

“Itu anak yang kalian cari,” ucap pria itu pelan.

Tanpa pikir panjang, Lira berlari. Kakinya menjejak tanah basah, melewati ranting-ranting yang mematah di bawah pijakan. Ia berjongkok di samping anak itu, meneliti dengan cermat.

“Nafasnya teratur… tapi dingin sekali,” gumamnya.

Dengan hati-hati, ia mengangkat tubuh mungil itu ke pelukannya. Anak itu mengerang pelan, tapi tidak membuka mata. Ada aroma samar wangi kemenyan yang menempel di pakaiannya—bau yang sama seperti saat Wewe Gombel tadi muncul.

Pria itu berdiri tak jauh, memperhatikan dengan tatapan yang sulit dibaca. “Kita harus cepat. Jejaknya belum hilang sepenuhnya… dia bisa kembali.”

Pria itu melangkah duluan, jas hitamnya bergerak mengikuti ritme langkahnya yang mantap, dan tanpa suara, hutan seakan memberi mereka jalan. Lira berjalan mengikuti pria itu. “Kau orang yang pernah ku kejar beberapa hari lalu kan?” Lira menatapnya tajam, napasnya masih sedikit terengah.

Pria itu melirik sekilas, ekspresinya tetap santai. “Hmm? Kau salah lihat mungkin.”

Lira langsung melangkah cepat, berdiri di depannya, memotong jalannya. Tubuh mungil anak itu masih dalam gendongannya, tapi tatapan Lira sama sekali tidak melemah. “Aku masih ingat setiap detail kejadian malam itu,” ucapnya pelan tapi tegas. “Saat kau tersenyum melihat siswa yang ingin bunuh diri… tepat di depan matamu. Seakan kau menikmati sebuah pertunjukan.”

Hening sesaat. Hanya suara dedaunan yang bergesekan dihembus angin malam. Sudut bibir pria itu terangkat perlahan, senyum yang tidak sepenuhnya ramah. “Aneh sekali… harusnya kamu tidak mengingat kejadian itu.”

Lira menyipitkan mata. “Kenapa? Karena kau melakukan sesuatu padaku?”

Pria itu tidak menjawab langsung. Ia justru berjalan mendekat, langkahnya begitu tenang, jas hitamnya bergoyang ringan mengikuti gerak tubuh. “Tidak semua orang bisa menembus kabut yang ku buat. Tapi… kamu,” ia menatap lurus ke matanya, “…kamu selalu bisa menembusnya dari dulu”

Genggaman Lira pada anak itu mengencang. “Berhenti bicara berputar-putar. Siapa kau sebenarnya?”

Senyum pria itu melebar sedikit, tapi matanya tetap dingin. “Aku… Yash.”

Nada suaranya rendah, nyaris seperti bisikan, namun setiap huruf terdengar jelas di telinga Lira—membuat bulu kuduknya meremang.

Sebelum Lira sempat bertanya lebih lanjut, samar-samar terdengar teriakan warga dari arah selatan. Suara langkah kaki berlari mendekat, obor-obor mereka menembus kegelapan di antara pepohonan.

Lira menoleh sekilas ke arah cahaya yang semakin dekat, lalu kembali mencari sosok Yash.

Kosong.

Seperti disapu angin, Yash menghilang begitu saja tanpa suara, tanpa jejak. Hanya aroma samar asap kayu terbakar yang tersisa di udara—aroma yang anehnya tidak berasal dari obor para warga.

“Lira! Kau di sana?!” suara Kai memanggil dari kejauhan.

Lira menelan ludah, menurunkan pandangannya pada anak yang tertidur pulas di pelukannya. Jantungnya masih berdetak cepat. Saat warga tiba, ia hanya sempat berdiri diam, mencoba mengatur napas.

Yash? Nama itu bergema di kepala Lira. Apa dia… Lelepah? Makhluk yang hanya disebut-sebut dalam cerita rakyat, penguasa bayangan yang tak pernah benar-benar terlihat? Tapi kalau benar begitu… kenapa dia menyelamatkanku? Bukankah makhluk seperti itu seharusnya menjadi ancaman, bukan pelindung?

Lira memandang ke arah hutan yang kini sunyi. Angin malam berhembus pelan, membawa bisikan samar yang tak bisa ia mengerti. Seolah Yash masih ada di sekitar, bersembunyi di balik kegelapan, menunggu… atau mungkin, mengawasi.

Pagi itu kabut tipis masih menggantung di atas aliran sungai. Airnya jernih, berkilau diterpa sinar matahari yang menembus sela pepohonan. Yash duduk di tepi, jas hitamnya kontras dengan alam sekitar. Tangannya sibuk melempar batu-batu kecil ke sungai, menimbulkan riak yang cepat hilang terbawa arus.

Pak Merta datang dari arah hutan, langkahnya pelan namun mantap. Seolah bumi sendiri membuka jalan untuknya. Ia berhenti beberapa langkah di belakang Yash. “Bagaimana, kamu sudah melihatnya?” suara Pak Merta dalam, tenang, namun menyimpan sesuatu yang tak diucapkan.

Yash tak langsung menoleh, matanya tetap menatap riak air. “Iya.”

Pak Merta maju satu langkah. “Apa benar dia Arum?”

Hening sesaat. Hanya suara burung yang terdengar, dan batu lain jatuh ke sungai. “Entahlah,” jawab Yash akhirnya. “Tapi memang benar dia bisa menembus kabut yang kubuat. Bahkan… dia masih bisa mengingat kejadian yang coba kuhapus.”

Mata Pak Merta menyipit sedikit, wajahnya tak menunjukkan keterkejutan, hanya kewaspadaan. “Kalau dia memang Arum, apa tindakanmu selanjutnya? Jika kejadian ratusan tahun lalu terulang… kau tahu, di antara kalian harus ada yang mati.”

Yash menutup matanya sejenak. Angin pagi menyibakkan rambutnya, dan untuk pertama kalinya wajahnya tak lagi setegar biasanya.

“Aku merindukannya…” ucap Yash lirih, nyaris seperti doa.

Pak Merta terdiam lama. Nafasnya terhela berat, seperti pohon tua yang tahu badai sudah di depan mata namun tak bisa mencegahnya. Ia menoleh sekilas pada Yash—pada murid, pada anak, pada makhluk yang sudah lama ia jaga. Tapi tak ada kata yang bisa meredakan.

Akhirnya ia hanya berbalik, meninggalkan tepian sungai. Langkahnya hening, menyatu dengan desir daun. Sementara Yash tetap duduk di sana, menunduk, membiarkan bayangannya yang terpecah-pecah di permukaan air menjadi satu-satunya saksi atas kerinduan yang tak pernah padam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!