"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Mantu Rahasia
Sikap Pak Agung begitu tegas dan mantap, nada bicaranya tidak memberi ruang untuk bantahan.
Bu Heni yang melihat suaminya dimarahi, langsung menunjukkan ekspresi tidak senang di wajahnya.
“Ayah, bagaimanapun juga, Mas Sidik itu ayah mertuanya Rama. Meskipun kadang-kadang dia mengkritik Rama, sebagai orang yang lebih tua, itu masih wajar, kan?” bisik Heni.
“Oh begitu? Kalau begitu coba kamu ceritakan ke Ayah, biasanya kamu ngomongin apa saja soal Rama? Dan kenapa? Jelaskan sekalian alasannya,” ucap Pak Agung dengan tenang, tapi tajam.
“Itu…” Bu Heni langsung terdiam, tak tahu harus menjawab apa.
Jelas sekali kalau lelaki tua itu sudah berpihak pada Rama. Kalau dia sampai jujur soal bagaimana selama ini mereka memperlakukan Rama, bisa-bisa akibatnya fatal.
“Ayo bicara. Apa kamu tiba-tiba jadi bisu?” bentak Pak Agung.
Bu Heni dan Pak Sidik sama-sama terkejut, tak berani mengucapkan sepatah kata pun.
“Kakek, Kakek baru saja siuman. Mending istirahat dulu, jaga kondisi. Ngomong-ngomong, Kak Rama di mana?” Juli buru-buru mengalihkan topik.
Bagaimanapun, mereka ini keluarga. Juli tidak ingin situasi makin memanas.
“Oh ya, Juli, kamu harus jaga dia baik-baik. Dia sudah mengerahkan banyak tenaga buat membangunkan Kakek, sekarang dia tidur kelelahan,” ujar Pak Agung.
“Baik, saya ke sana sekarang,” ucap Juli sambil bersiap pergi.
“Tunggu dulu,” kata Ayu tiba-tiba, “Biar aku saja yang urus.”
“Tidak usah, Ayu. Kakek masih ingin bicara denganmu,” kata Pak Agung.
“Baiklah…” Ayu tersenyum kecut.
“Kakak, tenang saja. Biar aku yang jagain Kak Rama. Aku nggak bakal macam-macam kok, hehe,” kata Juli sambil melangkah pergi.
Ayu menggigit bibirnya, kesal. Dia sebenarnya tidak mau Juli yang mengurus Rama, tapi karena Kakek menahannya, dia tidak bisa menolak.
“Ayu, coba Kakek tanya, sekarang tanggal dan jam berapa? Sebisa mungkin lengkap.”
Pak Agung menatapnya lekat-lekat.
Ayu menghela napas, lalu menjawab jujur.
Begitu mendengar jawabannya, Pak Agung langsung bertanya, “Terus, gimana dengan anak itu?”
“Anak? Maksud Kakek siapa?”
Ayu kebingungan.
Kening Pak Agung mengernyit, “Hitung-hitung saja waktunya. Kalian kan sudah nikah lebih dari setahun. Kenapa belum punya anak juga?”
“Itu…”
Ayu langsung kehilangan kata-kata.
Dia tidak mungkin bilang ke kakeknya kalau dia dan Rama bahkan belum pernah tidur sekamar.
“Ayah..,” ucap Pak Sidik tiba-tiba, “Soal Rama ini, terus terang saya sendiri bingung. Kenapa Ayah begitu menghargai dia?”
Bu Heni tidak tahan untuk tidak berbisik, “Maksud Ayah… Ayah tahu kalau kami suka meremehkan Rama?”
Tatapan Pak Agung seketika menggelap.
“Saya…”
“Ayah.., maksudnya… Istri saya belum benar-benar melihat keistimewaan Rama. Ya, itu… kelebihannya belum kelihatan.” Pak Sidik buru-buru menengahi, sadar kalau mertuanya sangat memihak Rama. Sedikit saja kata-kata yang menyinggung Rama, bisa-bisa suasana makin keruh.
Pak Agung menatap tajam ke arah Bu Heni. Kali ini nadanya sangat serius. “Dulu mungkin aku diam saja. Tapi mulai sekarang, siapa pun yang berani memperlakukan Rama semena-mena… akan jadi lawanku.”
Suasana di ruang keluarga langsung hening.
Baik Pak Sidik, Bu Heni, maupun Pak Sodik, tampak terkejut. Pak Sodik sendiri mulai paham alasan sang Kakek begitu membela Rama karena apa yang Rama tunjukkan belakangan ini memang luar biasa, meski baru seujung kuku yang kelihatan.
“Kakek… Aku ingin menemui Rama,” kata Ayu pelan.
“Silakan. Ada banyak hal yang belum bisa Kakek katakan langsung. Tapi sebagai orang tua yang sudah tua begini… Kakek cuma punya satu harapan semoga masih sempat gendong cucu,” ucap Pak Agung penuh makna.
Wajah Ayu langsung memerah, dia hanya bisa mengangguk pelan.
“Dan jangan coba-coba menipu Kakek ya. Enam bulan dari sekarang, Kakek mau lihat hasilnya.”
Wajah Pak Agung berubah serius lagi.
“Eh?” Ayu terperanjat, tak tahu harus menjawab apa.
“Sudah, sana temui Rama,” ucap Pak Agung sambil melambaikan tangan.
Ayu menghela napas, lalu melangkah pelan menuju kamar tempat Rama berada.
Begitu sampai, ia melihat Rama tengah berbaring lemah di tempat tidur milik Kakek. Wajahnya pucat, napasnya pelan. Juli duduk di sisi tempat tidur, sedang menyeka wajah Rama dengan handuk basah. Gerakannya sangat lembut dan hati-hati.
Pemandangan itu membuat dada Ayu sedikit sesak. Ia langsung melangkah cepat ke depan dan berkata pelan, “Biar aku saja.”
“Ayu, Kak… ini hal kecil. Kamu kan sibuk di perusahaan, pasti nggak terbiasa ngurusin yang beginian. Aku bisa kok, nggak apa-apa,” ujar Juli sambil tersenyum manis.
“Aku bilang, aku yang akan melakukannya.” Nada suara Ayu terdengar lebih tegas dan dingin.
Juli terdiam sejenak, lalu berdiri sambil tetap tersenyum, “Ya sudah deh, Kak. Nggak usah cemburu. Silakan, lanjutkan.”
Tanpa membalas, Ayu duduk di sisi ranjang dan mulai menyeka wajah Rama dengan perlahan. Wajah itu yang dulu tak berarti apa pun baginya kini tampak begitu berbeda. Pucat, tapi tenang… dan tetap tampan.
Perasaan aneh mulai mengisi hatinya. Dulu, Rama seperti tidak penting. Hanya suami formal, pelengkap status. Tapi sekarang, dia menjadi seseorang yang membuka peluang besar bagi perusahaan, bahkan mampu membangunkan Kakek yang koma.
Semua ini rasanya seperti mimpi.
"Sebenarnya… siapa kamu, Rama? Apa yang selama ini kamu sembunyikan dariku?" pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba, tubuh Rama bergerak sedikit dan mengerang pelan. Lalu setetes darah keluar dari sudut bibirnya.
“Ah! Rama!” seru Ayu panik.
“Ada apa?!” Juli juga ikut panik melihat darah itu.
“Dia muntah darah! Kita harus bawa dia ke rumah sakit!”
“Cepat! Tolong bantu aku angkat dia!” ujar Ayu dengan suara gemetar.
Ayu berkata dengan panik, “Aku telepon ambulans dulu.”
Namun sebelum sempat menyentuh ponsel, Juli sudah lebih dulu mengeluarkannya dan berkata, “Biar aku saja yang telepon.”
“Tunggu.”
Suara pelan tapi tegas itu datang dari arah ranjang.
Rama perlahan membuka matanya. Dengan napas dalam, ia menyandarkan diri di sisi tempat tidur, lalu berkata lemah, “Nggak usah ke rumah sakit. Aku baik-baik aja.”
“Rama, kamu barusan muntah darah! Itu bukan hal sepele. Kamu harus diperiksa,” ujar Ayu cemas.
“Nggak usah. Serius, aku nggak kenapa-kenapa. Percaya aja,” ujar Rama sambil mencoba tersenyum.
Ia lalu mengenakan jaketnya dan turun pelan dari ranjang, berjongkok sebentar untuk memakai sepatu.
Ayu buru-buru menopangnya dengan hati-hati. Wajahnya masih gelisah, tapi melihat keteguhan Rama, dia jadi tidak tahu harus memaksa dengan cara apa lagi.
Sebenarnya, alasan kenapa Rama pingsan dan sampai muntah darah adalah karena efek samping kecil dari akupuntur energi saat berusaha menyelamatkan Kakek. Energinya sempat terpental balik, menimbulkan tekanan dalam tubuhnya tidak fatal, tapi cukup membuat fisiknya lemah untuk sementara.
“Kak Rama, kamu nggak boleh kenapa-kenapa, tahu! Kamu masih utang handphone baru ke aku,” ujar Juli sambil cemberut manja.
Rama tertawa kecil. “Iya iya, tenang aja. Aku nggak lupa. Bahkan… ayo sekarang aja. Jalan-jalan sedikit sekalian biar cepet pulih.”
“Hah? Sekarang?” tanya Ayu heran, keningnya berkerut.
Juli nyengir. “Kakak… jadi gini, Kak Rama tuh pakai aku buat bahan latihan akupuntur. Jadi sebagai ‘kompensasi’, katanya dia mau beliin aku handphone terbaru. Hihihi…”
“Kamu ini benar-benar nekat ya…” Ayu menatap adiknya dengan geli, lalu menggeleng pelan. “Ya sudah, kalau gitu, aku aja yang antar kalian beli.”
“Eh, aku nggak mau…”
Juli langsung menggeleng cepat sambil memonyongkan bibir.
“Kenapa? Bukannya sama aja?” tanya Ayu, sedikit bingung.
“Beda dong…” ucap Juli dengan nada manja. “Aku maunya Kak Rama yang nganterin sendiri.”
Ayu hanya bisa menghela napas sambil tersenyum. Entah kenapa, saat melihat interaksi mereka, ada rasa aneh yang muncul di dadanya. Tidak nyaman… tapi juga tidak bisa dijelaskan.