**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Pasar Malam
Hampir satu jam perjalanan, akhirnya mobil Agra berhenti di depan sebuah lapangan besar yang kini disulap menjadi pasar malam. Lampu warna-warni berkelap-kelip, menari di antara tenda-tenda makanan, permainan anak, wahana bianglala, hingga suara musik dangdut yang samar terdengar dari kejauhan.
Nadra berseru pelan penuh takjub, "Wah, akhirnya sampai juga!"
Matanya berbinar, seperti anak kecil yang baru saja melihat dunia fantasi. Senyum di wajahnya begitu tulus, tulus sekali dan untuk sesaat, Agra merasa semua lelahnya terbayar lunas.
Sementara Nadra sibuk melihat keluar jendela, Agra hanya diam. Ia menatap wajah gadis itu. Dari samping, sinar lampu jalan yang masuk ke dalam mobil membuat garis wajah Nadra tampak lembut. Gadis itu terlihat sangat muda, sangat murni, tapi bukan tanpa luka.
Agra belum membuka sabuk pengamannya, saat tiba-tiba tangan Nadra menariknya. "Ayo, Om! Turun!" seru Nadra semangat, senyum lebarnya menular.
Telapak tangan kecil itu menggenggam tangan besar Agra dengan penuh semangat. Agra sempat menatap jemari mereka yang bersatu kontras sekali. Tangan Nadra kecil, kurus, dan kasar. Telapak tangan mungil yang mungkin sudah sering membawa beban terlalu berat. Sedangkan tangan Agra, kokoh, bersih, dan penuh kekuatan, tangan orang yang selama hidupnya jarang menyentuh kesulitan.
Untuk sesaat, dunia seakan berhenti. Agra merasakan sesuatu menghangat di dadanya. Dan dalam hati kecilnya, ia bersumpah.
'Aku akan jadi tangan yang menuntunmu, Nadra. Bukan untuk mengekangmu, tapi untuk menjadi sandaran jika kau lelah melawan dunia.'
Agra akhirnya tersenyum. Ia melepaskan sabuk pengamannya dan turu dari mobil. Mereka berjalan berdampingan, tangan Nadra tak melepas genggamannya. Di sekeliling mereka, suara keramaian pasar malam menyatu dengan tawa anak-anak, suara peluit mainan, aroma manis permen kapas dan gurihnya jagung bakar.
"Om, mau main apa dulu?" tanya Nadra sambil setengah berlari kecil menarik tangan Agra.
Agra tertawa kecil. "Kamu yang pilih. Aku cuma pengawal malam ini."
"Kalau begitu," Nadra menunjuk ke arah stand panah. "Kita lomba main panah, yuk! Yang kalah terus traktir es krim."
Agra melirik ke arah stand permainan panah, lalu menoleh ke Nadra yang menantangnya dengan mata berbinar. "Kamu berani menantang pria dewasa? Siap-siap kalah, ya?"
Nadra terkekeh, "Siapa takut!"
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Agra merasa seperti anak muda kembali. Bukan sebagai pebisnis, bukan sebagai duda, bukan sebagai pria yang dikendalikan oleh status, tapi sebagai seseorang yang sedang merasakan awal dari jatuh cinta yang murni.
Agra melangkah ke loket dan membeli dua lembar tiket permainan panahan. Setelah mendapatkan busur dan lima anak panah, mereka berdiri berdampingan di gadis permainan.
"Siap kalah, Om?" goda Nadra, menegakkan postur tubuhnya dengan percaya diri.
Agra terkekeh pelan. "Kalau kamu menang, Om traktir es krim dua cup."
"Setuju!"
Mereka mulai melempar panah satu demi satu. Beberapa orang yang lewat sempat berhenti menyaksikan keseruan itu. Nadra tampak bersemangat, sesekali tertawa, sesekali berseru pelan saat panahnya meleset.
Agra, di sisi lain, memanah dengan tenang dan tepat sasaran. Nyaris semua panahnya menancap di lingkaran tengah. Namun saat ia melirik Nadra, gadis itu tampak cemberut, mulutnya sedikit manyun, alisnya berkerut lucu.
Melihat itu, Agra diam-diam mengarahkan panah terakhirnya jauh dari papan sasaran.
"Meleset?" Nadra menoleh cepat.
Agra mengangkat bahu, pura-pura kecewa. "Hehe, sepertinya aku kalah."
"Yey!" Nadra bersorak kecil. Ia bahkan melompat girang. "Om kalah, harus traktir es krim ya!"
Agra hanya tertawa. Bukan karena kalah, tapi karena ekspresi Nadra itu jauh lebih memuaskan daripada menang sekalipun.
Setelah permainan panah, Nadra kembali menarik Agra ke permainan lain, lempar gelang, tangkap bebek, sampai menebak angka. Di setiap permainan, Nadra menang satu, dua hadiah kecil, dan Agra setia menenteng boneka kelinci, beruang hingga gantungan lucu.
Kini tangan Agra penuh oleh hadiah. Mereka berhenti di depan stand aksesoris lampu. Ada bando kelinci dan kucing yang menyala warna-warni. Lampu-lampu kecil berkedip di sisi telinga plastik itu, membuat pengunjung ramai mengerubungi.
Nadra melirik Agra, lalu menunjuk bando kelinci dengan senyum menggoda.
Agra tersenyum kecil, menunduk sedikit. "Pilih yang mana?"
"Kelinci."
Karena kedua tangannya sibuk menenteng hadiah, Agra jongkok di hadapan Nadra. "Pasangkan, dong."
Nadra terkekeh geli, lalu dengan hati-hati meletakkan bando kelinci di atas kepala Agra. Cahaya bando itu menyala pelan, menciptakan bayangan lucu di wajah Agra.
"Lucu banget," kata Nadra sambil tertawa, lalu menepuk pundak Agra pelan, membuat tubuh mereka makin dekat tanpa disadari.
Agra tersentak kecil, bukan karena sentuhan itu, tapi karena perasaan di dalam dadanya yang bergetar halus. Nadra, tanpa sadar telah membuka pintu kecil di hatinya. Dan kini, gadis itu mulai tinggal di sana.
Namun kehangatan itu tak berlangsung lama. Ketika nama "Agra", di panggil dengan nada cukup familiar, Agra menoleh pelan. Gerakannya sedikit kikuk, seolah ada firasat aneh yang menyelimutinya. Dan benar saja.
Tepat di belakangnya, berdiri Razan, sahabat sekaligus penggoda setianya, dengan senyum kaku yang seolah baru saja menelan biji cabai mentah. Di lengan kiri Razan, bergelayut manja tangan istrinya yang tampak elegan, cantik, dan penuh gaya.
Agra membeku sejenak. Begitu pula dengan Razan. Keduanya bertatapan. Dua pria dewasa, sama-sama mengenakan bando kelinci menyala di kepala.
Sejenak suasana sepi di antara mereka. Lalu perlahan, senyum canggung terbit di wajah Razan. Ia mengangkat tangan dan melambai pelan, "Eh, bro?"
Agra membalas lambaiannya dengan tatapan tajam tapi mengandung tawa yang nyaris pecah. "Pasar malam, ya?" gumamnya, separuh geli, separuh menang.
Dalam hati Agra. "Hah! Jadi tadi pagi sok-sokan ngomel soal umurku yang empat puluh dan Nadra yang baru netes. Sekarang dia juga ke sini. Dan lihat itu, dia juga pakai bando kelinci. Karma cepat banget kerjanya."
Sementara dalam hati Razan. "Ya Tuhan, ini karma instan. Kenapa aku tadi pagi ngatain dia? Sekarang aku sendiri nyangkut di pasar malam, ditarik istri buat main tebak angka dan beli jagung bakar. Dan sialnya, KENAPAA DIA HARUS LIHAT BANDOKU INI?"
Di bahu Razan, terlihat tali tas mewah bermerk menggelantung anggun. Barang itu jelas bukan miliknya, itu tas istrinya. Namun tetap saja menambah bumbu kepayahan situasi.
Istri Razan dengan ramai melambai ke arah Nadra. "Hai, kamu pasti Nadra, ya?"
Nadra membalas lambaian itu sopan dan sedikit bingung, "Iya, kak. Aku Nadra."
Agra hanya berdiri terpaku, menahan tawa yang siap meledak. Nadra pun melirik ke Agra, menyadari situasi ini cukup lucu. Di dalam kepala mereka berdua, Agra dan Razan, seolah muncul dialog batin telepati.
"Gimana rasanya jadi kelinci peliharaan?" Agra, telepati.
"Sama kayamu! Bedanya, aku ditarik istri, kamu ditarik cinta monyet." Sahut Razan membalas lewat telepati.
"Cinta monyet yang bikin jantungku jungkir balik."
"Nggaku juga."
Keduanya akhirnya tertawa kecil, saling menepuk punggung saat berpapasan.
"Karma cepat banget ya kerjanya," bisik Agra sambil lewat.
Razan membalas, "Nggak usah sombong, bandomu lebih nyala daripadaku."
Setelah adegan bando kelinci yang membuat harga diri mereka tercabik perlahan, Agra dan Razan akhirnya saling merangkul. Keduanya tertawa pelan, tapi penuh makna, sambil saling memukul pelan di punggung dan bahu.
"Gila, kita kayak bocah SD ikut lomba 17-an," celetuk Razan, menepuk kepala Agra dengan bando kelincinya.
Agra membalas, "Bedanya yang ini gak dapat hadiah mie instan. Tapi dapat tatapan tajam netizen kalau foto kita bocor."
Tawa mereka makin lepas. Sementara itu, beberapa pengunjung pasar malam sempat melirik dua pria dewasa dengan postur gagah yang mengenakan bando menyala. Tapi keduanya tak peduli. Dunia mereka hanya dipenuhi candaan lama dan persahabatan.
Di sisi lain, Nadra sedang berbicara dengan istri Razan, yang kini memperkenalkan diri dengan ramah, "Aku Raline."
"Namanya cantik, orangnya juga," puji Nadra tulus, sambil memperhatikan wajah Raline yang bersih dan awet muda.
Raline terkekeh kecil, tangannya menutupi mulut. "Aduh, makasih ya. Padahal aku ini ibu dari tiga anak loh."
Nadra sontak membelalakkan mata. "Serius? Kakak kelihatan kayak baru umur dua puluh tujuh!"
"Kamu manis banget sih," sahut Raline, tertawa senang. "Cuma karena aku rajin minum jamu sama gak pernah dengerin ocehan suami," sambungnya sambil melirik geli ke arah Razan.
Nadra ikut tertawa, "Jadi kunci awet muda itu, cuekin suami ya, kak?"
"Betul. Apalagi kalau suaminya suka sok bijak tapi hobinya ngemil keripik jam satu malam," bisik Raline, membuat mereka berdua terpingkal geli.
Tak lama kemudian, Agra dan Razan kembali ke posisi mereka, berdiri di sisi masing-masing pasangan. Agra menatap Nadra yang sedang tertawa ringan, rona wajahnya begitu cerah, seperti langit malam yang penuh lampu.
Razan mendekat ke Raline, melingkarkan lengannya ke pinggang sang istri. "Kamu cerita apa ke Nadra? Kenapa dia bisa ngakak gitu?"
Raline hanya menjawab sambil tersenyum misterius, "Rahasia perempuan. Kamu gak bakal paham."
Mereka semua tertawa. Malam itu pasar malam tak hanya memberi tawa dan lampu-lampu indah, tapi juga mempererat persahabatan, membuka pintu baru bagi Nadra untuk mengenal lebih banyak kebaikan, dan membuktikan kebahagiaan sejati kadang datang dari hal-hal paling sederhana.
...Bersambung.......