Axel sedang menata hidupnya usai patah hati karena wanita yang selama ini diam-diam ia cintai menikah dengan orang lain. Ia bahkan menolak dijodohkan oleh orang tuanya dan memilih hidup sendiri di apartemen.
Namun, semuanya berubah saat ia secara tidak sengaja bertemu dengan Elsa, seorang gadis SMA yang salah paham dan menganggap dirinya hendak bunuh diri karena hutang.
Axel mulai tertarik dan menikmati kesalahpahaman itu agar bisa dekat dengan Elsa. Tapi, ia tahu perbedaan usia dan status mereka cukup jauh, belum lagi Elsa sudah memiliki kekasih. Tapi ada sesuatu dalam diri Elsa yang membuat Axel tidak bisa berpaling. Untuk pertama kalinya sejak patah hati, Axel merasakan debaran cinta lagi. Dan ia bertekad, selama janur belum melengkung, ia akan tetap mengejar cinta gadis SMA itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Sebuah mobil hitam melaju kencang, lalu berhenti mendadak di tengah jalan yang sepi. Rem berdecit tajam, menorehkan suara keras yang menggema di antara deretan bangunan kosong di malam hari.
BRUKH!
Pintu belakang mobil terbuka dengan kasar, dan dalam hitungan detik, Irfan didorong paksa ke luar. Tubuhnya terhempas ke aspal, berguling sebelum akhirnya terdiam di jalan yang dingin dan kasar.
Mobil itu kembali melaju, meninggalkan Irfan yang tergeletak di sana. Wajahnya lebam, sudut bibirnya pecah, dan napasnya tersendat. Ia merintih lirih, tubuhnya menggigil di bawah cahaya lampu jalan yang temaram. Luka-luka di tubuhnya seolah berdenyut setiap kali ia bergerak sedikit saja.
Namun, bukan hanya rasa sakit dari pukulan yang membuatnya meringis. Bagian bawah tubuhnya terasa kebas, mati rasa akibat efek dari obat yang dipaksakan masuk ke dalam sistem tubuhnya beberapa saat sebelum tubuhnya dihajar habis-habisan.
Tangannya gemetar saat mencoba meraih ponselnya. Dengan susah payah, ia menekan layar, menghubungi kakaknya, yang menjadi, satu-satunya nama yang muncul di benaknya.
Glenzy.
Dengan tangan gemetar, Irfan menekan nama Glenzy di daftar kontak. Suaranya lirih saat ponsel mulai berdering.
"Angkat, kak! Aku mohon, cepat angkat!" lirihnya.
"Halo?" sapa Glenzy di seberang.
"Ka-Kak Glenzy, tolong a-aku!" lirih Irfan dengan suara yang terdengar, parau dan terputus-putus.
"IRFAN? Apa yang terjadi? Suaramu ... Ada apa denganmu, Fan?" tanya Glenzy khawatir.
"Aku ... " napas Irfan terputus. Air matanya mengalir pelan di pipinya. "Tolong jemput aku, Kak. Aku sendirian," isak Irfan.
"Tenang, Fan. Kirim lokasimu sekarang. Kakak akan datang. Bertahanlah."
Sambungan terputus. Irfan menatap langit malam yang kosong, tubuhnya gemetar karena rasa sakit dan ketakutan yang menyesakkan dada. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar sendirian.
...****************...
Suara roda ranjang darurat berdecit lembut saat para perawat mendorong Irfan memasuki unit gawat darurat. Wajah Glenzy pucat, kedua tangannya tidak henti menggenggam tangan adiknya yang dingin dan lemah. Matanya terus menatap Irfan, seolah takut kehilangan jika sedetik saja ia berpaling.
Setelah tindakan cepat dilakukan, seorang dokter keluar dari ruang observasi, melepas masker dan menyapa Glenzy yang berdiri cemas di lorong.
"Bagaimana kondisi adik saya, dok?" tanya Glenzy.
"Kondisi fisiknya stabil. Tidak ada cedera internal serius, hanya beberapa luka memar dan bekas benturan," jelas sang dokter. "Namun, untuk kondisi mentalnya, saya tidak bisa memastikan."
Glenzy menatap dokter itu, bingung. "Maksudmu, dok?"
"Melihat gejala dan respons awalnya, kemungkinan besar pasien mengalami trauma. Mungkin akibat kekerasan ekstrem atau ancaman yang memicu ketakutan mendalam. Saya sarankan untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan oleh psikiater."
Tubuh Glenzy melemas. Ia menunduk, menggenggam tasnya erat.
Beberapa saat kemudian, Irfan dipindahkan ke kamar rawat inap. Irfan masih terlihat lemah, namun matanya sudah terbuka, menatap kosong ke langit-langit.
Glenzy duduk di tepi ranjang, menyentuh lengan adiknya dengan lembut.
"Irfan," bisiknya pelan. "Kakak di sini."
Irfan menoleh perlahan, dengan kelopak mata yang terasa berat.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Fan?" tanya Glenzy. "Siapa yang melakukan ini padamu?"
Irfan menggigit bibir bawahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar.
Dion dan istrinya masuk dengan wajah mereka panik.
"Irfan!" seru Diana, langsung berlari ke sisi ranjang. Ia menatap tubuh putranya yang penuh luka dengan mata melebar tidak percaya.
"Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Dion dengan nada suara yang naik satu oktaf. "Apa ini ulah Tuan Martin?"
Glenzy melebarkan kedua matanya, terkejut. Ia ingin bertanya maksud ucapan ayahnya, namun belum sempat ia membuka mulut, Irfan tiba-tiba menggeleng cepat.
"Bukan," jawabnya cepat. "Aku … aku diserang preman saat pulang," lirihnya.
"Preman?" potong Diana tidak percaya. "Di mana? Kenapa kamu tidak menghubungi ayahmu saja?"
"Aku takut, aku tidak tahu harus," gumam Irfan.
Dion menggeram pelan, mengacak rambutnya penuh frustasi. "Daddy akan mencari tahu, preman mana yang berani melukai putraku."
"Ja-jangan, dad. A-aku tidak apa-apa, lagipula, tadi itu hanya salah paham."
Glenzy yang sejak tadi diam, menatap Irfan dengan sorot mata berbeda. Ia tahu adiknya sedang berbohong. Ia melihat cara Irfan menghindari tatapan mereka, cara tubuhnya gemetar tiap kali topik Martin disebut.
Ada sesuatu yang disembunyikannya. Tapi, Glenzy memilih untuk diam saat ini.
TING!
Satu notifikasi pesan terdengar. Dion merogoh ponselnya dengan kening yang mengkerut, saat melihat pesan masuk. Matanya membelalak seketika, lalu senyum lebar mengembang di wajahnya.
"AL'X Company bersedia menjalin kerja sama kembali."
Kabar itu membuat dadanya mengembang penuh kemenangan. Semua usaha yang ia lakukan akhirnya terbayar.
Dion menatap wajah putranya yang masih tampak lemah, lalu ia mengalihkan pandangannya pada Glenzy.
"Ada banyak hal yang harus Daddy siapkan untuk kerja sama dengan perusahaan besar," ucap Dion tanpa beban.
Glenzy menatapnya tidak percaya. "Daddy yakin mau pergi? Irfan baru saja … "
"Dia sudah sadar. Dan, dokter bilang dia baik-baik saja, bukan?" jawab Dion. "Lagi pula, kau di sini. Jaga adikmu malam ini. Daddy harus memastikan semuanya berjalan sempurna."
Tanpa menunggu jawaban, Dion menarik tangan istrinya, lalu melangkah keluar dengan langah cepat dan bersemangat, seolah luka dan trauma Irfan tidak berarti apapun.
Glenzy duduk di kursi samping ranjang, menatap Irfan dengan tatapan serius. Ia menyentuh jemari adiknya perlahan.
"Irfan, aku tahu kau berbohong," ucap Glenzy. "Kau bukan diserang preman. Ini ada hubungannya dengan pertemuan mu bersama Martin, kan?"
Irfan tidak menjawab. Dia menutup mata, wajahnya seketika menegang, dengan rahang yang mengeras.
Glenzy menghela napas, lalu mengeratkan genggamannya. "Katakan yang sebenarnya. Aku kakakmu, Fan. Kau bisa percaya padaku."
Sesaat, hanya hening yang menjawab. Tapi Glenzy tidak menyerah. "Jika kau terus menahan semuanya sendiri, luka ini tidak akan sembuh. Kau hanya akan terus dihantui rasa bersalah."
Dan akhirnya, Irfan membuka mata. Air mata mulai mengalir dari sudut matanya.
"Aku mengakhiri hubungan ku dengan Elsa," lirihnya dengan suara yang serak, nyaris tidak terdengar. "Aku marah, aku kecewa. Jadi, aku ingin balas dendam."
Glenzy menahan napas. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengakhiri hubungan mu dengan Elsa?"
Irfan menatap langit-langit kosong. "Aku mengakhiri hubungan kami karena sesuatu, kak. Dan, aku mencampurkan obat ke minuman Elsa dan berniat memilikinya."
Glenzy terpaku. Matanya melebar, hatinya tercekat.
"Tapi, belum sempat aku membawa Elsa, tukang kebun sialan itu datang. Jadi, aku memilih untuk kabur," geram Irfan. "Dan, tadi pagi tiba-tiba daddy membawaku ke AL’X Company. Tapi, setelah masuk, aku ditinggalkan begitu saja." Suara Irfan mulai bergetar.
"Tuan Martin membawa pelayan Cafe yang aku suap untuk memberikan minuman bermasalah itu pada Elsa. Lalu, mereka … mereka memukuli ku. Dan mereka ..." suaranya tercekat, tubuhnya gemetar, "mereka memberiku obat yang sama seperti yang kuberikan pada Elsa, kak."
Glenzy menutup mulutnya, nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
Irfan terisak. "Aku pikir, aku akan mati, Kak. Aku pikir .. mereka akan benar-benar membunuhku.”
Dalam sekejap, Glenzy memeluk adiknya erat. Air matanya menetes, antara marah, sedih, dan hancur.
"Astaga, Irfan. Kenapa kau melakukan hal gila itu, hah?" sentak Glenzy.
Irfan hanya memejamkan mata, membiarkan pelukan itu memberinya terus mendekapnya.
"Martin! kenapa kau tega melakukan hal ini pada adikku" batin Glenzy. "Atau, jangan-jangan ... "
👍❤🌹🙏
thor bikin glenzy gk berkutik donk..aq takut dia nyakitin elsa lagi😏😏😏