Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ini urusan ku
… berdarah!”
Suara Mia yang terperanjat memecahkan gelembung keheningan di antara mereka. Angkasa mengerjap, fokusnya kembali dari jurang kenangan ke noda merah yang kini mengotori punggung tangannya. Ia seperti terbangun dari mimpi buruk, hanya untuk mendapati monster dalam mimpi itu kini duduk di bahunya.
“Ah,” hanya itu yang bisa keluar dari bibirnya. Tidak ada raut wajah yang berati, seolah itu hanya ingus yang keluar.
Angkasa mengulurkan tangannya meraih kotak, dan menarik beberapa lembar tisu dari dispenser di konter dengan gerakan kaku, menekankan ke hidungnya.
Rasa panik yang dingin mulai merayap naik di tulang punggungnya, tetapi wajahnya tetap ia paksakan seperti topeng tanpa ekspresi.
“Cuma kecapekan.”
“Kecapekan? Itu darahnya banyak banget, Angkasa!” Mia sudah melangkah mendekat, matanya membelalak cemas.
Naluri ingin menolong terpancar jelas dari raut wajahnya, sebuah kepedulian tulus yang justru membuat Angkasa ingin mundur seribu langkah.
“Gue bilang nggak apa-apa,” desisnya, suaranya lebih tajam dari yang ia niatkan. Ia berbalik, berjalan cepat menuju pintu bertuliskan ‘KHUSUS KARYAWAN’ di belakang konter.
“Gue ke toilet sebentar.”
“Tapi—”
Pintu itu berayun menutup di hadapan Mia, memotong kalimatnya dan menciptakan jarak fisik yang sangat Angkasa butuhkan.
Di dalam toilet staf yang sempit dan berbau disinfektan, Angkasa menyandarkan punggungnya ke pintu yang dingin. Napasnya tersengal. Ia menatap pantulan dirinya di cermin retak di atas wastafel.
Wajahnya pucat pasi, kontras dengan noda merah di sekitar hidung dan bibirnya. Tetesan darah segar jatuh ke wastafel porselen putih, menciptakan pola-pola kecil yang mengerikan.
Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, lagi dan lagi, seolah bisa ikut menghanyutkan rasa pusing yang mulai berputar di kepalanya. Namun, semakin ia mencoba membersihkan darah itu, semakin jelas sebuah bayangan dari masa lalu muncul. Bau anyir darah ini, rasa lelah yang meremukkan tulang ini… ia pernah merasakannya dulu. Bukan pada dirinya, tetapi pada orang lain.
Dunia di sekelilingnya seolah meleleh. Suara dengung lampu neon di atas kepalanya memudar, digantikan oleh suara batuk yang tertahan dari sebuah ruangan sempit yang selalu temaram.
Flashback on.
Aroma balsam dan obat-obatan menguar di udara, begitu pekat hingga Angkasa kecil bisa merasakannya di pangkal lidahnya. Ia duduk di tepi ranjang, kakinya yang mungil berayun-ayun tak menyentuh lantai. Di hadapannya, Ayah berbaring, tubuhnya yang dulu tegap kini hanya tinggal kerangka yang dibalut kulit pucat.
“Lagi… ceritain lagi, Yah,” pinta Angkasa, menyodorkan buku dongeng bergambar kusam.
Ayahnya tersenyum. Senyum itu tampak begitu berat, seolah menarik seluruh sisa tenaga dari wajahnya.
“Jagoan Ayah belum bosan?” suaranya serak dan lemah, seperti gesekan kertas amplas.
“Belum. Kasa suka bagian kapten kapalnya lawan gurita raksasa.”
Ayahnya terkekeh pelan, yang langsung berubah menjadi rentetan batuk kering yang menyakitkan. Angkasa terdiam, tangannya yang memegang buku sedikit gemetar. Setelah batuknya mereda, Ayah mengambil napas dalam-dalam.
“Baiklah… Di mana tadi kita…” Ia mencoba bangkit sedikit, menyandarkan punggungnya pada tumpukan bantal. Saat itulah Angkasa melihatnya. Setetes cairan merah pekat mengalir perlahan dari lubang hidung ayahnya.
Mata Angkasa membulat.
“Ayah… hidung Ayah…”
Ayahnya menyentuh hidungnya dengan punggung tangan, lalu menatap noda merah itu dengan ekspresi yang sudah terlalu familier, campuran antara pasrah dan lelah.
“Oh, ini?” Ia tersenyum lagi, senyum yang sama rapuhnya. Ia meraih selembar tisu dari meja di samping tempat tidur.
“Nggak apa-apa. Cuma kecapekan, Jagoan. Kapten kapalnya juga pasti sering mimisan kalau kurang tidur.”
Angkasa tidak tertawa. Ia tahu itu bukan sekadar kelelahan. Ia melihatnya setiap hari. Wajah Ayah yang semakin pucat, lingkaran hitam di bawah matanya yang semakin pekat, dan napasnya yang semakin pendek. Ia melihat bagaimana ibunya, Laras, akan membuang muka setiap kali melihat kondisi suaminya memburuk, seolah tak sanggup menyaksikan kapal itu perlahan-lahan tenggelam.
Ayahnya tidak pernah mengeluh. Ia akan selalu punya alasan. Selalu punya senyum. Bahkan di hari terakhirnya, saat napasnya sudah seperti bisikan angin, ia masih sempat mengusap kepala Angkasa dan berbisik, “Jaga Ibu, ya, Jagoan.”
Janji yang tak pernah bisa ia tepati. Karena tak lama setelah Ayah pergi, Ibu juga ikut pergi.
Flashback off
BRAK!
Angkasa memukul dinding toilet dengan kepalan tangannya, menyentakkan dirinya kembali ke masa kini. Rasa sakit yang tajam di buku-buku jarinya terasa nyata, sebuah jangkar yang menariknya dari lautan kenangan yang dingin. Napasnya memburu, dadanya terasa sesak.
Itu bukan hanya kenangan. Itu adalah sebuah peringatan. Sebuah kutukan.
Penyakit yang merenggut nyawa ayahnya, yang ia saksikan pelan-pelan melumpuhkan pria terkuat yang pernah ia kenal, kini seolah sedang mengetuk pintunya. Rasa lelah yang berlebihan. Mimisan. Pusing. Semua potongan teka-teki itu mulai menyatu, membentuk sebuah gambar yang begitu menakutkan hingga ia tak sanggup melihatnya.
Trauma ganda. Ditinggalkan ibu, dan kini dihantui warisan takdir dari ayah.
Ia membasuh wajahnya sekali lagi, air dingin itu terasa seperti tamparan. Ia harus menghentikan ini. Ia tidak boleh berpikir seperti ini. Ini hanya kelelahan biasa. Stres. Kurang tidur. Persis seperti alasan yang selalu ayahnya berikan.
Saat ia membuka pintu toilet, ia mendapati Mia masih berdiri di sana, di dekat lorong, menunggu. Wajah gadis itu masih sama cemasnya. Kepedulian di matanya terasa seperti bara api yang menyentuh kulit Angkasa yang membeku. Ia tidak bisa. Ia tidak boleh membiarkan cahaya ini masuk, hanya untuk kemudian ia padamkan dengan kegelapannya.
“Lo masih di sini?” tanya Angkasa, suaranya dingin dan datar.
“Gue khawatir,” jawab Mia pelan, mengigit bibirnya.
“Lo yakin nggak mau ke klinik? Atau setidaknya pulang istirahat?”
“Gue baik-baik aja,” potong Angkasa.
“Dan gue masih harus kerja.”
“Kerja?” Mia menatapnya dengan alis menukik tak percaya.
“Lo barusan mimisan hebat gitu dan lo masih mikirin kerja? Angkasa, ini kesehatan lo.”
“Justru karena ini urusan gue, jadi lo nggak perlu ikut campur,” balas Angkasa, berjalan melewatinya kembali ke area kafe.
Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti pecahan kaca di mulutnya, tetapi ia terus mengucapkannya. Ia harus membangun kembali tembok itu, lebih tinggi dan lebih tebal dari sebelumnya.
Mia tampak tertegun, terluka oleh nada bicara Angkasa.
“Gue… gue cuma peduli.”
“Gue nggak butuh,” jawab Angkasa tanpa menoleh. Ia mulai membereskan konter, gerakannya cepat dan kasar, sebuah pelampiasan dari badai yang berkecamuk di dalam dirinya.
“Sebaiknya lo pulang. Kafe juga udah mau tutup.”
Keheningan yang menyakitkan menyusul. Angkasa bisa merasakan tatapan Mia di punggungnya. Ia menunggu gadis itu mengatakan sesuatu lagi, mungkin sebuah makian, atau isak tangis. Tapi yang terdengar hanyalah helaan napas pelan, diikuti oleh suara langkah kaki yang menjauh dan denting lonceng di pintu saat Mia pergi.
Angkasa akhirnya berhenti bergerak. Ia sendirian. Lagi. Ada rasa lega yang aneh, tetapi di baliknya, sebuah lubang kehampaan yang jauh lebih besar menganga. Ia baru saja mengusir satu-satunya orang yang membuatnya merasa sedikit hidup.
Ia menyelesaikan pekerjaannya dalam kebisuan, pikirannya kosong. Saat ia membalik papan ‘BUKA’ menjadi ‘TUTUP’ di pintu kaca, ia merasa seperti sedang melakukan hal yang sama pada hatinya.
Tiba-tiba, pintu itu didorong terbuka dengan kasar dari luar, membuat lonceng di atasnya berdentang panik.
Angkasa terlonjak kaget. Mia berdiri di ambang pintu, terengah-engah seolah baru saja berlari maraton. Wajahnya panik, matanya liar mencari-cari sesuatu.
“Mia? Lo kenapa? Ada apa?” tanya Angkasa, rasa cemasnya seketika mengalahkan semua pertahanannya. Berbagai skenario buruk melintas di kepalanya. Apa ia kecopetan? Diikuti orang?
Gadis itu mengambil napas dalam-dalam, menunjuk ke arah Angkasa dengan jari yang sedikit gemetar, matanya masih memancarkan urgensi yang luar biasa.
“Gue… gue harus balik!” serunya dengan napas yang masih putus-putus.
“Gue lupa bilang sesuatu yang penting banget!”
Angkasa menegang, jantungnya berdebar kencang. Penting? Apa yang bisa begitu penting?
“Gue cuma mau bilang makasih!” seru Mia, senyum lebar tiba-tiba merekah di wajahnya yang panik, sama sekali tidak cocok dengan rautnya beberapa detik lalu. Ia mengangkat sebuah buku bersampul biru yang ia genggam erat.
“Soal buku yang lo sebutin minggu lalu itu… ternyata beneran bagus banget! Gue—”
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras