NovelToon NovelToon
After The Fall

After The Fall

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: ARQ ween004

Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.

Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.

Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.

Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.

Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.

Dan dia adalah sosok itu...

Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

nama yang sudah mati

Waktu bergerak cepat sejak hari itu.

Hari ketika semuanya berhenti—dan kemudian berjalan lagi, tapi dengan arah yang berbeda.

Kontrol demi kontrol dijalani, obat-obatan perlahan dikurangi, dan luka yang dulu tampak mustahil sembuh kini hanya menyisakan bekas samar di kulit — namun tidak di hati. Setiap detik di ruang putih itu seperti menulis ulang dirinya; menghapus sesuatu yang dulu lembut dan menggantinya dengan ketenangan yang dingin, hampir tak berperasaan.

Viora tumbuh menjadi sosok yang berbeda.

Bukan lagi gadis ceria yang selalu menebar tawa di rumah. Kini ada ketenangan yang baru di dirinya — dingin, tapi elegan; lembut, tapi tak lagi rapuh. Cara bicaranya lebih lambat, terukur; langkahnya tenang, nyaris tanpa suara. Dan pandangan matanya… seringkali tampak jauh, seperti seseorang yang telah melihat sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Perubahan itu tidak luput dari perhatian keluarganya.

Pagi itu, di ruang makan yang luas dan tenang, Zegra menatap adiknya diam-diam dari balik cangkir kopinya. Ia memperhatikan cara Viora meneguk teh tanpa suara, gerakannya rapi dan lembut, tapi terasa asing.

Dulu, gadis itu selalu cerewet. Selalu mengeluh soal rasa teh yang kurang manis atau terlalu hambar. Sekarang—ia hanya diam. Diam, dan menatap ke arah luar jendela seolah dunia di luar sana lebih menarik daripada meja makan tempat mereka duduk bersama.

“Viora,” panggil Zegra akhirnya, suaranya pelan tapi cukup untuk memecah kesunyian. “Lo yakin udah bisa masuk sekolah lagi?”

Viora menoleh perlahan. Senyumnya lembut—tapi hambar, seperti sesuatu yang dibuat hanya karena seharusnya, bukan karena ingin.

“Ya,” jawabnya tenang. “Gue ngerasa udah jauh lebih baik sekarang.” Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan lirih, “Dan setelah ini, gue cuma mau... ketenangan.”

Zevan dan Elvatir yang duduk di seberang saling bertukar pandang. Mereka tahu, kata ketenangan itu bukan sekadar keinginan sederhana. Itu adalah dinding halus yang menutupi sesuatu yang jauh lebih dalam—bekas dari masa lalu yang belum sepenuhnya pulih.

Bagi mereka, Viora yang kini duduk di hadapan mereka bukanlah adik yang dulu mereka kenal.

Ia terlihat lebih dewasa, lebih mandiri, tapi juga lebih jauh. Bahkan ketika jarak di antara mereka hanya selebar meja makan, rasanya seperti berbicara dengan seseorang yang sedang perlahan memudar.

Rasa rindu itu tumbuh diam-diam.

Rindu pada gadis yang dulu menertawakan hal-hal kecil, yang suka memaksa mereka menonton drama konyol di tengah malam, atau memaksa mereka mendengar cerita panjangnya tentang teman sekolah yang bahkan mereka tidak kenal.

Kini semua itu berganti dengan keheningan—sejenis keheningan yang menenangkan sekaligus menyakitkan.

°°°

Dan pagi itu tiba.

Hari di mana Viora akhirnya akan kembali ke dunia luar—menjadi siswi baru di Starlight School, sekolah elit di Jakarta yang terkenal dengan murid-muridnya yang berpengaruh dan berprestise.

Di garasi rumah, Elvatir berdiri sambil memeriksa kunci mobil di tangannya. Pandangannya tertuju pada adiknya yang berdiri di seberang, bersandar ringan di kap mobil sport hitam.

Seragam Starlight tampak pas di tubuhnya — kemeja putih rapi, blazer abu yang menonjolkan siluet bahunya, dan rambut pendek yang kini membuat wajahnya tampak lebih dewasa, lebih berwibawa, tapi juga lebih berjarak.

“Kita berangkat bareng, ya,” kata Elvatir akhirnya, dengan nada datar tapi tegas seperti biasanya. “Kebetulan kita satu sekolah. Lagipula Papa sama Mama pasti lebih tenang kalau kita berangkat bareng.”

Viora menoleh sekilas, lalu menggeleng pelan.

“Enggak usah, Kak. Gue bawa kendaraan sendiri.”

Elvatir menurunkan kunci, menatap adiknya dengan alis sedikit berkerut. “Kenapa? Takut gue nyetirnya ngebut?”

Viora tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. “Bukan. Gue cuma… nggak mau orang tahu kalau gue adik lo.”

Kata-katanya membuat Elvatir menatap lebih dalam.

“Maksud lo?” nada suaranya sedikit tersinggung.

“Gue tahu lo itu ketua OSIS, kapten basket, dan incaran hampir semua siswi di sekolah itu,” ujar Viora datar, tanpa nada sindiran. “Gue cuma nggak mau orang menilai gue dari siapa keluarga gue. Gue mau ngerasain sekolah tanpa sorotan, tanpa embel-embel nama Walker.”

Ia berhenti sejenak, lalu menatap kakaknya dengan pandangan yang tak biasa—tenang, tapi menyimpan luka lama.

“Dan panggil gue Zea,” katanya akhirnya. “Bukan Viora. Karena dia udah mati sejak malam kejadian itu.”

Kata-kata itu keluar pelan, tapi cukup untuk membelah udara pagi menjadi dingin dan berat.

Elvatir terdiam. Ia tahu, adiknya tidak sedang memberontak. Ia hanya berusaha hidup lagi—dengan nama yang baru, dan luka yang sama.

“Gue cuma pengen tenang, Kak,” lanjut Zea dengan suara lembut, hampir berbisik. “Di sana… gue pengen mulai dari awal, tanpa harus jadi bayangan siapa pun.”

Elvatir menarik napas panjang, menatap wajah adiknya lama-lama. “Dulu lo selalu takut kalau sendirian,” katanya pelan.

Zea mengangkat bahu kecil. “Dulu. Sekarang gue nggak kayak dulu lagi.”

Keheningan kembali turun di antara mereka. Hanya suara burung di taman depan yang mengisi udara pagi itu—tenang, tapi anehnya terasa menyayat.

Akhirnya, Elvatir menyerah. Ia tahu tak ada gunanya memaksa seseorang yang sudah memutuskan untuk berjalan dengan caranya sendiri.

“Baiklah,” katanya, suaranya melemah. “Tapi janji, kalau ada apa-apa, lo langsung hubungi gue.”

Zea menatap kakaknya dengan sorot mata yang dalam, lalu menggeleng tipis sambil berbisik,

“Gue gak janji.”

Beberapa menit kemudian, mobil sport hitam itu meluncur keluar dari garasi, melewati pagar rumah dengan suara mesin halus tapi tegas.

Elvatir berdiri di teras, memandangi mobil itu sampai menghilang di tikungan jalan.

Senyum tipis muncul di wajahnya — senyum yang menyimpan terlalu banyak rasa: bangga, cemas, dan sesuatu yang sulit dijelaskan.

Di satu sisi, ia bahagia melihat adiknya tumbuh kuat.

Namun di sisi lain, ada rasa aneh yang menekan dada — seperti kehilangan seseorang yang pernah ia kenal, meski orang itu masih hidup dan bernapas di dunia yang sama.

°°°

Suara mesin mobil terdengar lembut di antara deru pagi Jakarta. Jalanan masih basah sisa hujan semalam, memantulkan bayangan gedung dan langit abu yang perlahan memucat.

Zea — atau Viora — memegang kemudi dengan satu tangan, jari-jarinya menggenggam erat seolah berusaha menahan sesuatu yang ingin lepas. Di kaca depan, dunia tampak bergerak cepat, tapi di dalam mobil itu, waktu terasa berjalan lambat.

Ia menarik napas panjang.

“Mulai hari ini…” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

“Gue harus kuat. Nggak ada lagi masa lalu. Nggak ada lagi mereka." Kedua nama yang menggoreskan luka terlalu dalam di hatinya. ( Rafka dan Friska. )

“Semua udah berakhir,” katanya lagi, kali ini lebih tegas, seolah mencoba meyakinkan suaranya sendiri. “Yang dulu… biar terkubur rapat di sana, hancur bersama kecelakaan yang memimpa nya.”

Ia menatap pantulan wajahnya di kaca spion — wajah yang sama tapi terasa asing.

Rambut pendek itu, mata yang kehilangan lembutnya, dan garis bibir yang lebih tegas — semua seolah menciptakan seseorang yang baru.

Zea menarik napas dalam-dalam lagi, lalu tersenyum kecil pada dirinya sendiri. “Mulai dari awal, Zee… jangan mundur lagi.”

Mobil hitam itu melaju perlahan di antara lalu lintas yang mulai padat. Klakson bersahutan, suara sirene dari kejauhan menyatu dengan gemuruh kota yang baru terbangun.

Saat lampu merah menyala di persimpangan besar, Zea menghentikan mobilnya. Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang entah ke mana — hingga sebuah kilasan warna di sisi kanan menarik perhatiannya.

Sebuah motor sport merah hitam berhenti tepat di sebelah mobilnya.

Helm hitam pekat menutupi sebagian wajah pengendaranya, namun ada sesuatu pada cara ia duduk — tegak, tenang, dengan bahu lebar dan tangan yang mantap menggenggam setang — yang entah kenapa terasa akrab.

Zea menoleh pelan, tanpa niat apa pun. Tapi di detik itu, pengendara motor itu juga menoleh.

Pandangan mereka bertemu.

Hanya sepersekian detik — cepat, nyaris terlalu singkat untuk diingat. Namun bagi Zea, waktu seperti berhenti.

Tatapan mata di balik visor helm itu… tajam, tapi menenangkan. Seolah pernah menatapnya dengan cara yang sama — cara yang membuat jantungnya bergetar tanpa alasan.

Sebuah sensasi aneh menjalari tubuhnya. Deja vu.

Ia menelan napas pelan, mencoba mencari logika dari rasa aneh yang tiba-tiba itu. Tapi sebelum pikirannya sempat berlabuh, lampu merah berubah menjadi hijau.

Motor itu melaju lebih dulu, meninggalkan aroma bensin tipis di udara. Zea hanya sempat menatap punggung pengendara itu yang perlahan menghilang di antara arus kendaraan lain.

Suara klakson di belakangnya membuyarkan lamunan.

“Woi, jalan dong!”

Zea tersadar, buru-buru menginjak pedal gas. Mobilnya ikut bergerak mengikuti arus lalu lintas, tapi jantungnya masih berdebar — tidak karena kaget, melainkan karena sesuatu yang tak bisa ia pahami.

Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi matanya masih menatap lurus ke jalan seolah berharap motor merah itu akan muncul lagi di depan.

Namun jalanan hanya menampilkan wajah kota yang sibuk — gedung, lampu, dan bayangan asing yang berkelebat.

Yang tersisa hanyalah gema halus dalam pikirannya:

tatapan itu, dan rasa yang tak seharusnya ada,

rasa yang membuatnya sadar — bahwa mungkin masa lalu tidak benar-benar terkubur.

***

1
Mar lina
pasti Agler
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
siapa ya
sosok misterius itu???
Mar lina
bener Rafka ada main sama sahabat Viola
lanjut thor
Yunita Aristya
kok aku merasa friska ada main sama rafka🤭
ARQ ween004
Aku update tiap hari jam delapan ya! makasih yang udah mampir 🫶 tinggalkan jejak kalian di kolom komentar sini ya! biar aku tambah semangat nulisnya, hhe...

love u sekebon buat para readers ku🫶🫶
Madie 66
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
ARQ ween004: makasih kembali, makasih udah baca cerita ku dan aku juga senang kalau kalian suka🫶🫶
total 1 replies
Carlos Vazquez Hernandez
Dapat pelajaran berharga. 🧐
Kelestine Santoso
Menguras air mata
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!