Aaric seorang CEO muda yang belum terpikir untuk menikah harus memenuhi keinginan terakhir neneknya yang ingin memiliki seorang cicit sebelum sang Nenek pergi untuk selama-lamanya.
Aaric dan ibunya akhirnya merencanakan sesuatu demi untuk mengabulkan keinginan nenek.
Apakah yang sebenarnya mereka rencanakan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berpisah..
Ibu Farida memegang tangan Naina dengan erat.
"Ibu. Kumohon! Dengarkan perkataan kami dulu." Aaric memegang salah satu tangan istrinya.
"Lepaskan dia!" Ibu Farida melihat Aaric dengan marah agar dia melepaskan tangannya dari Naina.
Winda beranjak dari duduknya.
"Ibu Farida. Sebaiknya anda mendengarkan apa yang dikatakan oleh anak-anak kita terlebih dahulu," ucap Winda memohon.
"Aku sudah mengerti semuanya, tidak ada yang perlu aku dengarkan lagi." Farida berjalan sambil terus menarik tangan Naina yang kini sudah menangis diikuti oleh Farhan dibelakangnya.
Aaric menghalangi jalan Ibu Farida.
"Sewaktu di Panti Ibu bilang kalau ibu tahu jika aku sangat mencintai Naina karena Ibu bisa melihatnya sendiri dari mataku, lalu kenapa ibu sekarang meragukannya?" Aaric menatap mata Ibu Farida dengan nanar.
"Mencintainya atau tidak aku tidak peduli sekarang, yang aku pedulikan adalah kalian memanfaatkan situasi untuk membodohi gadis polos seperti Naina, membuatnya harus mau menikah hanya untuk melahirkan penerus keluarga kalian, setelah itu jika anak itu sudah lahir aku sudah tahu apa yang akan terjadi, kalian akan membuangnya seperti sampah."
"Tidak! Itu tidak benar Bu, tidak akan seperti itu, Aku sangat mencintai Naina, bagaimana mungkin jika kelak kita mempunyai anak aku tega memisahkannya dengan anaknya sendiri," jawab Aaric dengan cepat.
Nenek menarik napas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri melihat situasi yang sekarang tengah terjadi, terutama melihat Naina yang nampak bingung, hanya bisa menangis terisak.
Winda kembali mencoba berbicara dengan Farida, dia kembali mendekatinya lagi.
"Ibu Farida anda tidak bisa membawa Naina pergi karena Aaric telah menikahinya, jadi dia sudah berhak penuh atas diri Naina, tidak ada yang boleh memisahkan istri dari suaminya sendiri termasuk itu orang tuanya sendiri."
Farida melihat Winda dengan marah.
"Pernikahan apa yang kalian maksud? Naina terpaksa menikah karena kalian memaksanya, aku yakin jika pernikahan itu tidak sah apalagi ini hanya pernikahan di bawah tangan."
"Aku baru akan mendaftarkan pernikahan kami, hanya saja belum karena masalah administrasi Naina belum lengkap," timpal Aaric.
"Itu benar Bu. Apa yang dikatakan suamiku benar, ibu kumohon percayalah dengan semua perkataan kami." Naina menatap wajah Farida.
"Tidak Nak. Ibu tidak akan mempercayai siapapun lagi kecuali kenyataan jika keluarga ini telah memanfaatkan situasi untuk memanfaatkanmu,"
"Tidak Bu. Ibu salah." Naina semakin terisak.
Aaric tak tahan melihat istrinya menangis seperti itu, hatinya seakan disayat melihat bulir air mata Naina turun dengan derasnya.
Winda menjadi orang yang paling merasa bersalah disini, dia tampak bingung dan sedih, sama sekali tidak menyangka jika hal ini akan terjadi, niatnya untuk berkata jujur agar tidak ada lagi kebohongan malah membuat semuanya menjadi kacau.
"Naina, kamu jangan merasa bersalah pada mereka, ibu sudah mengembalikan sertifikat tanah Panti itu kembali pada mereka, kini kita kembali ke Panti dan menunggu apa yang akan mereka lakukan, jikalau mereka mengusir kita dari sana pun kita harus sudah siap, masih banyak orang yang dengan ikhlas dan tanpa pamrih menolong kita, tidak seperti mereka yang menolong hanya agar bisa memanfaatkanmu," ucap Farida melihat Winda dan Aaric dengan sangat marah.
"Kami tidak akan mengusir kalian, percayalah." Winda tampak bersungguh-sungguh.
"Mari kita pergi." Farida tidak menghiraukan perkataan Winda, dia kembali berjalan melewati Aaric sambil menarik tangan Naina.
Aaric memegang tangan Naina yang sebelahnya lagi.
"Ibu. Sekali lagi aku mohon, jangan pisahkan aku dan Naina."
Farida tetap melangkah maju, juga tak menghiraukan perkataan Aaric yang terus memohon padanya.
Farhan yang sedari tadi terdiam, mengikuti mereka dari belakang.
Naina menatap wajah suaminya dengan linangan air mata di pipinya, tangan mereka yang masih saling bertautan perlahan-lahan terlepas karena jarak yang semakin menjauh.
Aaric tampak akan mengejar Naina dan ibunya, tapi terhenti karena nenek yang mencegahnya.
"Biarkan dia membawa Naina," ucap Nenek.
Winda dan Aaric langsung melihat ke arah Nenek.
"Jangan semakin membuat Naina bingung, biarkan Naina sendiri yang perlahan menjelaskan semuanya pada ibunya."
Aaric berjalan perlahan mendekati Nenek, dia lupa jika selain Ibu Farida ada Nenek yang juga pasti syok mendengar kenyataan ini.
Aaric bersujud di hadapan sang Nenek.
"Nenek tidak apa-apa?" tanya Aaric memegang tangan Nenek.
Nenek menggelengkan kepalanya.
"Karena sebelumnya Nenek sudah tahu semuanya."
"Apa?"
"Sewaktu kalian pergi ke panti, waktu itu ibumu memberitahu Nenek yang sebenarnya."
Winda mendekati Aaric.
"Ibu tak ingin terus-menerus membohongi Nenek, jadi ibu memilih untuk memberitahunya."
Aaric mengangguk.
"Langkah ibu benar dengan memberitahu Nenek."
Aaric beranjak berdiri.
"Ibu. Nenek, aku benar-benar mencintai Naina, aku tidak ingin berpisah dengannya." Aaric melihat ibu dan Neneknya bergantian.
Winda langsung memeluk putranya.
"Ibu tahu nak, Ibu sudah tahu jika kamu diam-diam jatuh hati padanya."
"Lalu sekarang apa yang akan kita lakukan Bu?" tanya Aaric putus asa.
"Berjuanglah Nak, sekarang saatnya kamu perjuangkan cintamu, tunjukkan pada Ibu Farida jika kamu memang benar-benar mencintainya."
Aaric melepaskan pelukannya.
"Ibu benar." Aaric menatap wajah ibunya.
"Hal pertama yang harus aku lakukan adalah mendaftarkan pernikahan kami," ucap Aaric.
Winda menganggukan kepalanya.
***
Sesampainya di Panti Naina langsung masuk ke kamarnya, dia kembali meluapkan kesedihan hatinya karena harus berpisah dengan suami yang dicintainya.
Dalam hati terkecilnya dia mengerti akan apa yang dirasakan dan dilakukan ibu Farida, walaupun dia bukan ibu kandungnya tapi dia adalah ibu yang telah merawatnya sedari kecil, hubungan batin diantara keduanya selayaknya ibu dan anak kandung, ibu Farida sangat menyayanginya dan tak ingin siapapun menyakiti atau memanfaatkannya.
Karena itu ketika tadi ibunya itu memaksanya untuk ikut, Naina merasa sangat bingung dan serba salah, bukannya dia tidak tahu jika sebenarnya suaminyalah yang lebih berhak atas dirinya, tapi di sisi lain dia tak ingin membuat ibunya merasa kecewa, dia tahu persis perasaan ibunya yang saat itu merasa tersakiti akan semua kebohongan mereka selama ini, karena itu dia mengikuti semua keinginannya untuk ikut kembali ke Panti.
Sementara itu, Farida tampak tak terpengaruh melihat Naina yang bersedih, kini dia hanya merasa lega bisa membawa Naina kembali pulang ke Panti dan tentu saja senang karena telah berhasil menyelamatkan Naina dari mereka yang ingin memanfaatkannya.
---
Malam Hari.
Aaric tampak sangat bersedih, dia nampak bingung berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya.
Aaric lalu menghempaskan tubuhnya di atas sofa, mengambil ponsel Naina yang tergeletak di atas meja di depannya, Ibu Farida bahkan tak membiarkan Naina mengambil tasnya tadi sehingga ponselnya yang berada di dalamnya tertinggal, membuatnya bingung bagaimana cara menghubungi istrinya sekarang padahal dia sudah sangat merindukannya.
Aaric mengusap wajahnya kasar, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, nampak berpikir keras.
"Aku tidak tahan lagi." Aaric beranjak dari duduknya dengan cepat, mengambil kunci mobil lalu pergi meninggalkan kamarnya.