Tak kusangka cinta berselimut dilema bisa datang padaku!
Rena Arista seorang dosen muda yang berusaha meraih mimpinya untuk bisa menikah dengan tunangannya yang sangat dicintainya.
Pada saat bersamaan datang seorang pria yang usianya lebih muda dan berstatus sebagai mahasiswanya, memberikan cintanya yang tulus. Dengan perhatian yang diberikan pria itu justru membuat Rena meragu atas cintanya pada tunangannya.
Sebuah kisah cinta segitiga yang penuh warna. Bagai rollercoaster yang memicu adrenalin menghadirkan kesenangan dan ketakutan sekaligus.
Akankah Rena mampu mempertahankan cintanya dan menikah dengan tunangannya?
Ataukah dia akan terjebak pada cinta baru yang mengguncang hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eren Naa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Salahku?
Tokyo Hotel.
Seorang pemuda masuk ke dalam sebuah hotel dengan mengandeng seorang gadis. Mereka nampak seperti sepasang kekasih. Tidak ada yang mengira jika umur mereka terpaut 4 tahun dan si gadis adalah dosen dari pemuda itu.
Benar, mereka adalah Yori dan Rena. Setelah berkonsultasi dengan dokter, hari ini Rena boleh pulang dari Rumah Sakit karenanya mereka memutuskan kembali ke hotel tempat mereka menginap.
Setelah mampir ke Resepsionis untuk mengambil kartu, mereka memasuki elevator dan menuju kamar Rena yang berada di lantai 4.
"Kepalamu pusing?" tanya Yori cemas saat menilik wajah Rena yang pucat.
"Sedikit," jawabnya pelan dengan wajah menahan sakit. Ia mengeratkan pegangannya tangannya pada Yori. Entah mengapa tiba-tiba rasanya kepalanya berputar dan pandangannya menjadi gelap. Ia lunglai dan dengan sigap Yori menggendong Rena bersamaan dengan elevator yang terbuka. Dia menyusuri lorong kamar dan sampai di kamar Rena.
Yori meletakkan Rena yang setengah sadar di atas tempat tidur, menyelimutinya dan beranjak mengambil air mineral.
"Minumlah dulu!" Yori menyanggah badan Rena dengan dadanya agar ia bisa minum. Setelah minum Ia kembali membaringkannya.
"Kata dokter kamu harus segera minum obatmu, tapi kamu harus makan sesuatu dulu!" Ia seperti berbicara sendiri. Karena Rena tidak merespon dan memutup matanya sedari tadi.
Ia menelpon Resepsionis dan memesan makanan. Kemudian ia mendekati Rena dan duduk di sisinya. Menatap iba gadisnya yang masih terbaring lemah dengan mata terpejam, mungkin ia tertidur, mungkin juga hanya sekedar menghindari rasa pusing yang menderanya. Entahlah, bahkan sisi lemah gadis itu saat ini mampu membuat hatinya bergetar. Desiran aneh yang selalu muncul saat di dekatnya. Rena pun membuka matanya dan menatap langit-langit
"Masih pusing?" Yori menatap lekat gadis itu, ingin ikut merasakan derita yang ia rasakan. Rena mengalihkan netranya pada iris keabuan milik seseorang yang selalu ada di sisinya.
"Sudah gak lagi!" jawabnya lemah. Rena bangun dari posisinya dibantu oleh Yori, kemudian membenarkan jilbabnya yang berantakan.
Mata Yori tiba-tiba menangkap sebuah benda yang berada di dekat kaki Rena, ia mengambilnya.
"Ini ponselmu?" Yori menyerahkan ponsel itu pada Rena. Tanpa menjawab Rena menerimanya dan menyalakan ponselnya. Beberapa notifikasi yang masuk tidak membuatnya tertarik untuk melihatnya, Ia meletakkannya kembali. Sejujurnya Rena enggan berurusan dengan benda itu, hanya karena satu alasan. Apa lagi jika bukan karena tunangannya, ya kekasih yang menjadi musuh bagi cintanya, cinta yang terhianati.
Tanpa Rena sadari, Yori beranjak dari sisinya dan mendekati jendela yang menyuguhkan pemandangan kota Tokyo yang sibuk di siang hari. Angan Yori mulai merayap perlahan. Mencari alasan keberadaannya di sini. Bahkan di dalam mimpipun ia tidak pernah berharap akan berada di tempat ini bersama gadis yang selalu mendominasi pikirannya ini. Apakah ini takdir ataukah ini hanya seperti musim yang datang sesaat kemudian berganti dengan musim yang lain saat waktunya tiba. Ia melirik gadis yang masih terpaku menatap ponselnya.
"Apa semenjak datang kamu sudah pernah jalan-jalan?"
Pertanyaannya mengalikan perhatian gadis itu. Sejenak ia berpikir.
"Ya, keesokan harinya setelah aku tiba di sini!" jawabnya sambil mengingat-ingat hari itu.
"Sendiri?"
Rena menggeleng. Yori mendekati Rena dengan wajah penasaran.
"Sama siapa? Tunanganmu?" cecar Yori tak sabaran.
Rena menggeleng dan tersenyum. Manik mata Yori makin tajam menatapnya dengan posesif . Rena malah tertawa.
"Kamu punya berapa kekasih sih?" Nada bicara Yori terdengar kesal.
"Ya satulah ... kamu pikir berapa?" Rena menjawab datar. Ia memutuskan memulai permainannya.
"Jadi kamu jalan sama siapa di sini? Bukannya ini kali pertama kamu ke sini?" Sorot matanya makin mengintimidasi Rena. Namun Rena tetap tak terpengaruh.
"Ada deh!" Rena kembali tersenyum penuh makna. Sepertinya dia hampir memenangkan game ini.
"Kalau gitu aku balik ke kamarku aja!"
Yori berbalik hendak beranjak tapi Rena segera menahannya.
"Kamu marah?" Rena menatapnya lucu. Hampir ia tak bisa menahan tawanya.
"Menurutmu?" jawabnya dingin
"Kamu cemburu?" Rena menggoda Yori lagi.
"Apa boleh?" tanyanya hati-hati. Rena tertegun, pertanyaannya berbalik seperti senjata makan tuan. Rencananya gagal.
Tiba-tiba ketukan pintu mengakhiri perdebatan mereka. Yori beranjak melihat di doorview dan membukanya. Seorang pelayan hotel datang membawa makanan yang dipesan.
"Ayo makan! Supaya kamu punya tenaga dan kita bisa jalan-jalan sebentar sore." Ujar Yori kemudian. sepertinya kekesalannya pada Rena beberapa detik lalu menguap begitu saja.
"Beneran?" tanya Rena dengan mata berbinar.
Yori tersenyum sambil mengangguk. Rena berdiri menuju sofa yang ada di sana masih di papah Yori.
"Aku sudah gak apa-apa!" lirihnya
"Kenapa kamu selalu nolak aku sih?' Yori memancarkan tatapan tidak suka dengan kata-kata Rena.
Rena duduk sambil melihat Yori, manik matanya terus mengawasi gerakan pemuda tampan itu.
Tentu saja, itu karena kamu menyukaiku dan aku gak tau perasaan macam apa yang ku punya untukmu. Aku gak mau kamu terluka, aku gak rela jika itu terjadi. Cukup aku aja yang terluka saat ini.
Tanpa disadari netranya mulai tergenang. Perlahan air matanya mengalir, ia tersadar dan segera menghapusnya. Yori menyadarinya, mendekat dan kembali duduk disamping gadis yang menjadi nafas baginya.
"Kenapa? Maaf kalau kata-kataku menyakitimu!"
Yori mengenggam erat tangan Rena.
"Gak Yor, aku yang minta maaf ... aku gak bermaksud mempermainkanmu sama sekali!" Suaranya bergetar menahan tangisnya. Usapan lembut dipipinya membuatnya kembali meremang. Ia mengangkat wajahnya dan nampak senyuman tulus disana.
"Sudahlah, sebaiknya kita makan dulu dan cepat minum obatmu!"
Ia memberi Rena nampan berisi beberapa makanan yang di letakkan di mangkuk-mangkuk kecil. Rena menerimanya dan meletakkan di pangkuannya.
"Aku suapin?"
Rena begidik dan di balas dengan tawa Yori. Mereka pun makan dengan lahap tanpa berbicara lagi. Sesekali mereka saling pandang ataupun menatap diam-diam.
Entah apakah mereka saling berkomunikasi melalui telepati atau dengan bahasa kalbu, yang jelas tergambar bagaimana mereka tertarik satu sama lain.
*******
Di sebuah kafe
Aldi masih memutar ulang rekaman CCTV yang mereka dapat dari Restoran itu. Entah sudah berapa kali ia melihatnya sejak semalam tapi rasanya ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Kenapa dia melakukannya? Aku rasa dia tidak sengaja! Ya .. aku rasa begitu.
Ia terus bermain dengan pikirannya sendiri. Mencoba mencari sendiri jawabannya, meskipun ia tidak yakin. Ia menghela nafas . Kemudian pandangannya teralih pada Natsuki yang masih sibuk dengan laptopnya.
Tak lama masuk seorang pria berparas oriental mendekati meja mereka. Dia adalah Tomoya sahabat mereka.
"Ada masalah apa?" tanya Tomoya sambil duduk di seberang meja.
Natsuki yang mendengar kedatangan Tomoya segera menutup laptopnya dan ikut memperhatikan Tomoya dengan serius seperti Aldi. Benar, semenjak kedatangan sahabatnya yang satu itu Aldi tak lekat menatap dingin mulai dari dia memasuki pintu kafe.
"Ada apa?" tanya Tomoya lagi karena merasa aneh dengan tatapan kedua sahabatnya itu.
Aldi membalikkan laptopnya mengarah ke Tomoya dan memutar video yang ditontonnya sedari tadi.
"Apa maksudnya ini semua?" Suara Aldi tercekat di tenggorokannya, menahan marah dan sedih bersamaan.
Mata Tomoya membulat sempurna. Mungkin ia tak menyangka akan secepat ini semuanya terkuak. Bagaimanapun nasi sudah menjadi bubur. Ia menghela nafas panjang.
"Yah, aku akui memang itu perbuatanku!' katanya enteng. Ia seperti tak merasa bersalah sedikitpun.
"Tapi kenapa? Apa salahku?" Suara Aldi bergetar menahan amarahnya.
"Kamu selalu mendapat perhatian wanita yang aku suka, aku mau kamu merasakan bagaimana dibenci oleh wanita!"
"Kenapa harus Erika, dia juga teman kita?" tanyanya penuh sesal dan marah.
"Itu karena aku menyukainya! Tapi ia lebih memilih menyukaimu!" Alasan Tomoya terdengar egois.
Aldi mengepalkan tangannya. Hampir sama aja ia memukul pria di hadapannya itu jika saja Natsuki tidak menahannya.
"Terserah kalau kalian membenciku!" Tomoya beranjak dari kursinya dan melenggang pergi.
"Sebaiknya kita langsung menemui tunanganmu dulu, dan masalah dengan dia bisa kita lanjutkan setelah masalahmu selesai!" Suara Natsuki membuatnya sedikit tenang. Aldi membenarkan saran sahabatnya itu.
"Apa kamu bisa menemaniku?"
"Kalau itu tidak mengangumu. Karena bagaimanapun kamu butuh waktu berdua untuk membicarakan ini dengannya!"
"Aku takut gak bisa mengontrol diriku hingga tidak bisa menjelaskannya padanya." Aldi berkata pelan. Ia ragu Rena mau bertemu dengannya.
"Baiklah, aku akan menemanimu! Ayo kita berangkat sekarang agar tidak terlalu larut nantinya!"
Kedua orang bersahabat itu keluar dari kafe menuju halte bus. Tujuan mereka adalah hotel tempat Rena menginap.
.
.
.
...****************...
bonus lumayan
Next lanjut