Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diambang Batas
“Nadira…”
Kali ini, tidak dari kabut, tapi dari dirinya, seperti angin menyebrang dari dunia lain.
Perlahan… sangat perlahan… kepala itu menoleh sepenuhnya ke belakang—lebih jauh dari sudut putaran leher manusia. Dan wajahnya—bukan wajah penuh, tidak pernah akan penuh, hanya setengah, setengah wajah cantik, pucat bunga melati layu menunggu terlalu lama…setengah lainnya kabur, bercampur dengan kabut
Tatapannya tajam menikam seolah ingin membongkar semua rahasia ketakutan tertutup selama ini “Nadira…”suara terurai menyayat hati dan jiwa.
“Jangan mendekatinya.”
“Siapa… siapa kamu?” Gadis itu tercekat, kakinya mulai goyah serasa mau pingsan.
Dia tidak menjawab, bibirnya samar bergerak tanpa nada, hanya pikiran saja menangkap apa yang akan ia katakan.
“Pulang.”
Darah Nadira berhenti mengalir, ia
mundur selangkah, nyaris tersandung akar pohon. Dan detik itu juga, sosok itu bergeser—tidak berjalan, tidak melayang—tetapi berpindah gerakan terputus menjerit tertahan, jemarinya yang pucat menggapai gapai di udara, merasakan kehangatan tubuh yang bukan miliknya.
Angin berembus keras dari dalam hutan, menggulung dedaunan dalam pusaran kecil. Kabut berputar cepat, menutup sosoknya hingga lenyap disedot ke dalam celah dunia lain.
Hutan menjadi lebih sunyi dari sebelumnya—terlalu sunyi untuk sesuatu yang wajar.
Gadis itu memegang dadanya berdegup tak karuan. “Ya Tuhan…” suaranya bergetar.
Di sakunya, ponselnya tiba-tiba bergetar,
Notifikasi baru, satu pesan.“Jangan buat dia melihatmu. —A.R.”
Tubuhnya menggigil.
\=\=
Namun itu belum selesai, sepasang mata menyala samar di balik kabut terus mengikuti langkahnya di antara batang pohon besar, mengikuti arah angin.Ia tidak sepenuhnya marah, tapi entah kenapa jiwa nya lebih mirip manusia, tersinggung.
Perempuan asing itu datang begitu dekat, memintas jalur yang seharusnya tak pernah disentuh manusia luar. Raga memiliki satu garis saja, garis yang dilindungi, dijaga dengan ritual pemutus.
Namun yang membuat jiwanya meranggas bukan hanya gadis itu melainkan kenyataan pahit bahwa energinya bisa merasakan Koto Tuo, "Dia… menarik sesuatu yang bukan miliknya.”
Kabut berputar melingkupinya, dan shiluet bergerak mengikuti langkah tidak menginjak tanah, tidak membuat suara—hanya bayangan panjang sesekali muncul di sela-sela pepohonan.
Jarak mereka tak sampai sepuluh meter.
namun Nadira tidak pernah benar-benar menyadari bentuk penuh kehadirannya,
Bayangan itu perlahan memudar, menghapus wujudnya sepotong demi sepotong. Ketika benar-benar lenyap, tapi kata terakhirnya tersisa pelan di udara, tertanam di tanah:
“Dia… milikku.”
Udara jatuh hening—sangat sunyi menghitung detak jantung berdebar kencang. Nadira mundur setapak, dedaunan bergerak kencang, burung terbang riuh menyakitkan telinga dan aroma melati menyeruak lebih kuat dari mimpi, manis tapi menyakitkan.
Ia memejamkan mata, menggenggam baju di dada. Nama itu muncul begitu saja di bibirnya—tidak dari ingatan, tapi dari napas hutan, dari tanah yang basah itu sendiri:
“Arumi…”
\=\=\=
Ketika Nadira melewati pohon beringin besar akarnya mencengkeram tanah tangan raksasa, nalurinya terasa tertarik. Seolah jalan ini bukan pilihan… tapi undangan, entah dari siapa, entah kenapa.
Semakin kuat melangkah, , semakin kuat rasa itu seperti tali menariknya ke pusat desa.
Dan di saat itulah —di kejauhan —di balik kabut pekat yang menggantung rendah —terlihat bayangan rumah gadang pertama, koto Tuo, akhirnya.
Ia menghela napas panjang meredam rasa takut yang menggulung di tenggorokan, ia belum tahu apa yang menantinya disana, dan siapa yang menunggunya.
Namun di belakang punggung, di balik kabut……Gadis itu untuk pertama kalinya tersenyum sedih, perasaan manusia yang tidak semestinya ia rasakan - amarah, benci dan tidak siap kehilangan.
Bayangannya perlahan memudar, menghapus wujudnya sepotong demi sepotong menyisakan kalimat menggantung di udara, tertanam di tanah
“Dia… milikku.”
\=\=\=
Langkah Nadira terasa berat ketika ia mulai memasuki batas pertama Koto Tuo. Kabut tidak hanya menutup jalan di belakangnya, tetapi seperti menahan lehernya dengan tangan tak terlihat, memaksanya menoleh sekali lagi, hanya putih, putih tebal yang hidup, putih yang bukan kabut—tapi tirai,
tirai yang sengaja menutup pintu pulang.
Ia menelan ludah, menunduk, dan baru sadar… tanah yang ia injak kini berubah menjadi batu-batu licin tersusun rapi, seolah seseorang—atau sesuatu—menata jalan itu untuknya.
“Ini… jalannya mirip seperti di mimpi,” gumamnya dengan suara bergetar.
Angin datang dari sisi kanan—dingin nafas orang mati, Daun-daun meriap, ranting bergerak pelan, berbisik risau, Dia datang… dia datang…
Gadis itu merapatkan jaket semakin jauh melangkah, semakin jelas apa yang ia rasakan ; dua hal saling berlawanan, menuntunnya, lembut…dan ada yang mendorongnya pergi, kasar, cemburu.
Dan di tengah jalan berbatu itu, sesuatu muncul perlahan… selembar selendang tipis tergeletak begitu saja ditengah jalan padahal angin tidak berhembus.
\=\=\=
Raga terbangun dari tidur setengah mati. Dadanya naik-turun cepat, keringat membasahi tengkuknya, dan mimpi tadi masih menempel noda yang tidak bisa digosok:Nadira berlari ke arahnya, jalan berbatuan Dan sesosok perempuan tanpa wajah menudingnya seperti musuh.
Raga menahan rasa sakit kepala yang tak tertahankan.“Apa… apa yang terjadi padaku…?” Ia berdiri, menyingkap tirai jendela,
angin berhembus masuk membawa aroma yang ia kenal sangat baik, Melati.
Tapi kali ini berbeda wewangian lain terselip di antara — wangi sabun hotel, dan parfum perempuan.
“Apa ini… wangi dari mana datangnya…?”
Tidak lama terdengar langkah kaku di beranda.Angku mendekat, wajahnya tegang tidak seperti biasanya.“Raga—jangan keluar rumah,” ujarnya tegas.
“Tapi Angku, Raga merasa—”
“Ada dua gelombang datang bersamaan,” potong Angku. “Yang satu… sudah lama menunggumu. Dan yang satu lagi… mencari tanpa tahu bahaya apa yang sedang menanti.”
“Nadira mau sampai?”
Angku menatap jauh ke arah bukit.
“Ya. Dia sudah masuk batas kabut.”
Raga hendak berlari keluar, tapi Angku menahan mengenggaman keras lengannya.“Jangan, Nak.”
“Raga harus menyusul Nadira —dia tidak tahu apa yang terjadi Angku!”
Laki laki itu menarik napas berat. “Kalau kamu mendekat sekarang, Arumi akan keluar sebelum waktunya dan ini sangat berbahaya, kamu dan Nadira akan terseret masuk kedalam alamnya.
Raga menggigil, wajahnya terlihat pucat
“Angku… Apa sebenarnya yang ia inginkan?"
Dia menjawab pelan, penuh beban dan kejujuran pahit:“Dia tidak ingin mencelakaimu, Nak. Dia hanya tidak ingin kehilangan apa yang sudah menjadi haknya.”
\=\=\=
Nadira menunduk melihat selendang, jantung berdebar kuat, ragu ngin memungut? Atau kabur?
Tapi sebelum memutuskan—
di belakangnya terdengar suara lembut, hampir seperti nyanyian memanggil namanya
“Nadira…”
Di balik kabut, untuk pertama kalinya…
wajah Arumi terlihat jelas tidak menakutkan dan tidak menyeramkan, justru terlalu cantik sebagai manusia, kulit pucat lembut, bibir tipis, mata bening, dan rambut hitam panjang berkibar pelan.
Tetapi wajah itu retak di beberapa bagian, seperti kaca yang hampir pecah. Dia menyentuh selendang di tanah, suara lirihnya menggetarkan tulang:
“Jangan ambil jalan ini… kamu tidak akan kembali.”
Nadira mundur selangkah, “Kenapa aku tidak boleh—”
“Karena,” Arumi menatapnya dengan mata jernih penuh luka, “aku tidak ingin kamu merasakan apa yang aku alami.”
Sepotong wajahnya memudar. Angin berdenging mengunci, " Dia… tidak boleh memilih"
Langit mendadak gelap, burung-burung berhamburan dan dalam sekejap, dia lenyap, kabut kembali menutup jalan di depan—meninggalkan Nadira seorang diri,
tersesat di ambang dunia yang menolak dan menariknya sekaligus.