NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3 — Di Bawah Selimut Rahasia

​Waktu berjalan merangkak malam itu. Aku menghabiskan waktu di kamar, mencoba membaca, mencoba menonton drama, tapi setiap detik terasa seperti jarum yang menusuk. Aku terus-menerus melihat jam di ponselku, menghitung mundur waktu sampai Kak Naira tertidur.

​Pukul delapan malam, aku mendengar suara piring beradu di dapur. Raka sudah pulang.

​Aku memaksakan diri keluar, bergabung dengan mereka untuk makan malam. Suasana makan malam terasa jauh lebih kaku dibandingkan sarapan tadi pagi. Kak Naira sibuk menceritakan masalah di butiknya, sementara Raka hanya menanggapi dengan singkat, sesekali matanya tanpa sengaja (atau sengaja?) bertemu dengan mataku.

​Setiap kali mata kami bertemu, hanya ada kilatan seperseratus detik, tetapi itu cukup untuk mengirimkan listrik ke seluruh tubuhku. Tatapannya seolah berujar: Sebentar lagi.

​Aku merasa Naira mulai memperhatikan keheningan kami yang terlalu intens.

​"Kalian kenapa sih? Diam-diaman," tegur Naira sambil memicingkan mata ke arah kami berdua. "Ada masalah di kantor Mas Raka yang belum selesai, ya, Lun? Sampai kamu ikut kepikiran?"

​Aku cepat-cepat mengalihkan pandangan ke piring. "Nggak, Kak. Aku lagi sakit tenggorokan sedikit, makanya malas bicara banyak."

​"Oh, ya ampun. Mas Raka, tolong ambilkan air hangat dan madu untuk Aluna di lemari dapur," perintah Naira.

​"Iya, Sayang," jawab Raka patuh.

​Saat Raka berdiri, ia sempat menyentuh punggung kursiku, gerakan yang sangat singkat dan mungkin tidak disadari Naira. Tapi aku tahu itu disengaja. Sentuhan itu seperti kode rahasia yang membuatku sulit bernapas.

​Setelah Raka kembali dengan air madu, kami menyelesaikan makan malam dengan keheningan yang tersiksa.

​Pukul sepuluh, Kak Naira masuk ke kamarnya setelah mencuci wajah. Aku mendengar suara kunci diputar—kebiasaan Naira yang aneh sejak mereka menikah.

​Aku berbaring di tempat tidurku, tapi mataku terbuka lebar. Aku memegang ponsel, layar redupnya menerangi langit-langit kamarku.

​Pukul 22:30. Aku harus menunggu setidaknya sampai pukul 11:30 untuk memastikan Naira benar-benar tertidur pulas.

​Setiap detik penantian itu terasa seperti uji nyali. Aku membayangkan skenario terburuk: Naira terbangun, melihatku dan Raka berdua di ruang kerja, dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Hubunganku dengan Kakakku bisa hancur, dan aku akan diusir.

​Tapi bayangan tentang Raka, tentang wajah lelahnya yang jujur di ruang kerja kemarin, mengalahkan rasa takut itu. Aku ingin menjadi satu-satunya yang melihat sisi rapuh Raka.

​Pukul 23:45. Aku yakin Naira sudah tidur.

​Aku membuka chat Raka. Jantungku berdebar tak karuan, tanganku dingin.

​Aluna: Mas?

​Semenit. Dua menit. Tidak ada jawaban. Apakah dia sudah tidur? Apakah dia sudah melupakan janjinya? Rasa kecewa mulai merayap.

​Tiba-tiba, ponselku bergetar.

​Raka: Kenapa lama sekali, Lun? Aku sudah menunggumu.

​Aku mematung. Dia menungguku.

​Aluna: Maaf, Mas. Aku takut Kak Naira belum tidur.

​Raka: Dia sudah pulas. Aku di ruang tengah, sambil pura-pura baca buku. Datang ke sini pelan-pelan.

​Ruang tengah? Bukan ruang kerja. Ruang tengah lebih terbuka, lebih berbahaya. Tapi justru itu yang membuatnya terasa lebih mendebarkan.

​Aku bangkit, berjalan tanpa alas kaki. Lantai kayu dingin menusuk telapak kakiku, tapi aku tidak peduli. Aku memastikan pintu kamarku tertutup rapat.

​Lampu ruang tengah hanya dinyalakan yang paling redup. Raka duduk di sofa tunggal, matanya yang tajam menatap ke arahku datang. Ia sudah berganti pakaian menjadi kaus v-neck hitam dan celana pendek selutut. Pemandangan yang santai, namun sangat intim.

​"Sini," bisiknya pelan, sambil menunjuk sofa di seberangnya.

​Aku duduk, menjaga jarak sejauh mungkin. Bau madu dan kopi, yang pagi tadi terasa normal, kini terasa memabukkan.

​"Kenapa di sini, Mas?" tanyaku sangat pelan.

​"Di ruang kerja terlalu pengap. Dan kalau ada suara kursi ditarik, Naira bisa dengar. Di sini lebih aman," jelasnya, suaranya dalam dan tenang. "Aku yakin kamu sudah mengantisipasi hal ini."

​Aku menunduk. "Aku tidak tahu apa yang harus Mas Raka bicarakan secara pribadi."

​Raka menaruh buku yang dari tadi dipegangnya. Dia mencondongkan tubuh ke depan, siku bertumpu pada lutut. Jarak kami memang lebar, tapi tatapannya menghilangkan jarak itu.

​"Kamu ingat apa yang kutanyakan semalam?"

​"Soal... kebahagiaan?"

​"Iya. Kamu bertanya apakah aku bahagia dengan Naira. Dan aku jawab: Tidak semua orang bahagia, bahkan setelah menikah."

​Dia berhenti sejenak, membiarkan kalimat itu meresap.

​"Jujur, Aluna. Aku sudah berusaha. Aku menikahi Naira karena aku sayang, tapi... ada banyak hal yang tidak cocok setelah kami hidup bersama. Aku merasa kosong, dan Naira terlalu sibuk dengan dunianya, dia tidak pernah benar-benar melihatku."

​Raka menghela napas, gestur yang sama lelahnya dengan semalam.

​"Tapi saat aku bicara denganmu semalam, di ruang kerja yang gelap itu, entah kenapa... aku merasa dilihat. Kamu tidak menghakimiku. Kamu tidak menyuruhku untuk bersabar. Kamu hanya mendengarkan."

​Aku tidak bisa bicara. Lidahku terasa kelu.

​Raka tersenyum tipis, senyum yang kali ini tidak miris, tapi mengandung makna tersembunyi.

​"Itu yang kumaksud dengan 'hal yang lebih pribadi', Aluna. Aku ingin tahu, apakah kamu juga merasa sama sepertiku? Merasa sendirian, meskipun di tengah keramaian?"

​Pertanyaannya bukan lagi tentang pernikahannya, tapi sudah beralih sepenuhnya kepadaku, mencari ikatan emosional di antara kami.

​Aku menatapnya. Aku tahu jika aku menjawab 'ya', aku telah mengikat diriku dalam rahasia terlarang ini. Jika aku menjawab 'tidak', aku akan mengakhiri satu-satunya kesempatan yang kurasakan untuk dekat dengannya.

​Akhirnya, dengan suara nyaris berbisik, aku menjawab:

​"Iya, Mas. Kadang... aku juga merasa begitu."

​Raka menatapku, matanya yang tajam kini tampak puas, seolah ia baru saja memenangkan sebuah permainan.

​"Aku tahu," balasnya pelan. "Mulai sekarang, kita punya rahasia, Lun. Sebuah ruang aman yang hanya kita berdua yang tahu

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!