Devan kaget saat tiba-tiba seseorang masuk seenaknya ke dalam mobilnya, bahkan dengan berani duduk di pangkuannya. Ia bertekad untuk mengusir gadis itu, tapi... gadis itu tampak tidak normal. Lebih parah lagi, ciuman pertamanya malah di ambil oleh gadis aneh itu.
"Aku akan menikahi Gauri."
~ Devan Valtor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semua keluar!
Gauri masih menangis seperti tersengat listrik, tubuhnya bergetar hebat di dalam pelukan Devan. Boneka basah di tangannya meneteskan air, menodai lantai yang sudah penuh bercak. Napas gadis itu tersengal-sengal, serak, kadang terputus seperti ia kehabisan udara. Devan memeluknya semakin erat, lengan kuatnya mengunci bahu dan pinggang Gauri agar gadis itu tidak memukul dirinya sendiri lagi.
"Semua keluar! SEKARANG!" suara Devan pecah, kuat, penuh perintah yang tak terbantahkan.
Tidak ada yang berani melawan. Bahkan yang tadinya ingin mendekati Gauri langsung mundur. Sari menahan satu wanita alumni yang sudah hendak mendekat, lalu menarik semua orang keluar.
"Bram, ayo. Kita ke luar. Biar Devan dan Gino yang urus," bisik Sari tegas.
Bram mengangguk, menarik napas panjang melihat pemandangan itu, Gauri yang meraung, Devan yang menahan gadis itu, lengan dan bahunya basah oleh air dan air mata, wajahnya tegang sekali.
Pintu kolam di geser ditutup dari luar. Hanya terdengar samar suara langkah-langkah mereka yang menjauh. Lalu hening.
Kini hanya ada tiga orang di ruangan itu, Devan, Gauri, dan Gino yang berdiri tak jauh, wajahnya penuh kekhawatiran.
Gauri masih menggeliat, mencoba meraih lantai, mencoba meraih kolam, mencoba memukul badannya sendiri karena rasa takut yang begitu besar. Tangannya beberapa kali hampir mencakar wajahnya, tapi Devan menahan pergelangan gadis itu dengan sigap.
"Gauri! Hei, hei, jangan, jangan sayang, jangan…" Devan menahan kedua tangan itu ke bawah, memeluk tubuh Gauri dengan lebih kuat. Gadis itu menangis hingga suaranya pecah.
"BONEKA… mati… mati… mati lagi… jangan … jangan teng,"
"Nggak mati."
"JANGAN NINGGALIN GAURI! JANGAAAN!"
Gino memejamkan mata sejenak, tidak sanggup melihat gadis itu yang tampak begitu hancur.
"Devan, kau masih kuat, kan?"
Devan tidak menjawab, hanya mengerahkan seluruh tenaganya memegangi Gauri yang tantrumnya makin brutal. Gadis itu menendang, meronta, bahkan hampir menggigit lengannya sendiri jika Devan tidak sigap memalingkan wajahnya.
"Gauri! Sayang, lihat aku. Lihat aku!" Devan memegang kedua sisi kepala gadis itu tapi Gauri menggeleng keras-keras, menangis sambil menjerit.
"BONEKA NANTI MATI LAGI!"
"GAURI!"
Suara Devan kali ini lebih keras. Bukan marah, tapi putus asa. Gino tersentak mendengarnya. Dia dapat melihat wajah putus asa seorang Devan.
Gauri membeku setengah detik karena teriakan itu, tapi tangisnya kembali pecah lebih keras dari sebelumnya.
Gino mundur sedikit, memegangi rambutnya, tidak tahu harus berbuat apa. Devan saja kewalahan, apalagi dia.
Devan mulai kehilangan nafas. Dadanya naik turun cepat, tapi ia tidak melepaskan pelukannya sedikit pun. Gadis itu begitu kuat, begitu panik, ketakutan hampir membuatnya tidak bisa dikendalikan.
"Gauri, denger aku, denger kakak," bisik Devan dekat telinganya, napasnya gemetar.
"Kakak di sini… nggak akan pergi, bonekanya juga nggak pergi … semuanya selamat. Kamu selamat… kamu aman … sama kakak,"
Tidak ada reaksi. Gauri tetap menjerit dan memukul lantai dengan tangan yang masih terjepit dalam genggaman Devan.
Devan memejamkan matanya, menguatkan diri. Lalu ia mencondongkan tubuhnya ke telinga Gauri, suaranya turun menjadi sangat pelan, sangat lembut.
Kalimat yang tidak ada seorang pun di ruangan itu selain Gauri yang mendengarnya. Dan begitu kata-kata itu keluar…
Tantrum Gauri mulai mereda.
Secara perlahan. Tidak langsung berhenti, tapi suaranya menurun. Tangan yang meronta melemah. Napasnya masih sesenggukan, tapi tidak lagi tersengal histeris.
"Tenang… begitu, bagus… bagus, kakak di sini."
Devan mengusap punggung gadis itu berkali-kali. Gauri terisak, lalu akhirnya tubuhnya melemah sepenuhnya. Seperti boneka kain yang kehilangan semua tenaganya. Devan memeluknya erat-erat, memindahkan posisi agar Gauri bersandar nyaman di dadanya.
Gauri perlahan berbalik, wajahnya yang penuh air mata menempel di dada Devan. Ia menggenggam kaus Devan erat sekali, seperti takut dilepas lagi.
Melihat itu, Gino menghembuskan napas lega panjang.
"Akhirnya …"
Devan memandang Gino sambil mengelus rambut Gauri, masih tanpa melepaskan pelukan.
"Aku akan membawanya ke kamar."
Gino mengangguk cepat.
Devan mengangkat tubuh Gauri perlahan, menggendongnya dengan hati-hati, seolah gadis itu rapuh sekali. Gauri tidak protes. Tidak menolak. Tidak meronta. Ia hanya memeluk Devan, wajahnya terkubur di dada pria itu, boneka basah tetap di satu tangan, tidak mau dilepas.
Gino membuka pintu dan berjalan di depan, memastikan tidak ada orang yang melihat. Rombongan alumni sudah kembali ke luar ruangan kolam, menjauh, sebagian kembali sibuk mempersiapkan barbeque.
Devan membawa Gauri ke salah satu kamar tamu villa. Begitu masuk, ia meletakkan gadis itu di kasur, namun Gauri langsung menggenggam lengan Devan.
"Jangan pergi …"
Suara itu begitu lirih sampai membuat hati Devan runtuh.
"Kakak nggak pergi," jawab Devan lembut.
Gino berdiri di pintu.
"Aku panggil Sari, ya? Biar gantiin bajunya."
Begitu mendengar nama orang lain, Gauri langsung menggeleng keras, matanya melebar panik.
"NGGAK!! Nggak mau!! Nggak mau orang lain!!"
Devan langsung menepuk bahu Gauri pelan.
"Oke, oke… tenang… tenang. Nggak ada orang lain."
Gino mendekat sedikit.
"Sari cuma bantu ..."
"NGGAAAAK!!" jerit Gauri, wajahnya langsung tegang dan menangis lagi.
Devan mengangkat tangan ke arah Gino.
"Kau keluar dulu. Biar aku saja."
Gino mengunci mulutnya.
"Oke. Tapi… kau yakin kuat?"
Devan mengangguk. Semalam juga dia malah membantu Gauri mandi.
"Kalau gitu aku panggil Sari ke sini, tapi dia nggak masuk. Dia tunggu di luar, cuma supaya gak ada gosip lain."
Devan mengangguk. Dari semua mantan teman kelas mereka, memang Sari yang paling bisa di percaya.
Sari datang beberapa menit kemudian setelah di telepon Gino, begitu melihat Gauri memeluk Devan erat-erat dan tidak mau melihat orang lain, ia langsung mengangguk paham.
"Aku tunggu di luar. Kalau butuh apa-apa panggil," kata Sari lembut.
Devan mengangguk sopan.
"Makasih, Sari."
Mereka menutup pintu, meninggalkan Devan dan Gauri di dalam.
Devan duduk di sisi kasur, mencoba menarik selimut agar Gauri hangat. Namun gadis itu justru memegangi kausnya.
"Ganti baju dulu ya," bujuk Devan pelan.
Ia duduk lebih dekat dan mengusap pipinya.
"Kakak bantu, ya?"
Gauri mengangguk kecil, wajahnya menunduk. Devan menelan ludah. Ia tidak ingin membuat Gauri merasa tidak nyaman atau takut, jadi ia bergerak pelan-pelan, penuh kehati-hatian. Ia mengambil handuk, lalu membantu melepas baju basah Gauri, memastikan gadis itu tetap tertutup dengan selimut dan tidak merasa terancam. Gauri patuh, hanya sesekali mengusap air matanya, masih syok tapi tidak tantrum lagi.
Setelah pakaian bersih terpasang, Devan mengeringkan rambut Gauri dengan handuk kecil. Gadis itu diam, hanya memandangi boneka yang kini tergeletak di pangkuannya.
"Kakak, boneka nggak mati, kan?" suaranya kecil sekali.
Devan tersenyum lemah, mengelus rambutnya.
"Nggak. Dia cuma basah. Nanti kita keringin bareng, ya?"
Gauri mengangguk. Di luar kamar, Gino dan Sari berdiri berdampingan.
"Sar, jangan gosipin Devan yang gantiin baju Gauri ya."
Sari menatap pintu kamar, lalu mengangguk.
"Aku tahu kamu panggil aku ke sini buat apa. Tenang saja, dari dulu kau juga sudah tahu aku bukan tukang gosip kan?"
Gino tertawa kecil.
"Nanti aku kirim foto baru Agam." katanya. Tahu benar apa yang Sari suka. Lihat saja, matanya langsung bersinar.
"Beneran? Awas nggak ya!"
"Tenang bos. Kamu nggak akan rugi berbisnis denganku."
Mereka berdua tertawa kecil. Sangat kecil, takut mengganggu Gauri di dalam. Lalu Gino mulai cerita kenapa Gauri bisa sakit begitu. Dan Sari tertegun. Merasa kasihan, ikut sedih dengan apa yang di alami Gauri, juga Agam. Ternyata tunangan Agam yang meninggal itu, adalah kakak kandungnya Gauri.
Sari pernah galau berat waktu dengar Agam akan nikah sama tunangannya, tapi juga pernah mendoakan kebahagiaan pria itu setelah menikah. Siapa yang tahu akan terjadi masalah seperti ini.
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
MENDING INSAF DAN HILANGIN AMBISIMU WAT MILIKI DEVAN.DEVANYA AJA G MAU MA ELOH...
Apa mereka kecelakaannya tenggelam ya.
Sari - curiga sama Diana. Apa lagi Sari mendapat video dari ponsel Bram - Diana masuk ke area kolam - di jam yang sama ketika Gauri jatoh ke kolam. Semakin layak dan pantas dicurigai.
Bukan hanya tidak melihat Gauri jatoh, Sari... Tapi Diana yang mendorong - gitu lho Sari 😁
Devan.... kemarahanmu kek apa ini nanti ??? Bayangin dululah 🤔
kudu kau rasa nya