NovelToon NovelToon
MENIKAHI ANAK BOS ANEH

MENIKAHI ANAK BOS ANEH

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Tri 2001

Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam Pertama yang Bergetar

Malam itu, langit di atas rumah keluarga Rara sudah sunyi.

Hujan baru saja berhenti, menyisakan aroma tanah basah yang menenangkan.

Di dalam kamar pengantin yang sederhana tapi manis—tirai putih, bunga plastik di meja, dan lampu redup dari bohlam kuning—suasana malah jadi kikuk luar biasa.

Rara duduk di tepi ranjang, masih mengenakan daster baru hadiah dari Bu Neneng yaitu ibunya.

Wajahnya sudah dibersihkan dari riasan, tapi sisa lipstik samar masih kelihatan.

Tangannya main-main dengan ujung selimut, sementara jantungnya berdebar kencang.

Dari luar kamar, suara sandal berseret-seret terdengar.

Rara langsung menoleh ke pintu.

“Mas Bol… iku kamu ta?” tanyanya agak gemetar.

“Iyo, Ra… aku. Boleh mlebu?”

“Lha yo boleh, Mas. Kamare wes kamare kowe saiki.”

Pintu terbuka pelan.

Arifbol muncul dengan kaos putih polos dan sarung batik. Rambutnya sedikit acak-acakan, wajahnya kelihatan kaku, kayak lagi nahan sesuatu antara grogi dan takut salah.

Dia berdiri di ambang pintu agak lama sebelum akhirnya melangkah masuk.

“Kowe turu endi?” tanya Arifbol polos.

“Yo kene, Mas. Wong iki kamar kita.”

“Oh… ngono yo. Aku kiro aku turu ngisor.”

“Mas iki lho… isone ngomong sing aneh wae!” Rara cengengesan, tapi pipinya memanas.

Mereka berdua duduk bersisian di tepi ranjang.

Hening.

Cuma suara kipas angin muter pelan di pojok kamar.

Arifbol melirik ke arah Rara, lalu buru-buru menunduk.

Rara pun sama—kadang melirik, kadang pura-pura betulin dasternya yang padahal udah rapi.

“Mas…” panggil Rara lirih.

“Yo?”

“Kowe grogi yo?”

“Hehehe… yo dikit. Iki pertama kaline aku turu bareng… karo bojo.”

Rara menunduk, senyum malu-malu.

“Aku yo grogi, Mas.”

“Ra…”

“Hmm?”

“Aku iso jujur ora?”

“Yo iso lah.”

“Aku seneng banget, tapi rasane… aneh. Campur aduk.”

“Yo wajar, Mas. Wong aku yo ngrasakne.”

Suasana makin cair.

Mereka akhirnya bisa ketawa bareng, meskipun masih canggung.

Arifbol lalu bersandar di dinding, terlihat lebih tenang.

Rara ikut nyender di sisi lain, memandangi suaminya yang tampan dalam kesederhanaannya.

“Mas…”

“Yo, Ra?”

“Aku ora nyangka, saiki aku sah dadi bojomu.”

“Aku yo ora nyangka, Ra. Gusti Allah sing atur. Aku pengin jaga kowe sak kuat-kuatku.”

Ucapan itu membuat dada Rara hangat.

Ia tersenyum, menatap Arifbol dalam diam.

Tapi beberapa detik kemudian, sesuatu terasa janggal.

Wajah Arifbol tiba-tiba menegang.

Kedua tangannya gemetar halus.

“Mas…?” Rara menegur pelan.

Arifbol tak menjawab. Napasnya berubah cepat. Matanya mulai melirik-lirik kosong.

“Mas! Mas Arifbol! Kowe nangpo, Mas?”

“Ra…” suaranya serak, sebelum tiba-tiba tubuhnya kaku.

Rara langsung panik.

“Ya Allah, Mas! Mas! Astaghfirullah…”

Tubuh Arifbol jatuh ke sisi ranjang, matanya melotot kosong, rahangnya menegang.

Rara sigap menahan kepalanya agar tidak terbentur.

Tangannya gemetar, tapi pikirannya langsung jalan — ia ingat pesan Bu Wiji dulu:

“Nek Mas Bol kejang, ojo panik. Jaga kepalanya, longgarke bajune, tunggu nganti reda.”

“Mas… Mas, tenang, ya. Aku neng kene, Mas… Aku neng kene…” Rara menahan air mata sambil menopang kepala suaminya di pangkuan.

Tubuh Arifbol makin bergetar hebat.

Rara menatapnya tak berkedip, berusaha menahan diri agar tak histeris.

“Ya Allah, tolong Mas Bol… tolong Mas Bol…”

Detik terasa lama.

Peluh mulai membasahi pelipis Rara. Ia buka kancing atas kaos Arifbol biar napasnya lega, lalu dengan lembut menahan tangannya supaya tidak membentur ranjang.

Air mata menetes ke wajah Arifbol.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, getaran tubuh itu perlahan reda.

Kepala Arifbol terkulai di pangkuan Rara, napasnya mulai teratur kembali, matanya terpejam.

“Mas… wes tenang, yo? Ya Allah…” Rara menyeka air matanya.

Dia menatap wajah suaminya lama, masih takut kalau kejangnya balik lagi.

Rara menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

“Mas, nek kowe iso denger aku, kowe kudu ngerti, aku ora ninggal kowe. Aku neng kene, Mas.”

Ia duduk di lantai sambil masih mengelus kepala Arifbol yang kini tenang di pangkuannya.

Suara kipas angin masih muter pelan, tapi di kamar itu hanya ada detak jantung Rara yang masih kencang.

Hujan di luar mulai turun lagi, menetes pelan di atap seng.

Rara menatap langit-langit, menahan tangis yang hampir pecah.

Bukan karena kecewa, tapi karena takut kehilangan.

“Mas Bol… nek iki ujian pertama kita, aku bakal kuat. Aku kudu kuat…”

Ia menarik selimut, menutup tubuh Arifbol dengan lembut, lalu tetap duduk di sisi ranjang, menunggu sampai benar-benar yakin suaminya aman.

Matanya pelan-pelan terpejam karena lelah, tapi tangannya masih menggenggam tangan Arifbol erat—tak mau lepas.

Pagi itu, matahari baru nongol dari balik genteng rumah.

Udara masih dingin, ayam-ayam baru mulai berkokok.

Rara duduk di ruang tengah sambil menunduk, wajahnya pucat, mata sembab, dan rambutnya masih acak-acakan.

Di hadapannya sudah duduk Bu Neneng dan Bu Wiji, dua-duanya dengan ekspresi campur aduk antara khawatir dan penasaran.

“Lho, Ra… kowe ki kenapa to, kok jek isuk wes murung ngono?” tanya Bu Neneng sambil nyeruput teh.

“Iya, Ra,” sambung Bu Wiji pelan. “Mas Bol ora gelem sarapan?”

Rara menunduk makin dalam. Tangannya mainan ujung dasternya.

Suasana jadi hening. Sampai akhirnya Rara bersuara pelan—nyaris kayak bisikan.

“Malam tadi, Bu… Mas Arifbol… kejang.”

Dua wanita di depannya langsung kaget hampir bareng.

“Hah? Kejang maneh?” teriak Bu Wiji setengah berdiri.

“Astaghfirullah! Kok iso to, Ra?” Bu Neneng langsung naruh cangkir.

Rara langsung panik, mengangkat kedua tangannya.

“Ssssst, pelan, Bu… engko Mas Bol krungu, malah isin…”

Bu Wiji buru-buru duduk lagi, tapi wajahnya kelihatan shock.

“Ceritakno, Ra. Kejange piye? Parah ora?”

Rara menelan ludah, lalu mulai bercerita dengan lirih tapi jelas.

“Awalnya Mas Bol ngomong lembut banget, Bu. Ngomong pengin jaga aku selamanya. Aku yo nangis, seneng banget… Tapi ndadak tangane gemeter, terus awak e tegang, terus tibo neng ranjang, matane melotot…”

“Astaghfirullah…” desah Bu Wiji lirih, langsung megang dada.

“Aku panik, Bu, tapi aku kelingan pesen panjenengan. Aku jaga kepalane, aku longgarke benek e ben napase lancar… tak enteni sampek tenang.”

“Trus saiki piye?” tanya Bu Neneng khawatir.

“Wes tenang, Bu. Saiki isih turu. Tapi aku ra tega… sewengi aku ora turu, Bu. Aku jaga terus.”

Air mata Rara akhirnya jatuh lagi. Ia usap cepat-cepat.

“Aku ora nyangka, malam pertama kok dadi ngono…”

Bu Neneng mendesah panjang, menatap Bu Wiji.

“Kasihan ya, Bu… wong lagi penganten anyar…”

Bu Wiji mengangguk pelan.

“Iki ujian, Ra. Gusti Allah pengin ngukur sabar lan tulusmu. Tapi aku bangga karo kowe, nak. Kowe sigap, ora panik, iso ngelakoni sing bener.”

Rara ngelap air matanya, mencoba tersenyum.

“Aku mung nindakake sing aku biso, Bu. Aku mung pengin Mas Bol ora kenapa-kenapa. Aku ora peduli soal malam pertama, sing penting Mas Bol slamet.”

Ucapan itu bikin Bu Wiji menatap Rara lama. Ada sesuatu di matanya — antara haru dan rasa hormat.

“Kowe kuwi istri sejati, Ra. Bukan soal malam pertama, tapi soal tetep ana waktu suami butuh. Aku ora salah pilih mantu.”

Rara menunduk, tapi kali ini senyum kecil muncul di bibirnya.

“Matur nuwun, Bu. Aku bakal jaga Mas Bol sak kuat-kuatku.”

Di dapur, Bu Neneng diam-diam menyiapkan teh hangat buat Rara. Tapi suaranya masih nyeletuk dengan gaya khasnya yang bikin suasana jadi gak terlalu tegang.

“Ya Allah, Bu, baru semalem nikah kok langsung ‘getar-getar’ to. Aku kiro getar-getar bahagia, ternyata kejang beneran!”

Rara spontan nutup wajahnya sambil ketawa nangis.

“Ibu iki, lho… iso ae…”

Bu Wiji ikut tertawa kecil, meski air matanya masih menetes sedikit.

Suasana perlahan mencair.

Tak lama, suara langkah dari kamar terdengar.

Arifbol muncul, wajahnya masih pucat, tapi sudah bisa jalan sendiri.

Dia berdiri di ambang pintu, menggaruk kepala, menatap tiga wanita di depannya.

“Lho, kok podho ngiwasi aku ngono?”

“Mas…” Rara bangkit, menghampiri suaminya pelan. “Kowe piye rasane saiki?”

“Alhamdulillah… mung ngelu dikit.”

“Yo wes, sing penting wes baikan. Tapi ojo mikir aneh-aneh sek yo, Mas.” kata Bu Neneng cepat.

“Hehehe… yo ora, Bu,” jawab Arifbol malu-malu.

“Aku ngerti aku nyusahke wong-wong, sepurane yo, Ra…”

Rara langsung nyentuh lengannya lembut.

“Ora usah ngomong ngono, Mas. Aku wes janji, nek kowe sakit, aku tetep kene. Sampe kapanpun.”

Arifbol menatapnya lama, lalu tersenyum pelan.

“Aku beruntung nduwe kowe, Ra…”

Rara menunduk, air matanya jatuh lagi—kali ini bukan karena takut, tapi karena bahagia.

Sementara dari dapur, Bu Neneng berbisik ke Bu Wiji pelan:

“Bu, aku yakin, malam pertama mereka emang gagal… tapi cinta mereka sukses total.”

Bu Wiji menahan senyum sambil menatap keduanya yang kini duduk bersebelahan di ruang tengah.

Cinta yang diuji sejak awal, tapi tumbuh makin kuat setiap kali badai datang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!