Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#34
[MALAM HARI – RESEPSI PERNIKAHAN]
Lampu-lampu gantung di ballroom menyala indah, menciptakan suasana mewah dan romantis. Musik lembut mengiringi langkah tamu yang berdatangan. Meja-meja bundar tertata rapi dengan taplak emas dan hiasan bunga putih. Aura dan Fahri kini tampil memukau di atas pelaminan, bak raja dan ratu yang auranya terpancar di wajah keduanya, tersenyum bahagia menyambut ucapan selamat dari tamu.
Naysila tampak anggun mengenakan gaun berwarna mint lembut dengan detail renda halus. Ia juga mengenakan jilbab senada untuk melengkapi penampilannya. Di sampingnya, Alden tampil gagah dengan jas abu muda yang senada.
Seperti biasa, Alden mengulurkan tangan untuk di gandeng oleh istrinya. Naysila pun menerima uluran tangan itu, mereka berjalan diantara para tamu dengan bergandengan tangan mesra.
Om Roman datang menghampiri, wajahnya terlihat sangat ceria.
"Nay, Al, Om kira kalian gak akan datang di acara malam ini. Tadi kalian langsung kembali ke hotel, pasti capek sekali."
Alden tersenyum dan menjawab, "Maaf, Om. Tadi kami memang capek, makanya balik ke hotel lebih dulu sebelum acara selesai. Maaf ya, gak bermaksud untuk menghindari acara."
"Ah, tidak apa-apa, Al, Om mengerti. Oh iya, kalian mau ikut mengisi acara malam ini? Misalnya nyanyi berdua atau dansa dengan yang lain?"
Naysila dan Alden saling tatap sebentar lalu kemudian mereka menggelengkan kepala kompak.
"Aku gak biasa, Om, apalagi Naysila. Mungkin, kita datang cuma untuk menikmati acara saja," jawab Alden.
"Tidak apa-apa. Om senang kalian hadir, setidaknya Aura bisa mencontoh hubungan harmonis kalian untuk bekal rumah tangganya," sahut Om roman tulus.
Seketika, Alden dan Naysila terdiam. Om Roman benar-benar tak tahu bahwa hubungan mereka sudah berada diujung tanduk.
"Naysila! Alden!"
Tiba-tiba saja suara itu mengejutkan keduanya. Mereka menoleh ke asal suara, Bu Tamara melambaikan tangan dari salah satu meja di pojok ruangan. Ia meminta mereka untuk datang padanya.
Alden dan Naysila permisi pada Om Roman untuk bergabung dengan Bu Tamara dan Pak Haldy.
Mereka pun duduk bersama dengan orang tua Alden. Bu Tamara terlihat anggun dengan gaun mewah dan rambut di sanggul elegannya, sementara Pak Haldy terlihat berwibawa dalam setelan formal yang serasi dengan istrinya.
"Naysila, kamu cantik sekali," puji Bu Tamara. "Penampilan kamu selalu sederhana, namun tidak bisa menyembunyikan kecantikan kamu yang sempurna."
Naysila tersipu malu. "Ibu bisa saja. Ibu juga sangat cantik malam ini, anggun sekali."
Bu Tamara jadi tersipu malu sambil terkekeh pelan.
Bu Tamara masih tertawa kecil saat pelayan datang menghampiri meja mereka, menaruh minuman segar dan beberapa hidangan pembuka. Suasana di sekitar meja keluarga itu terasa akrab dan hangat. Dari kejauhan, suara musik lembut dari band pengiring terus mengalun, berpadu dengan tawa para tamu yang menikmati malam resepsi.
Alden duduk sedikit lebih tegak, lalu menatap kedua orang tuanya.
"Ibu, Ayah," ujarnya tenang, "besok kita pulang jam berapa ke Jakarta?"
Pak Haldy yang sedari tadi menikmati hidangan kecil di depannya, mengangkat pandangan. "Kita ambil penerbangan siang, sekitar jam dua belas lewat tiga puluh. Supaya bisa istirahat cukup dulu setelah acara panjang malam ini."
"Benar," timpal Bu Tamara sambil mengangguk. "Ibu sudah minta resepsionis bantu pesan mobil ke bandara sekitar jam sepuluh pagi. Jadi, kalian gak usah buru-buru bangun terlalu pagi. Nikmati saja sarapan di hotel dulu."
Alden mengangguk. "Baik, Bu. Nanti aku pastikan semua koper sudah beres sebelum sarapan."
Bu Tamara tersenyum puas, lalu menatap menantunya. "Naysila, kamu juga istirahat yang cukup malam ini, ya. Wajah kamu kelihatan agak lelah tadi siang."
Naysila tersenyum lembut. "Iya, Bu. Nanti setelah acara ini selesai, aku langsung beres-beres dan tidur. Besok pagi siap-siap pulang."
Pak Haldy menambahkan sambil tersenyum tipis, "Jangan lupa sarapan, Naysila. Hotel ini punya menu khas Medan yang enak, kamu pasti suka."
"Iya, Yah Saya. Besok aku akan coba," jawab Naysila, kali ini suaranya terdengar lebih santai.
"Nay, terima kasih banyak ya. Ibu senang kamu bisa ikut kami kali ini. Keluarga besar di Medan jadi bisa kenal kamu lebih dekat," ujar Bu Tamara tulus.
"Terima kasih banyak juga karena Ibu dan Ayah mengajakku ikut," ujar Naysila tulus. "Aku juga senang bisa ikut. Aku jadi bisa melihat Aura dan Fahri menjadi pengantin yang bahagia."
"Alhamdulillah, ya," sahut Bu Tamara, menatap ke arah pelaminan dengan ekspresi teduh. "Semoga kebahagiaan mereka menular juga ke kalian berdua."
Ucapan itu membuat Alden dan Naysila saling melirik singkat, tanpa banyak kata, tapi cukup untuk membuat keduanya merasa sedikit canggung.
Untuk mengubah suasana, Bu Tamara berdiri sejenak. "Ibu ambilkan jus dulu, ya. Kalian pasti haus."
Naysila dan Alden hanya mengangguk. Bu Tamara pergi dari hadapan mereka, sementara Alden dan Naysila terlihat begitu canggung sekarang.
Beberapa menit kemudian, Bu Tamara kembali sambil membawa dua gelas jus jeruk dingin di tangannya. Ia meletakkan satu di depan Alden dan satu lagi di depan Naysila.
"Nih, biar segar. Ibu sengaja pilih jus jeruk, biar kalian gak ngantuk sebelum acara selesai."
"Terima kasih, Bu," kata Naysila sambil menerima gelas itu dengan senyum kecil.
Alden juga mengangguk sopan. "Makasih, Bu."
"Minum pelan-pelan saja, ya," pesan Bu Tamara sambil duduk kembali di kursinya.
"Iya, Bu," jawab Alden pelan.
Naysila dan Alden mulai meminum jus yang diberikan oleh Bu Tamara. Mereka menikmati setiap tegukan dari minuman segar itu, tanpa merasa curiga sedikitpun.
Bu Tamara tersenyum melihat anak dan menantunya meminum jus yang ia berikan, sedangkan Pak Haldy geleng-geleng kepala karena tahu apa yang sebenarnya sedang dilakukan sang istri.
Suasana di meja itu terasa hangat. Mereka berbincang ringan tentang perjalanan pulang besok, oleh-oleh khas Medan yang ingin dibawa, dan rencana kunjungan keluarga berikutnya.
Namun, di tengah-tengah obrolan itu, Naysila merasakan sesuatu yang tak nyaman di tubuhnya. Ia merasa tubuhnya tiba-tiba panas dari dalam, jantungnya berdebar dan ia merasa sedikit limbung. Naysila mulai gelisah, tak nyaman dengan posisi duduknya sendiri.
Bu Tamara menyadari perubahan pada Naysila, bibirnya mengulas senyum miring melihat itu.
"Nay, kamu kenapa, Nak?" tanya Bu Tamara, pura-pura cemas.
Naysila menggeleng. "Aku gak tahu, Bu. Tapi... rasanya gak nyaman," ucap Naysila lirih.
Alden yang duduk di sebelahnya langsung menoleh dengan wajah cemas. "Kamu kenapa, Nay? Wajahmu memerah."
Naysila mencoba tersenyum, tapi gagal. Wajahnya memerah dan ia semakin terlihat gelisah. Melihat Alden cemas padanya, malah membuat Naysila ingin lebih dekat dengan pria itu.
Napasnya mulai tersengal, dan matanya terlihat sayu. "Aku nggak tahu, Mas… rasanya aneh banget. Badanku rasanya panas dari dalam. "
Bu Tamara menatap keduanya, ekspresinya seolah panik. "Ya Allah, mungkin Naysila kecapekan. Dari pagi lumayan sibuk, belum sempat istirahat lama."
Pak Haldy melirik istrinya sekilas, tapi diam. "Alden, sebaiknya kamu antar istrimu ke kamar. Nanti biar Ibu yang pamitkan ke keluarga besar."
"Iya, Yah," jawab Alden cepat, lalu berdiri dan membantu Naysila bangun. "Ayo, Nay. Pegangan padaku, ya."
Naysila mengangguk. Ia meraih tangan suaminya dan Alden menuntunnya lembut.
Langkah Naysila goyah. Tubuhnya terasa semakin melayang, dan terasa terbakar karena panas si tubuhnya seolah semakin tinggi. Naysila merasa ingin melepas pakaiannya untuk menghindari panas tersebut.
"Mas… maaf, aku malah nyusahin," ucapnya pelan dengan suara bergetar.
"Jangan ngomong gitu. Kamu sakit, Nay. Pelan-pelan saja," kata Alden lembut sambil menggandengnya keluar dari ballroom.
Beberapa tamu sempat menoleh ke arah mereka, tapi hanya berbisik pelan tanpa terlalu memperhatikan. Alden terus menuntun Naysila menyusuri lorong panjang hotel menuju lift dan mereka pun masuk ke dalam lift, menekan tombol lantai kamar mereka.
Selama itu pula, Naysila tak mau lepas dari Alden, ia bahkan merapatkan tubuhnya pada pria itu, membuat Alden bingung sendiri.
_
Begitu sampai di depan kamar, Alden membawa Naysila masuk dan mendudukkan istrinya di tepi ranjang. "Kamu tenang dulu," ujarnya sambil melepas jas dan mengambil segelas air dari meja.
Ia memberikan air itu pada Naysila. Naysila meneguknya cepat seolah benar-benar kehausan.
"Kamu harus tidur, Nay. Kamu kayaknya terlalu capek. Aku akan kembali ke bawah," ujar Alden.
Naysila menggeleng cepat dan meraih tangan Alden. "Jangan, jangan tinggalin aku, Mas. Tetaplah di sini, aku butuh kamu."
Alden semakin tak mengerti, namun ia duduk di sebelahnya, menatap wajah yang memerah itu dengan khawatir. "Mau aku panggil dokter hotel?"
"Jangan, Mas… aku cuma butuh kamu saja."
Alden semakin tak mengerti. Tapi sebelum ia berpikir lebih jauh, Naysila tiba-tiba saja melepaskan jilbabnya dan mengipasi dirinya sendiri seolah-olah udara di dalam kamar terasa panas.
"Nay, tapi gak gerah sama sekali malam ini," ucap Alden.
Naysila menoleh padanya dan meraih tangan Alden, menggenggamnya erat. "Aku gak tahu, Mas. Tubuhku rasanya panas dan rasanya... aku gak mau jauh dari kamu."
Alden menatap mata sayu istrinya. Ada rasa kasihan tapi ia sendiri kebingungan.
Naysila tiba-tiba menyentuh tengkuknya sendiri dan mendesah pelan. Alden terkejut, reaksi Naysila begitu aneh, wanita itu seperti sedang mendapatkan rangsangan.
"Nay, kamu kenapa..."
Belum sempat Alden menuntaskan pertanyaannya, Naysila tiba-tiba memeluknya dan menangis pelan. "Tolong aku, Mas... Aku kenapa..."
Alden merasakan tubuh Naysila dikuasai oleh nafsu yang membara, gestur tubuh Naysila benar-benar berbeda dari normalnya. Alden baru memahami, Naysila sedang dalam pengaruh rangsangan yang kuat.
Meski demikian, Naysila tetap menangis, terisak-isak karena bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Alden melepas pelukan Naysila dan menatap mata gadis itu. Tatapan Naysila seolah meminta tolong padanya.
"Nay... apa kamu bisa tenang?"
Naysila menggeleng, suaranya bergetar. "Gak bisa, Mas. Aku... aku butuh sesuatu yang bisa menuntaskan rasa aneh dalam diriku ini, seolah-olah hasratku bergejolak dan butuh pelampiasan."
Dengan ragu Alden bertanya lagi, "Apa aku bisa membantumu?"
Naysila mengangguk, air matanya berlinang. "Mungkin hanya kamu yang bisa membantuku, Mas..."
Alden menatap mata Naysila lebih lama. Ia mengusap air matanya dengan jari tangannya.
Perlahan, Alden menyentuh wajah Naysila dan mengusapnya lembut. Alden lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Naysila.
"Kamu yakin?" tanya Alden pelan.
Naysila hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tahu, tak ada cara lain untuk menghentikan apa yang dirasakannya selain melampiaskannya pada orang yang tepat.
"Baiklah," ucap Alden. "Aku minta maaf sebelumnya. Aku gak bermaksud mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi... aku juga kasihan sama kamu."
Naysila mengangguk lagi. Dia benar-benar pasrah.
Alden membelai wajah Naysila lalu perlahan mendekatkan bibirnya ke pipi Naysila dan mencium gadis itu untuk pertama kalinya. Naysila ingin menolak, tapi tubuhnya benar-benar tak bisa menerima penolakan sekecil apapun. Ciuman pertama dari suaminya akhirnya ia terima, walaupun sebenarnya ia sendiri tak benar-benar menginginkannya.
Alden kembali menatapnya seolah ragu, namun Naysila mengangguk lagi dengan tatapan memohon. Alden memberanikan diri mendaratkan ciuman di bibirnya, Naysila terkejut dengan ciuman dari suaminya. Namun, perlahan ia menerimanya dan membalas ciuman Alden.
Alden merasa dirinya pun menginginkan Naysila, tangannya meremas rambut Naysila lembut dan tak ingin melepaskan tautan mereka.
Alden semakin mendekat pada Naysila, ia menarik Naysila masuk ke dalam pelukannya. Perlahan, Alden membaringkan Naysila lalu menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami.
Naysila dan Alden tak pernah menyangka, malam ini akan menjadi sebuah malam yang bersejarah dalam hubungan mereka. Malam pertama yang dulu sempat Naysila kira tak akan pernah terjadi, justru terjadi lewat sesuatu yang tak pernah mereka duga.
Kini, mereka benar-benar menyatu. Naysila dan Alden melewati malam indah mereka di saat semua orang masih sibuk dengan pesta yang digelar mewah di ballroom hotel itu.
Apakah setelah ini mereka akan kembali bersama, atau menimbulkan kecanggungan yang lebih kuat dari sebelumnya?
*****