NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / CEO / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:39.9k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

JADI PEMBANTU

Sinar remang dari lampu neon tua yang berkedip-kedip menggantung di langit-langit ruang bawah tanah. Udara lembap, berbau karat besi dan darah lama, membuat tenggorokan Angel terasa kering. Gelisah, ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali tempat asing itu. Tubuhnya berat. Kedua tangannya diikat ke belakang, kaki dirantai ke kaki kursi besi yang menancap di lantai dingin.

"AARGGHH!!! Siapa yang berani lakuin ini?!"

Detik berikutnya, langkah kaki bergema. Sepatu kulit mahal menyentuh lantai semen kasar dengan nada teratur dan penuh wibawa. Angel mendongak perlahan, dan matanya membelalak.

"Daddy?" suaranya serak, tak percaya.

Sosok pria tinggi dengan setelan jas hitam yang elegan kini berdiri tepat di hadapannya. Wajah tampan, berjambang itu dihiasi garis-garis usia dan tatapan tajam dingin yang dulu begitu ia segani. Alberto.

"Apa yang Daddy lakukan? Kau menyekap anakmu sendiri, Dad? Apa-apaan ini?!" Angel menjerit, tubuhnya meronta, membentuk bunyi berderit dari rantai besi yang bergesekan.

Beberapa pria bersenjata berdiri di belakang ayahnya. Mereka mengenakan masker, tetapi Angel tahu persis, mereka adalah anak buah loyal Alberto yang sering mengurus "urusan kotor" keluarga mereka.

Alberto menarik napas pelan. Ia berjalan mendekat, menatap Angel lekat-lekat.

"Kau berbahaya, Sayang," ucapnya datar namun tegas. "Kau sudah membuatku rugi banyak. Hanya karena ambisi dan dendammu, kau hampir membuat bisnis kita celaka. Polisi mulai mencium aktivitas kita, dan beberapa markas sudah disergap."

Angel terdiam. Rasa bersalah sempat menyelinap, tapi lebih cepat tenggelam oleh amarahnya.

"Aku hanya ingin balas dendam pada orang yang menghancurkanku, Dad!"

"Dan karena itu, Daddy terbang dari Italia semalam, menyuruh pengawal membawamu ke sini. Kau sekarang buron, Angel. PRIA KEPERCAYAANMU BERKHIANAT!"

Angel membeku. Wajahnya mengeras. "Si-siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan Yudha," sahut Alberto. "Dia sudah angkat bicara. Harusnya aku menghabisinya waktu itu. Kau terlalu percaya padanya!"

Darah Angel mendidih. Tubuhnya gemetar oleh emosi. Ia menunduk, lalu mengangkat kepalanya dengan tatapan membara. "Lepaskan aku, Dad! Aku akan urus pengkhianat itu sendiri!"

Alberto mengangkat tangan, memberi sinyal pada anak buahnya untuk mendekat. "Jangan lepaskan dia. Kalau dia marah dan tidak diikat, dia bisa membunuh satu ruangan ini tanpa berkedip."

"DADDY!!!"

Angel berteriak keras. Air mata menggenang di

Pelupuk matanya. Tapi itu bukan air mata kelemahan. Itu adalah air mata kebencian, kegagalan, dan amarah yang membatu.

"Kau harus belajar mengendalikan diri," ujar Alberto dengan suara lebih lembut. "Sudah berapa orang yang kau habisi sendiri, tanpa rencana, tanpa izin? Daddy kehabisan tenaga membersihkan jejakmu."

Angel menarik napas cepat, menahan gemuruh di dadanya.

"Sekarang, ikutlah bersamaku. Kita akan bersembunyi dulu. Di sana kau aman. Di sini, dunia mencarimu. Polisi, mafia, bahkan orang-orang yang dulu kita bayar untuk bungkam, kini menjual informasi demi keselamatan mereka sendiri."

"Tapi, Dad... bagaimana dengan dendamku? Mereka belum membayar semuanya. Di-dia... wanita itu-"

"Lupakan dendammu untuk sekarang," potong Alberto. "Orang-orang itu akan menerima karmanya sendiri. Kau akan membalas, tapi bukan sekarang. Ini bukan waktunya."

Angel menggigit bibir. Ia ingin percaya. Tapi ia juga merasa tubuhnya membara oleh hasrat pembalasan yang belum selesai. Namun, ketika matanya menatap lurus ke mata ayahnya, ia melihat sesuatu. Perintah yang tak boleh dibantah.

"Jika kau tertangkap," Alberto menunduk sedikit, suaranya melembut, "Daddy tidak bisa menyelamatkanmu lagi."

Hening sejenak. Akhirnya, Angel mengangguk pelan. Napasnya masih berat, tapi ia mengalah.

"Baiklah..."

Alberto tersenyum samar, lalu memberi isyarat pada anak buahnya. Tali-tali dilepas, tetapi dua pria tetap memegangi lengan Angel, membantunya berdiri. Ia lemas, tapi tak ingin terlihat rapuh.

Beberapa jam kemudian, mereka bertolak meninggalkan markas bawah tanah itu. Dengan helikopter pribadi, mereka menuju sebuah pesawat jet yang telah disiapkan. Alberto memanfaatkan koneksinya dengan jaringan mafia internasional. Ia menghubungi sahabat lamanya di Afrika-pemilik pulau pribadi yang aman dan tidak tercatat dalam peta resmi.

Angel mengenakan penyamaran. Rambutnya dipotong pendek, diwarnai. Dokumen identitas palsu disiapkan. Begitu pula dengan Alberto. Mereka tak ingin ada jejak.

Sebuah hunian telah disiapkan. Rencananya mereka akan tinggal di sebuah rumah kayu mewah yang dibangun di tengah hutan tropis. Dikelilingi lautan biru dan penjaga tak berseragam, tempat itu seperti surga bagi para kriminal yang ingin menghilang.

Sementara itu, markas Blackhole-organisasi rahasia yang mereka bangun selama dua dekade-dibubarkan. Semua file dihancurkan, database dilenyapkan, aset dialihkan ke berbagai negara dengan nama anonim. Rumah Angel di kota sengaja dibakar oleh anak buah Alberto sendiri untuk memastikan tidak ada jejak yang bisa ditelusuri. Dunia mengira Angel telah mati. Tapi nyatanya, ia hidup. Tertahan di dalam bayang-bayang. Dendamnya belum padam, hanya tertunda.

Di malam pertama di pulau itu, Angel duduk di balkon, menatap laut lepas yang seakan tenang. Tapi di balik ketenangan itu, pikirannya bergejolak.

"Aku akan kembali," bisiknya pada diri sendiri.

Alberto muncul di belakangnya, memegang segelas anggur.

"Bersantailah. Ini saatnya kita menjadi hantu."

Angel menoleh dengan senyum tipis yang menyimpan ribuan luka.

"Hantu pun bisa membunuh, kan, Dad?"

Alberto tertawa kecil. "Tentu saja. Bahkan lebih kejam dari manusia biasa."

Angel menyeringai. 'Aku percaya, jika aku yang tidak membalas dengan tanganku sendiri. Maka dia akan hancur oleh orang lain. Erina, wanita jahat itu harus hidup menderita!'

Sementara itu, Di cafe.

Langit siang tampak cerah. Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan di halaman depan Café D'Lux, menebar aroma khas kopi dan roti panggang yang baru keluar dari oven. Bangunan café bergaya industrial dengan jendela besar itu terlihat ramai oleh pengunjung. Namun di salah satu sudut ruangan, suasana berbeda tercipta.

Tama duduk berdampingan dengan Kemala di meja pojok yang menghadap taman kecil di luar jendela. Di hadapan mereka, sebuah kursi kosong menanti.

Tak lama kemudian, pintu café terbuka. Vino masuk dengan langkah sedikit lesu. Ransel kecil tersampir di punggungnya, rambutnya sedikit acak-acakan oleh angin luar. Wajahnya tampak lebih segar dari kemarin, meskipun luka-luka yang sudah mengering masih terlihat jelas di pelipis dan rahangnya.

Kemala berdiri menyambutnya. "Vin, sini..."

Tama hanya mengangguk singkat sebagai sapaan.

Vino tersenyum kecil dan segera mendekat.

"Maaf terlambat, tadi aku ke rumah sakit dulu, jenguk ibu," katanya sambil menarik kursi.

"Bagaimana kondisi ibumu?" tanya Kemala, nada suaranya lembut. Tak ada kemarahan seperti sebelumnya, hanya keprihatinan tulus. Ia sudah tahu kisah lengkapnya -tentang pengkhianatan Vino, dan pengorbanannya di akhir. Hatinya yang dulu kecewa kini mulai membuka ruang untuk memaafkan.

Vino menunduk sejenak, lalu menarik napas. "Yah... belum ada perkembangan yang baik. Tapi katanya, operasi pemasangan ring akan dilakukan lusa. Dokter bilang ini jalan terbaik sebelum serangan jantungnya makin parah."

Tama yang sedari tadi diam, memberi kode pada pelayan. "Buatkan kopi dan sandwich spesial buat dia, ya," ujarnya. Pelayan mengangguk, lalu berlalu.

"Kalau boleh tahu, siapa yang jagain ibumu sekarang?" tanya Kemala lagi.

"Ada sepupu dari ibu. Namanya Mbak Ratna. Dia memang tinggal di kota ini sejak lama, tapi baru beberapa minggu terakhir sering datang ke rumah sakit."

Kemala mengangguk. Sorot matanya menatap wajah

Vino-masih terlihat sisa luka-luka itu, tanda kekerasan yang pernah ia terima dari anak buah kakaknya sendiri.

"Ehm, bagaimana dengan kakakmu?" Kali ini Tama yang bertanya, suaranya tak sekeras biasanya.

Vino terdiam sesaat. Tatapannya menunduk. Ada pergulatan yang jelas terlihat di raut wajahnya.

"Aku belum menemuinya... entahlah. Mungkin nanti di pengadilan baru kami akan bertemu," ujarnya lirih.

"Aku sangat membencinya, tapi... dia tetap kakakku."

Tak ada yang bicara selama beberapa detik. Diam itu cukup berat, namun jujur.

"Aku bersumpah," lanjut Vino sambil menatap lurus ke mata Tama dan Kemala. "Aku akan bersaksi sejujur-jujurnya. Apapun risikonya. Aku tahu apa yang dia lakukan... termasuk terhadap orang tuamu, Kemala.

Semuanya akan aku ungkap."

Kemala mengangguk pelan. Senyum tipisnya perlahan tumbuh, sebagai isyarat bahwa ia percaya. Tama hanya mengangguk tanpa berkata-kata, tapi dari sorot matanya, jelas ia tak lagi menaruh curiga sebesar dulu.

Tak lama, pelayan datang membawa nampan berisi

Tiga cangkir kopi dan sepiring sandwich hangat, serta makanan ringan lainnya. Vino mengucapkan terima kasih, lalu mulai menyantap perlahan. Sementara itu, percakapan hangat terus berlanjut.

"Oh ya," Vino membuka percakapan. "Aku sudah dapat kost yang pas. Di dekat rumah sakit, jadi kalau ada apa-apa dengan ibu, aku bisa langsung ke sana. Mungkin...

besok aku pamit dari rumah kalian."

Kemala terlihat sedikit terkejut, tapi ia bisa memahami alasan Vino.

"Kalau begitu, kami doakan semoga ibumu cepat pulih ya," ucapnya.

Tama menambahkan, "Sama-sama. Kalau butuh apa-apa, jangan sungkan. Kakakmu memang penyebab orang tua Kemala meninggal, tapi bukan berarti kami menutup mata terhadap kebaikanmu. Kau selamatkan Kemala. Kau bersedia bersaksi. Anggap saja semua ini... untuk ibumu."

Vino terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia

menunduk, menyembunyikan gejolak emosi yang tiba-tiba meledak dalam dadanya. Tak ada yang tahu betapa berat jalan yang harus ia lalui. Melawan saudara kandung sendiri. Merelakan cinta. Menyaksikan ibunya terbaring sakit.

"Terima kasih, Om," ucap Vino pelan. "Terima kasih, Mala."

Kemala hanya tersenyum.

"Semoga kalian selalu bahagia," lanjut Vino dengan suara bergetar. "Aku tahu aku menyukai wanita yang sudah jadi istri orang. Tapi aku sadar, cinta itu bukan

Selalu tentang memiliki. Cukup tahu bahwa dia bahagia... itu sudah cukup untukku."

Suasana mendadak hening lagi. Namun kali ini, keheningan itu bukan karena canggung, melainkan karena haru. Vino telah melewati banyak hal dalam waktu singkat. Luka luar dan dalam yang belum sepenuhnya sembuh. Tapi hari ini, ia memilih berdamai. Dengan orang lain, dan terutama dengan dirinya sendiri.

Tama bangkit, menepuk pundaknya pelan. "Kau anak yang kuat. Jangan biarkan bayangan Yudha terus menghantuimu. Mulailah hidup baru."

Vino mengangguk cepat, lalu menghabiskan sisa kopinya.

Kemala ikut berdiri, lalu menggenggam tangan Vino sebentar. "Jaga ibumu baik-baik. Jangan biarkan dia merasa sendiri."

"Pasti," jawab Vino yakin.

Setelah Vino pergi, Tama menghampiri kemudian langsung mencubit pinggang istrinya itu. "Gak usah pegangan tangan juga kali."

Kemala meliriknya sambil menahan tawa. "Ciyee, cemburu nih!"

Tama menekuk wajahnya. "Awas saja nanti malam. Gak akan aku biarkan kamu istirahat!" ancamannya dengan tatapan menggoda.

Kemala malah menantang. "Masa? Mau dong...!!"

Keduanya tertawa, seolah tak ada beban lagi. Kemala mulai mencoba mengikhlaskan kepergian kedua orang

Tuanya. Dan dirinya akan fokus menata masa depan, bersama Tama... suaminya.

Mentari perlahan merunduk di balik cakrawala, mewarnai langit dengan semburat jingga yang indah. Namun, keindahan itu tidak tercermin di rumah Tama. Begitu ia dan Kemala baru saja memasuki pekarangan setelah seharian mengurus kafe yang mulai bangkit kembali, sosok Erina langsung menghadang mereka di depan pintu rumah.

Wajah Erina terlihat berantakan-mata sembab, rambut acak-acakan, dan napasnya memburu seperti habis berlari. Ia berdiri dengan tubuh gemetar, perutnya yang membuncit seolah menjadi tameng terakhir dari segala penyesalan yang terlambat datang.

"Mas Tama...," suara Erina parau, nyaris putus.

"Kenapa kamu menggugat cerai aku? Kenapa kamu tega?

Aku... aku masih istrimu, Mas."

Tama langsung menghentikan langkahnya. Wajahnya datar, tanpa riak emosi sedikit pun. "Bagus kalau sudah tahu aku menggugatmu, Rin. Aku tetap ingin melanjutkan perceraian ini. Tidak akan ada mediasi. Keputusanku sudah bulat. Pergilah. Aku tidak sudi melihat wajahmu."

Kemala berdiri di sampingnya, mematung tanpa suara. Pandangannya tertuju pada Erina, penuh kewaspadaan. Wanita itu telah mencabik-cabik kepercayaanya, lalu datang dengan tak tahu malu.

Erina terisak, tangannya mencengkeram lengan Tama. "Mas, tolong... demi anak ini. Kalau kau tidak mau

Memaafkanku, tidak apa-apa. Aku rela dimadu. Aku bisa jadi kakak madu yang baik untuk Kemala. Aku janji akan berubah. Aku akan bertobat. Asal jangan ceraikan aku... aku tidak punya siapa-siapa lagi..."

Tama menepis tangan Erina tanpa ampun. "Jangan bawa-bawa anak itu. Sampai sekarang, aku bahkan belum yakin kalau anak itu benar-benar darah dagingku. Tapi meskipun iya... aku hanya akan bertanggung jawab atas persalinan dan kebutuhannya. Bukan pada kamu."

"Mas..." Erina tersungkur, menangis pilu. Tangisnya keras dan menyayat, tapi di mata Tama, itu hanya kepura-puraan. Wanita itu tidak pernah benar-benar menyesal. Ia hanya panik karena kehilangan zona nyaman yang selama ini ia kuasai.

"Kamu pikir aku akan percaya lagi padamu? Setelah semua kebusukan yang kamu lakukan?" Tama menghardik. "Kamu sudah menghancurkan rumah tangga kita, memanipulasi semua orang. Kamu picik dan penuh kepalsuan. Tidak ada kesempatan untukmu, Rin. Pergilah sebelum aku menyeretmu keluar dari rumah ini!"

Erina meraung, memeluk perutnya dan menangis seperti anak kecil. Ia memukul-mukul lantai seraya menjerit. "Aku tidak punya tempat tinggal! Aku tidak punya siapa-siapa, Mas! Keluargaku satu-satunya hanya Kemala! Aku mohon, maafkan aku... aku janji tidak akan mengulanginya lagi..."

Erina memohon pada Kemala. "Kamala maafkan Tante. Tolong bujuk Mas Tama agar mau mencabut gugatan cerainya!"

Namun Kemala tetap diam. Sama seperti suaminya, ia

Tak peduli lagi pada Erina.

Tangisannya menggema, terdengar begitu memilukan bagi siapa saja yang tak tahu sejarahnya. Tapi tidak bagi Tama.

Wajah Tama menegang. Ia melirik kanan-kiri, takut keributan itu menarik perhatian tetangga. "Berhenti memalukan dirimu sendiri! Jangan bikin keributan di depan rumahku!"

Kemala akhirnya maju. Sejak tadi ia hanya diam, tapi tangis Erina semakin lama semakin mengganggu batinnya. Ia tahu, wanita di depannya ini pandai bersandiwara. Tapi di sisi lain, ia tetap manusia. Tetap perempuan yang tahu rasanya takut ditinggalkan dalam keadaan hamil.

"Mas, biarkan saja dia tinggal di sini," ucap Kemala tenang namun tegas.

"Tapi, Sayang. Dia sudah ..."

Kemala menyeringai. Tentu ia tahu apa yang harus diperbuatnya. "Tapi kau tidak bisa bersikap seenaknya, Erina. Kalau kau masih mau tinggal di rumah ini, maka kau harus bekerja. Menjadi pembantu kami. Dan kami akan memberimu gaji. Setidaknya kamu punya uang untuk anakmu nanti."

Erina langsung menegakkan kepala. Air matanya belum berhenti, tapi sorot matanya berubah tajam. "Apa-apaan kamu, Mala? Aku ini tantemu!"

Kemala menyilangkan tangan di dada. "Itu dulu. Sekarang kamu bukan siapa-siapa. Kamu kehilangan hak untuk dipanggil 'tante' setelah semua yang kamu lakukan. Pilihanmu cuma dua, Rin: tetap di sini dan jadi pembantu, atau pergi dari kehidupan kami selamanya."

Tama tidak bersuara, tapi wajahnya menunjukkan bahwa ia mendukung penuh keputusan Kemala. Ia tersenyum tipis, suka sekali dengan cara Kemala yang ingin memberi pelajaran pada tantenya itu.

Erina mematung. Tawaran itu terasa seperti tamparan paling keras yang pernah ia terima dalam hidup. Dirinya -yang dulu duduk sebagai nyonya rumah-kini disuruh membersihkan lantai, mencuci piring, memasak, dan menerima gaji dari perempuan yang dulu dia hina sebagai 'keponakan tak tahu diri'.

"Kalian keterlaluan..." gumamnya dengan suara bergetar. "Aku ini... istrimu, Mas. Aku mengandung anakmu. Tapi kalian-kalian memperlakukan aku seperti sampah!"

Kemala tersenyum sinis. "Kamu sudah memperlakukan dirimu seperti sampah sejak lama, Rin.

Kami hanya menyodorkan cermin."

Tama menyeringai, tangannya merangkul bahu Kemala, menunjukkan kemesraan di depan mantan istrinya. "Aku tidak akan menarik gugatan itu. Jangan berharap aku berubah pikiran. Dan kalau kamu tidak mau menerima syarat dari Kemala, kamu bisa keluar malam ini juga. Pilih sekarang."

Erina menunduk. Tangisnya masih mengalir, tapi kini bukan sekadar kesedihan. Ada harga diri yang tercabik. Ada kenyataan pahit yang harus ditelan: Tama tidak lagi mencintainya. Bahkan tak sedikit pun menyisakan belas kasihan untuk dirinya.

"Ja-jadi pembantu..." Erina berkata lirih, ia tak terima jika diinjak-injak seperti ini. Tapi ia tak punya pilihan.

Kemala dan Tama saling berpandangan. Keduanya saling melempar senyum. Permainan telah berakhir. Dan Erina... wanita yang dulu merasa berada di atas segalanya, kini harus merangkak kembali ke dasar-belajar merendah, jika masih ingin bertahan.

***

Pagi pertama Erina di rumah itu terasa seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Ia terbangun bukan di ranjang empuk yang dulu jadi miliknya, melainkan di kasur tipis yang digelar di sudut dapur. Aroma bawang dan wajan gosong menyeruak ke hidungnya, mengingatkannya bahwa kini, hidupnya bukan lagi sebagai nyonya rumah-melainkan pembantu bayaran.

Kemala sudah menunggunya di ruang tengah, berdiri anggun dalam balutan daster putih bersih. Di tangan kirinya, secarik kertas berisi daftar pekerjaan.

"Mulai hari ini, kamu bangun pukul lima pagi. Bersihkan semua lantai rumah, cuci baju yang ada di ember, dan pastikan dapur siap sebelum aku dan Mas Tama sarapan. Setelah itu, kamu bisa lanjut setrika baju, bersihkan kamar mandi, dan jangan harap ada waktu tidur siang," ucap Kemala datar, suaranya tak sekeras bentakan tapi tajam seperti belati.

Erina menatapnya lekat-lekat, berharap ada sebersit belas kasihan. Tapi Kemala tetap dingin. Sama seperti Tama, yang pagi itu duduk santai di meja makan sambil membaca koran. "Apa kau dengar yang dikatakan istri resmi ku, Rin?" Tama menimpali dengan nada mengejek.

Erina mengangguk pelan. "Iya, Mas..." gumamnya.

Ia melangkah pelan ke dapur, mulai membersihkan wajan dan peralatan masak yang sengaja dibiarkan kotor oleh Kemala semalam. Tangannya gemetar, kulitnya perih terkena sabun cuci, tapi ia tidak berani mengeluh. Karena di luar sana-ia tak punya tempat lain untuk pulang.

Siang hari, Kemala dengan sengaja memanggil teman-temannya ke rumah. Mereka duduk bersantai di ruang tamu sambil menyeruput teh dan membicarakan berbagai topik remeh. Di tengah percakapan, Kemala berseru,

"Tante! Sini, ambilin cemilan buat tamuku. Jangan lupa juga pel lantai ruang depan, banyak jejak kaki!"

Erina muncul dari dapur dengan wajah kusut, rambut diikat asal, dan keringat menetes di pelipis. Para tamu Kemala meliriknya sekilas, lalu saling berbisik pelan.

"Eh, itu bukan Erina ya? Dulu yang suka pamer tas

branded?"

"Iya, iya! Astaga, sekarang jadi pembantu? Gila, karma beneran ya..."

Kemala pura-pura tidak mendengar, padahal jelas senyumnya makin lebar. "Cepetan! Jangan bikin tamuku nunggu!"

Dengan hati terluka, Erina menunduk dalam-dalam. Ia merasa seluruh harga dirinya dilucuti satu demi satu. Tapi ia hanya bisa diam. Karena ia sadar, ia sendirilah

Yang menggali lubang itu.

Malam hari, saat semua pekerjaan rumah selesai, Erina duduk sendiri di dapur, menatap ke luar jendela. Tangannya kasar, kuku-kukunya rusak, dan punggungnya terasa remuk. Tapi bukan kelelahan yang menggerogoti pikirannya-melainkan dendam.

Ia menggigit bibir, memeluk perutnya yang semakin besar. Aku tidak akan kalah. Mereka pikir mereka menang? Tunggu saja...

Alih-alih intropeksi atau menyesal, Erina malah menanamkan kebencian baru di hatinya. Ia tidak benar-benar berubah. Ia hanya bertahan sementara. Dalam diam, ia merancang sesuatu. Entah apa.

Dan malam itu, saat rumah mulai sunyi, Erina membuka ponsel bekasnya yang disimpan diam-diam. Ada satu kontak yang masih ia simpan. Ia mengirimkan pesan pendek:

"Aku pasti bisa. Aku bukan wanita lemah. Aku akan membalasmu, Kemala!

1
Nunung Sutiah
Aku nangis baca bab ini. Yola dan Rendra. 😭😭😭
Hasri Ani: 😁😁😁 kuat bund
total 1 replies
Rika Anggraini
karma itu nyata
aku
jahat gk sih aq ngetawain ningsih 🤣🤣🤣
Herta Siahaan
Erina memang sangat salah dan jahat.. tapi kemala dan tama jg lebih jahat. dan hasil dari keserakahan Erina dan dendam Kemala dan tama adalah anak dalam kandungan jd korban tdk jelas status nya dan kalau sdh lahir akan kena bully jd anak haram. nah Vino sebagai adik Yuda jg g sadar telah ikut terlantar kan keturunan Abang nya. intinya sianak yg jd korban
Happy Kids
ya kan.. silau harta emang. ujung2nya duit
Happy Kids
emang yaa ga bsa dibaikin dikit. bsa jd subagya dijebak atau digoda
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!