carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
“Kenapa sih kamu selalu marah kalau aku nempel sama kamu?”
“Yah, lagian lu ngapain? Kan gua nggak suka sama lu. Dengan lu terus nempel ke gua gini, kan menjadikan gua sebagai beban. Emang lu nggak sadar?”
Mario terdiam mendengar itu. Lalu Mario mengambil kedua tangan Carol. Namun Carol merasa jijik dengan perlakuan Mario kepadanya.
“Sewajarnya aja bisa nggak sih, tanpa harus merugikan pihak mana pun? Gua percaya lu bisa, tapi lu nggak mau lakuin itu, kan?”
“Tidak, karena gua sayang sama lu. Gua nggak mau kehilangan lu, apalagi sampai lu di tangan om-om itu. Gua nggak rela.”
“Bicara apaan sih lu? Cara bicara lu ngeselin banget dan nggak bisa ditoleransi sama sekali.”
Mario yang mendengar itu bingung harus melakukan apa agar Carol percaya padanya.
“Emang gua harus ngapain kalau misalnya berbuat hal yang bisa bikin lu percaya sama gua?”
“Lu nggak perlu bikin gua percaya, karena gua emang nggak mau percaya sama lu.”
“Jadi, elu lebih milih om-om itu daripada gua?”
Carol merasa kesal dengan perkataan Mario, seolah-olah Mario sedang meledek papanya Carol.
“Kenapa sih lu kayaknya berpikir gua itu sukanya sama om-om terus? Padahal gua nggak pernah bilang loh, gua itu suka sama siapa.”
“Kayaknya lu nggak perlu bilang. Ampun deh, gua udah sadar sih kalau lu sukanya om-om. Standar umum, dan gua harus gimana dong?”
“Kalau maksud lu itu om-om yang mungkin orangnya bakal gua sayang, tapi maksudnya gimana ya...”
Mario yang mendengar itu hanya diam saja dan tidak bisa berkata apa-apa. Sepertinya memang wanita itu menyukai tipe yang sudah tua.
“Kenapa sih harus suka sama orang tua? Lu nggak bisa gitu suka sama gua aja yang masih muda? Emang sih gua belum kerja, tapi kan bukan berarti gua nggak mampu buat bahagiain lu.”
“Karena belum bekerja makanya gua nggak suka sama lu. Jadi lu juga harus sadar diri kalau menyukai ini orang kayak gua.”
Mario yang mendengar itu merasa tertampar oleh realita. Dirinya baru sadar kalau wanita yang disukainya ternyata gila materi.
“Tapi nggak papa. Dari perkataan lu justru bikin gua termotivasi buat jadi orang yang lebih mapan lagi ke depannya.”
“Gua nggak ada maksud buat bikin lu termotivasi sih. Tapi kalau lu merasa begitu, ya udahlah, bagus.”
“Gua harap, ketika gua nanti mapan, elu harus sama gua ya. Nggak boleh sama pria lain, apalagi sama om-om.”
“Siapa elu, larang-larang gua? Lagian kan gua bukan siapa-siapa lu.”
Mario yang mendengar itu memang tidak salah sih, tapi kok rasanya dia tidak ikhlas mendengar perkataan itu.
“Pokoknya nggak mau tahu, lu harus sama gua.”
“Maksa banget sih. Orang nggak mau juga.”
Mario tersenyum melihat ke arah Carol, tetapi Carol tidak peduli padanya.
Pikir Mario, mungkin dirinya belum bisa membahagiakan Carol untuk sekarang, tapi tidak untuk nanti.
Karena Carol sudah merasa stres, akhirnya ia memilih pergi ke kelas saja dan tidak peduli lagi pada Mario.
Setelah terbebas dari Mario, akhirnya Carol bisa menghela napas lega.
“Akhirnya gue bisa bebas dari pria gila itu. Gua nggak nyangka dia bisa segila itu.”
Tidak lama kemudian, setelah kembali ke kelas, Carol pulang sekolah dan langsung dijemput oleh papanya.
Setelah masuk ke mobil, wajah Carol terlihat seperti orang yang sedang marah dan bete seharian.
“Kamu kenapa, kok marah-marah sih? Ada yang buat kamu marah, ya?”
“Iya, siapa lagi kalau bukan Mario. Aku bingung sama dia. Kayaknya udah ditolak, masih tetep ngotot gitu loh. Bingung banget orang kayak gitu harus diapain.”
Anton merasa bingung dengan perkataan anaknya, dan kenapa tiba-tiba anaknya bicara soal pria tersebut.
“Emangnya Mario ngapain kamu lagi?”
“Ya kayak biasa lah, gangguin aku terus. Sering nanya aku masih jadi pacarnya dia atau nggak. Padahal aku nggak pernah ngasih dia harapan, tapi tetep aja ngejar.”
Anton yang mendengar itu merasa kesal kepada pria tersebut. Kenapa pria itu begitu antusias sekali kepada anaknya?
“Kalau misalkan dia masih ganggu kamu, bilang aja ke papa. Nggak papa, nanti papa ke sekolah dan marahin dia.”
“Nggak usah lah, ngapain. Kayak anak kecil aja. Kan aku udah dewasa.”
“Habis, daripada nanti dia bikin kamu nggak nyaman di sekolah, lebih baik kamu kasih tahu papa, biar papa samperin dia supaya diam.”
“Sebenarnya dia nggak tahu kalau papa itu papaku. Dia tahunya papa itu om-om.”
Anton yang mendengar itu merasa lega. Akhirnya dia menyadari kalau dirinya bebas berbuat apa pun tanpa harus memikirkan statusnya sebagai ayah Carol.
“Kalau begitu, biarin aja dia tahu kalau papa itu om-om kamu.”
“Ya nggak mau lah! Nanti papa malah dipikir yang jelek-jelek sama dia. Terus nanti papa malah jelek reputasinya gara-gara anak nggak jelas kayak dia.”
“Emangnya kamu takut kalau reputasi papa jelek?”
Carol hanya diam saja, lalu menatap papa sambil menganggukkan kepala.
“Iyalah, kan papa bapaknya aku. Kalau misalkan papa bukan papaku, sih, aku bodo amat.”
“Jadi kamu kalau sama orang lain harus lihat-lihat gitu ya? Kecuali sama papa.”
Carol menganggukkan kepalanya dan mengaku seolah-olah dirinya memang fans fanatik papanya.
“Tapi nanti kalau kamu udah punya pacar, pasti kamu udah nggak ngefans lagi sama papa.”
“Kenapa tiba-tiba bahas itu, ya? Padahal aku nggak ada bahas kayak gitu sama sekali loh.”
“Kan misalnya aja. Kamu kayaknya sensitif banget sih.”
Carol terdiam mendengar papanya bicara begitu. Ia mau marah, tapi ditahan, karena dirinya juga bingung harus marah atau tidak.
Sebenarnya tujuan papanya bicara begitu untuk apa sih? Untuk bikin dirinya marah, atau gimana?
“Pa, jangan bicara begitu lagi. Carol nggak suka dengarnya. Carol tahu papa orang baik dan sudah mempersiapkan masa depan yang baik buat aku. Tapi aku sendiri nggak suka dengan sifat berlebihan papa yang mengganggu pikiran dan isi hati aku, Pa.”
Anton yang mendengar itu terdiam, lalu mencoba mengusap kepala anaknya sambil mengecup keningnya.
“Ya sudah, maafin papa ya. Papa janji nggak akan begitu lagi sama kamu. Kalau papa begitu lagi, kamu boleh marah sama papa.”
Carol hanya diam dan menganggukkan kepala. Ia juga merasa bersalah kalau harus marah kepada papanya sendiri.
“Pa.”
“Ya?”
“Lapar.”
Anton sampai lupa membawa anaknya makan, sampai akhirnya mereka pergi ke tempat makan kesukaan Carol.
Setelah sampai di sana, mereka mencari tempat duduk yang kosong. Tak lama pelayan datang membawa buku menu.
Setelah melihat-lihat menu, Carol memperhatikan wajah papanya, seolah-olah ada sesuatu yang aneh.
“Papa, waktu muda banyak pacarnya nggak sih?”
Anton yang mendengar itu merasa bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa kamu nanya kayak gitu? Emang muka papa kayak playboy banget ya?”
“Nggak playboy sih, cuma aku penasaran aja. Kan papa mukanya tampan, pasti banyak yang suka.”
“Papa nggak pernah cari wanita sih waktu muda.”
Carol kaget mendengar itu, tapi tidak heran, karena papanya memang dikenal sibuk mencari duit dibanding wanita.
“Kok kamu nggak kaget sih papa bilang kayak gitu?”
“Kenapa harus kaget? Kan itu papa sendiri yang bilang. Kalau orang lain yang bilang, baru deh aku kaget.”
Anton tidak menyangka anaknya akan berbicara seperti itu dan tetap tenang.
“Yah, padahal papa mau bikin kejutan buat kamu, tapi kayaknya kamu jadinya nggak merasa terkejut sama sekali.”
Carol hanya tertawa mendengar papanya bicara begitu, karena ia tahu papanya memang suka memberi kejutan.
“Ya udah, nggak perlu kecewa. Kan bisa lain kali.”
“Kalau lain kali, berarti harus ketawa ya?”
“Siap, ketua!”
Anton tertawa mendengar ucapan anaknya. Ia tidak menyangka, ternyata memiliki anak seperti Carol menjadi hiburan tersendiri baginya.
Padahal dulu, kedua orang tua Anton menentang keras saat ia memutuskan untuk membesarkan anak itu.
Tanpa sadar, anak itu kini sudah dewasa dan menjadi seseorang yang bisa menghibur papanya — walau bukan anak kandungnya sendiri.
Anton sering berpikir, apakah kedua orang tua asli Carol mencari dirinya, ya?
lah