NovelToon NovelToon
Aku Bisa Tanpa Dia

Aku Bisa Tanpa Dia

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Janda / Selingkuh / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor
Popularitas:15.7k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

Aku sengaja menikahi gadis muda berumur 24 tahun untuk kujadikan istri sekaligus ART di rumahku. Aku mau semua urusan rumah, anak dan juga ibuku dia yang handle dengan nafkah ala kadarnya dan kami semua terima beres. Namun entah bagaimana, tiba-tiba istriku hilang bak ditelan bumi. Kini kehidupanku dan juga anak-anak semakin berantakan semenjak dia pergi. Lalu aku harus bagaimana?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 32

Angkasa berdiri tegak, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Senyumnya tipis, tapi ada ketegasan yang menusuk dalam ucapannya.

“Aku akan menunggu,” katanya perlahan.

Aku menatapnya bingung. “Menunggu apa?”

“Menunggu statusmu berubah menjadi janda,” jawabnya tanpa ragu. “Dan setelah itu, aku akan melamarmu. Aku akan menikahimu.”

Aku terperanjat, tubuhku kaku mendengar pernyataannya. “Jangan bicara seperti itu. Aku belum tentu…”

Angkasa menggeleng, memotong kata-kataku. “Aku tidak peduli berapa lama waktunya. Aku sudah menunggumu sejak sekolah dulu. Aku tidak akan benar-benar melepaskanmu sekarang.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menguatkan diri. “Kamu tidak tahu apa yang aku hadapi. Hidupku tidak semudah itu.”

“Aku tahu lebih dari yang kamu pikirkan,” balasnya cepat. “Aku tahu luka yang kamu bawa. Dan aku ingin jadi orang yang menyembuhkan, bukan yang menyakiti.”

Aku menunduk, berusaha menghindari tatapannya. “Tolong… jangan paksa aku. Aku belum siap.”

Angkasa mendekat, suaranya merendah namun penuh ketegasan. “Aku tidak akan memaksa. Tapi dengar baik-baik… aku akan tetap ada. Kamu bisa lari sejauh apa pun, tapi aku akan tetap menunggumu."

Aku terdiam, dadaku bergemuruh hebat. Kata-katanya terasa seperti janji sekaligus ancaman yang tidak bisa kuabaikan.

"Angkasa .... Aku--" Baru saja aku ingin membuka suara lagi pada Angkasa, ketika tiba-tiba telingaku menangkap suara yang sangat kukenal.

“Ratu!”

Tubuhku seketika menegang. Aku menoleh cepat, dan benar saja—sosok itu berdiri beberapa langkah dariku. Mas Erlangga. Wajahnya terlihat letih, tapi matanya tajam menusukku, seolah ingin menarikku kembali hanya dengan pandangan.

Panik menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tidak mau kembali. Aku tidak mau lagi terjebak dalam rumah yang penuh beban itu. Tanpa berpikir panjang, aku buru-buru melangkah mundur, berbalik, dan berlari meninggalkan tempat itu.

“Ratu! Berhenti!” teriaknya lagi, langkah kakinya terdengar mengejarku.

Aku tidak menoleh. Nafasku memburu, jantungku berdentum kencang. Yang kupikirkan hanya satu—jangan sampai ia berhasil menangkapku. Aku tidak akan pernah kembali padanya, tidak peduli berapa kali ia memanggil namaku dengan suara yang memohon sekalipun.

Di belakangku samar terdengar suara Angkasa menahan, mencoba menghentikan Erlangga agar tidak terus mengejarku. Tapi aku tidak berani menoleh. Aku hanya ingin lari sejauh mungkin, menjauh dari semua masa lalu yang menyakitkan.

Aku berlari sekuat tenaga melewati lorong parkiran, nafasku sudah terasa sesak. Suara langkah kaki Mas Erlangga terdengar semakin dekat di belakang.

“Ratu! Jangan pergi!” teriaknya lagi, nadanya antara marah dan memohon.

Aku tak peduli. Aku hanya ingin keluar dari situ secepatnya.

Akhirnya aku bisa kabur dari Mas Erlangga. Kalau saja tadi Angkasa tidak mencegahnya, aku pasti sudah tertangkap dan dibawa pulang.

Di kejauhan aku masih mendengar suara mereka berdua berdebat, tapi aku tak lagi menoleh. Aku hanya terus berjalan, ingin memastikan diriku benar-benar selamat.

Esok paginya aku melangkah ke pengadilan dengan hati yang mantap. Sudah saatnya aku benar-benar melepaskan semua ikatan ini. Di sampingku, pengacara yang dikenalkan Angkasa menemaniku. Ia membimbing setiap langkah, menyiapkan berkas-berkas yang kubawa.

Setelah semua selesai diproses, pengacara itu berkata pelan, “Sidang pertama akan segera dijadwalkan. Nanti surat panggilannya akan dikirim langsung ke rumah Erlangga.”

Aku mengangguk. Rasanya lega sekaligus getir. Lega karena satu beban akan segera terlepas, getir karena jalan perpisahan ini memang tidak mudah.

Aku menatap lembaran surat resmi itu dalam genggaman, lalu bergumam lirih, “Akhirnya… semua akan segera berakhir.”

Pengacara menatapku, “Tenang saja, semua akan saya urus. Yang penting, jangan goyah dengan keputusan ini.”

Aku menarik napas dalam-dalam. “Tidak akan. Aku sudah terlalu lama bertahan dalam luka.”

Dengan langkah mantap, aku pun keluar dari pengadilan. Di tanganku, ada harapan baru. Dan surat itu—akan segera sampai ke rumah Erlangga.

Setelah semua berkas selesai diurus di pengadilan, aku duduk sebentar di teras kos. Jemariku bergetar menatap layar ponsel. Perasaan campur aduk, antara lega dan tegang, menyelimuti dada. Namun aku tahu, harus ada ketegasan.

Dengan hati-hati aku mulai mengetik pesan:

"Mas, ini sudah resmi. Sidang cerai akan segera dilaksanakan. Aku harap mas datang dan hadiri persidangan. Jangan lagi mencoba memintaku pulang, karena semua sudah jelas. Aku ingin perpisahan ini berjalan sesuai hukum, tanpa perlu ada keributan lagi."

Aku menatap lama tulisan itu sebelum akhirnya menekan tombol kirim.

Beberapa menit setelah pesan itu terkirim, dering ponselku kembali terdengar. Nama Erlangga berulang kali muncul di layar, disusul getaran pesan singkat yang masuk bertubi-tubi.

"Ratu, tolong angkat. Aku janji akan berubah."

"Jangan begini, aku butuh kamu di rumah. Anak-anak juga mencari kamu."

"Kalau kamu benar-benar pergi, aku tidak tahu harus bagaimana. Tolong, jangan tinggalkan aku."

Aku hanya menatap layar itu dengan dingin. Jemariku sama sekali tidak bergerak untuk membalas. Suara hatiku berkata jelas: “Sudah cukup. Aku tidak ingin terjebak lagi.”

Ponsel itu akhirnya kuletakkan terbalik di atas meja. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan hati yang sempat terguncang. Di luar jendela kos, langit sore mulai meredup, seolah ikut menyimpan rahasia keputusanku.

Hari ini sidang sudah dimulai. Aku bersama pengacara datang lebih dulu, duduk di bangku panjang sambil menahan gemetar di tanganku. Beberapa menit kemudian, Mas Erlangga tiba seorang diri. Wajahnya pucat, seolah kurang tidur.

Rambutnya acak-acakan, bajunya kusut seperti tidak sempat disetrika, bahkan kancing bajunya pun tidak rapi. Ia pun menghampiriku, terlihat sekali aura kemarahan yang sudah memuncak.

“Kenapa harus ada perceraian diantara kita?” tanyanya lirih, suaranya serak.

Aku menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. “Masihkah Mas bertanya? Padahal semua alasan sudah jelas di depan mata. Aku enggak sudi jadi Babu dan Baby Sister untuk kedua anakmu yang kurang ajar itu!"

Ia menggigit bibir, tampak menahan sesuatu dalam dadanya. “Aku tahu aku banyak salah… tapi apakah nggak ada sedikit saja ruang maaf untukku?”

Aku menatapnya lekat-lekat, menahan getar di dada. “Sampai aku mati pun, aku tidak akan pernah terima maaf darimu.”

Mas Erlangga menunduk, bahunya bergetar halus. “Aku benar-benar kehilangan arah tanpa kamu. Rumah itu terasa kosong… aku bahkan nggak bisa tidur semalam. Tolong, jangan lakukan ini.”

Aku memejamkan mata sejenak, lalu membuka dengan tatapan tegas. “Keputusan ini sudah bulat, Mas. Aku tidak akan mundur lagi.”

Ia terdiam, menatapku lama, seakan mencari celah di hatiku. Tapi aku sudah menutupnya rapat-rapat.

Sebelum sidang dimulai, aku sudah memberi peringatan kepadanya untuk tidak mempersulit.

Sayangnya perkataanku tidak ia tanggapi, alhasil sidang ini berjalan alot. Mas Erlangga tidak mau bercerai dariku. Alasanya ia masih mencintaiku begitu juga dengan kedua anaknya.

“Yang Mulia, saya mohon jangan biarkan rumah tangga kami hancur,” ucapnya sambil menatapku, seolah mencari celah agar aku goyah. “Saya berjanji tidak akan menyakiti lagi. Saya akan memperbaiki diri. Tolong, beri saya kesempatan terakhir. Saya sangat mencintainya yang Mulai, saya tetap ingin mempertahankan pernikahan ini," katanya dengan wajah memelas.

1
Elly sari Narulita
sukurin kau Erlangga...biarin aja ketauan korupsi...
YuWie
Luar biasa
YuWie
lhaaa wis Smp lho..gak bisa apa2...
sampe bab ini masih bingung alur nya..tdk ada pov ratu jadi masih sepihak
YuWie
lebay erlanga..tinggal cari pembantu klo istri cmn dianggap babu olehmu
YuWie
anak2 nya kie umur berapa.. SD, SMP, SMA
YuWie
blangsaan sendiri ya ditinggal babu
YuWie
ternyata mencari pembantu gratisan tho
YuWie
masih menyelami karskter pemainnya
Lee Mbaa Young
tamat riwayat mu 😄😄
Lee Mbaa Young
Habis nikah ketahuan korupsi, hrse pengantin baru bhgia mlh kehilangan pekerjaan.
beda istri beda rejeki apalagi hsil selingkuh bgitu.
Lee Mbaa Young
Syukurin semoga hbis nikah ketahuan korupsi trus di pecat. mmpus kau
Lee Mbaa Young
erlangga Selamat hidup mu akn berantakan setelah ini, karma otw
Anonymous
Ini sdh end?
Kucing Hitam: belum, kak. masih ada lanjutanya 😁
total 1 replies
Riani Putri
mantap, tinggal liat gimana menderitanya dia ditinggal ratu, belum lg ketauan korupsi dikantor nya, ayo Thor dilanjutkan lg cerita nya
Riani Putri
mana lanjutannya thor
Riani Putri
ayo dong kk, up lagi, seru ceritanya
Kucing Hitam: oke, siap.. ditunggu ya
total 1 replies
Himna Mohamad
mantap ini
Kucing Hitam: terima kasih, kak.. tunggu update selanjutnya ya kak 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!