"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Ada apa Arina?
Di rumah sakit, Dirga melangkah cepat di koridor.Suara sepatu kulitnya bergema di lantai marmer mengilap, beradu dengan aroma lembut parfum jasnya dan bau antiseptik yang dingin.
Dua perawat membungkuk sopan saat ia lewat.
Ia berhenti di pintu dengan plakat emas bertuliskan “VIP Suite 802”.Seorang Dokter senior berdiri di dekat sana.Menyapa Dirga,secara formal.
“Kondisinya tidak stabil, Pak Dirga.Jantungnya masih lemah. Kami sudah berusaha menstabilkan tekanan darah beliau.”
Dirga hanya mengangguk, tidak menjawab.Ia melangkah masuk ke dalam ruangan beraroma obat, mesin monitor, dan bunga segar menyeruak sekaligus.
Kakeknya, Tuan Harsono terbaring di ranjang besar dengan sprei putih bersih.Wajahnya pucat, kulitnya menipis seperti kertas, tapi cincin berlian di jarinya masih memantulkan cahaya dari lampu neon yang menggantung di atas tempat tidur.Suara beep pelan dari monitor jantung menjadi satu-satunya musik di ruangan itu.
Di meja kecil di sebelah ranjang, berdiri vas kristal berisi bunga lily putih.Mahal, wangi, tapi menusuk hidung dengan keanggunan yang terasa dingin.Tirai besar dari kain beludru separuh terbuka, memperlihatkan langit kota.
Pelan,Dirga menahan napas.“Kek... aku di sini.”
Tuan Harsono membuka matanya sedikit, napasnya berat seperti tersangkut di dada.Suara serak itu terdengar pelan, tapi tetap membawa wibawa yang dulu menakutkan siapa pun di ruang rapat.
Suara Tuan Harsono terputus-putus “Dirga,jangan biarkan… semua yang ku bangun hancur hanya karena perempuan…”
Dirga menunduk, suaranya bergetar “Kek, tolong jangan bicara dulu. Istirahat dulu, ya…”
Tapi kakeknya menggeleng pelan, menatap Dirga tajam seolah masih bisa memerintah dunia meski tubuhnya hampir menyerah.“Kau harus ingat Dirga,nama keluarga kita bukan mainan.Semua harus bertahan”
Matanya kembali tertutup.Suara monitor menurun perlahan, membuat dada Dirga seperti diremas.Ia menggenggam tangan tua yang masih keras, dengan urat-urat menonjol dan dingin seperti logam.
Dari luar jendela,hiruk pikuk kota memantul di kaca besar ruang VIP, memperlihatkan bayangan Dirga yang berdiri tegak,rapuh tapi terpaksa kuat, sama seperti dulu saat pertama kali mewarisi nama besar keluarga Harsono.
Pintu ruangan terbuka pelan.Bau parfum mahal aroma mawar dan oud seketika menggantikan aroma antiseptik.Langkah sepatu hak tinggi terdengar mantap, teratur, tapi tidak terburu-buru.Dirga menoleh.Di ambang pintu berdiri Rina dengan mantel krem lembut, rambutnya disanggul rapi, dan sepasang anting mutiara menggantung manis di telinganya.
Tidak ada riasan berlebihan, tapi sorot matanya tajam seperti wanita yang terbiasa memimpin rapat penting dan memenangkan argumen.
“Bagaimana kondisinya?” suaranya pelan namun tegas,tidak ada getaran di sana.Dirga hanya menghela napas pendek.
“Masih belum sadar sepenuhnya. Dokter bilang jantungnya lemah.”
Rina melangkah mendekat.Tangannya menyentuh selimut di atas dada Tuan Harsono dengan hati-hati,Matanya menatap wajah tua itu lama, lalu menghela napas dalam. “Beliau memang keras kepala dari dulu. Bahkan melawan maut pun masih ingin mengatur segalanya.”
Dirga menunduk, menyembunyikan senyum getirnya.
"Itu yang membuatnya tetap hidup sejauh ini.”
Rina berbalik menatap Dirga.Sorot matanya lembut tapi tajam, seperti membaca isi kepala suaminya tanpa perlu bertanya.
"Bukannya tadi kamu di rumah Almira?kenapa kamu tidak mengajaknya kemari?”
Dirga menatap ke arah jendela besar yang tertutup sebagian tirai.“Tidak usah pura-pura bertanya Rina,kamu sudah tahu jawabannya.Lagi pula dia ada urusan dengan Arkan.”
Rina tersenyum tipis,seperti senyum yang mengerti terlalu banyak. “Baguslah,semakin dia menyadari posisinya semakin baik untuk keluarga kita”. Dirga menoleh,lalu menatapnya dalam-dalam.“Kamu tidak perlu berkata seperti itu,Almira sangat pandai memposisikan dirinya”
Kata-kata itu jatuh perlahan tapi menembus.Rina tak langsung menjawab. Hanya menatap monitor jantung yang masih berbunyi pelan, seolah mencari alasan untuk diam.
Rina menarik napas, lalu berkata pelan tanpa menatap suaminya. “Aku bukan datang untuk berdebat. Aku hanya ingin memastikan semua urusan keluarga tetap terlihat baik di mata publik.Selebihnya, terserah kamu, Dirga. Aku sudah terlalu lelah menjaga dua sisi kebenaran yang kamu buat sendiri.”
Kemudian ia menatap kakek Harsono, suaranya seperti berbisik. “Andai beliau tahu, anak cucunya bukan lagi berperang melawan dunia.Tapi melawan cinta yang salah arah.”
Dirga menatap Rina lama, tapi wanita itu hanya menunduk sebentar lalu berbalik pergi.Gaun panjangnya bergoyang lembut, meninggalkan aroma mawar mahal dan perasaan aneh di dada Dirga.
***
Melewati pohon mahoni di depan gerbang sekolah,dedaunan kering gugur di tiup angin.Arina dan Evan berjalan bersisian.Evan meliriknya sekilas,dia sedikit bingung"Arina seperti sedang menyimpan sesuatu.Apa dia ada masalah?"batin Evan bertanya-tanya.Ia masih saja penasaran,tapi ragu-ragu ingin langsung menanyakan.
"Apa yang sedang mengganggu pikiran mu Arina?".Akhirnya Evan bertanya juga.Di tanya begitu,Arina malah menghentikan langkah,dan bernafas panjang.Ia menoleh sebentar lalu menunduk.Tanggannya membenarkan tali tas ransel di pundak,meremasnya sebentar lalu melangkah lagi dengan pelan.
Evan masih menunggu jawaban Arina,matanya masih menatap Arina dengan bingung.Selembar daun kering jatuh menyangkut di tas ransel yang Arina bawa.Membuat Evan melakukan gerakan kecil menggeser daun agar jatuh ke tanah.
Arina tidak tahu gerakan kecil penuh perhatian itu,matanya hanya fokus pada ujung sepatunya yang melangkah bergantian.Hatinya di liputi rasa yang tak menentu.Bingung ingin bersikap apa."Bahkan untuk menjawab pertanyaan mu saja aku tidak tahu harus menjawab apa"bisik lirih hatinya.
"Arina,apa terlalu berat? hingga kamu khawatir nanti akan merepotkan aku jika aku tahu permasalahan mu?"Evan mulai memahami sifat Arina yang suka tidak enakan jika meminta tolong.Gadis itu selalu takut merepotkan orang lain.Entah karena takut benar-benar merepotkan atau takut kecewa dengan penolakan.
Arina menggeleng pelan.lagi-lagi ia menghela nafas."Evan,menurutmu sesuatu kebenaran itu harus di ungkapkan tidak? Tapi,kalau di ungkapkan kita tahu itu pasti akan menimbulkan masalah.Kalau diam saja,akan merasa seperti mengkhianati karna menutupi kebohongan."
Evan diam sebentar,dahinya mengernyit.Matanya sedikit menyipit."Menurutku,kebenaran adalah segalanya.Tidak peduli masalah apa yang akan timbul,dia harus di ungkapkan.Karna kebenaran yang di tutupi hanya akan mendatangkan kebohongan-kebohongan baru".
Arina mendengarkan pendapat Evan itu, diam-diam hatinya setuju "Apa yang Evan katakan itu benar,menutupi kebenaran hanya akan mendatangkan kebohongan-kebohongan baru.Tapi gimana caranya?".
"Arina,kamu nggak mau kasih tahu aku sekarang soal permasalahan mu itu?".
"Ehm...bukan begitu maksudku Van,tapi aku masih belum tahu Aku harus berbuat apa"
"Kalau ada apa-apa kamu nggak apa-apa kok kasih tahu aku,aku tidak akan menolak atau merasa terpaksa untuk membantumu".
Mendengar itu,Arina reflek menoleh.Melirik Evan dari ujung matanya.Kalimat Evan tadi,membuat hatinya seperti terguyur es.Sejuk dan haru."Ada yang bersedia membantu ku dengan tulus begitu,rasanya seperti aneh.Apa karena selama ini aku selalu berusaha mengerjakan apapun tanpa bantuan,atau mungkin aku belum pernah menemukan orang setulus Evan.Entahlah...yang pasti aku beruntung mempunyai teman seperti dia."
Diamnya Arina membuat hati Evan banyak bicara tanya."Sebenarnya apa yang di maksud Arina tentang 'kebenaran',Kenapa dia tampak begitu gelisah?".
*
*
*
~Salam Hangat Dari Penulis🤍