Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 RENCANA BARU.
Malam semakin larut, tapi Alya tak kunjung beranjak dari kursi rotan di balkon apartemennya. Segelas anggur merah masih setengah penuh di tangannya, sementara lampu-lampu kota Jakarta berkelip di kejauhan, bagai lautan bintang yang jatuh ke bumi. Angin malam menyapu rambut panjangnya yang terurai, tapi dinginnya angin itu tak mampu menandingi dingin di dalam hatinya.
Baru saja Arga pergi dengan wajah penuh kemarahan dan keputusasaan. Permintaan pria itu jelas ditolak mentah-mentah. Bagi Alya, tidak ada alasan sedikit pun untuk menolong Aluna.
Alya mengangkat gelasnya, menatap cairan merah pekat di dalamnya. Senyum tipis terbentuk di bibirnya. “Jadi, Arga… kau sama sekali tak bisa diandalkan,” gumamnya pelan. “Selama ini aku pikir kau bisa jadi senjata paling tajam untuk menghancurkan mereka. Tapi ternyata… kau hanyalah pria lemah yang mudah dipermainkan oleh sandiwara seorang Aluna.”
Ia meneguk isi gelas itu hingga habis, lalu menaruhnya dengan kasar di meja kecil di samping kursi. Matanya menyipit, memandang jauh ke arah kerlap-kerlip lampu.
Alya tahu.. ya, ia tahu jika Aluna tidak benar-benar kritis. Semuanya hanya akal-akalan, drama murahan yang disutradarai dengan sangat cerdik. Tangisan Aluna, wajah pucatnya, bahkan kabar masuk rumah sakit itu hanyalah cara lain untuk menarik simpati Arga dan orang tua Arga. Dan nyatanya berhasil. Arga kalut, orang tuanya percaya, dan Alya kembali jadi pihak yang disalahkan.
“Bagus sekali, Aluna,” bisik Alya dengan suara lirih namun penuh sarkasme. “Kau memang pantas jadi anak emas keluarga. Pandai berakting, pandai membuat semua orang tunduk di bawah pesonamu. Tapi jangan lupa… aku juga punya permainan sendiri.”
Alya meraih ponsel dari meja, jarinya menari cepat mengirim pesan singkat kepada Dinda. “Kita akan mulai langkah baru. Aku tak lagi membutuhkan Arga. Siapkan semua data tentang proyek Darma, juga daftar investor yang mudah dipengaruhi. Aku ingin semua selesai dalam waktu dekat.”
Beberapa detik kemudian balasan masuk. “Baik, Nona. Saya mengerti. Hati-hati, Aluna semakin licik.”
Alya tersenyum dingin membaca balasan itu. “Licik? Justru itulah yang membuat permainan ini menarik,” gumamnya.
Ia lalu bersandar, menutup mata sejenak. Bayangan wajah Arga sempat melintas dalam pikirannya. Senyum hangat pria itu, janji-janjinya, bahkan malam-malam penuh gairah yang pernah mereka lalui. Tapi semuanya terasa hampa. Arga hanya menjadi pion, bukan raja yang bisa menguasai papan permainan ini.
“Aku tidak butuh pria yang mudah dipermainkan,” bisiknya. “Aku akan menjatuhkan Aluna dan kedua orang tuanya dengan tanganku sendiri.”
Senyum dingin kembali mengembang di bibir Alya, senyum seorang perempuan yang sudah siap melancarkan strategi baru. Di malam itu, ia bersumpah tidak ada lagi ruang bagi keraguan.
Mulai saat ini, permainan sesungguhnya baru akan dimulai.
...----------------...
Di rumah sakit, suasana lorong putih itu dipenuhi aroma obat dan suara mesin monitor yang berdetak pelan. Arga datang dengan langkah tergesa, napasnya memburu setelah menempuh perjalanan penuh kecemasan. Begitu tiba di ruang perawatan, ia disambut senyum lega dari perawat yang baru saja keluar.
“Pasien sudah melewati masa kritis, Tuan. Operasi daruratnya berhasil. Sekarang kondisinya stabil,” ujar perawat itu.
Arga menutup wajah dengan kedua tangannya, menarik napas panjang seolah beban berat sedikit terangkat. “Syukurlah…” gumamnya, sebelum segera melangkah masuk ke dalam ruangan.
Di dalam, Aluna terbaring dengan wajah pucat namun senyum samar tetap mengembang di bibirnya. Selang infus menempel di tangannya, membuat penampilannya semakin rapuh. Tepat di sisi ranjang, Mamah dan Papahnya berdiri, memegang tangan putri kesayangan mereka dengan penuh kasih.
“Arga…” suara Aluna serak, lemah, tapi penuh nada manja. “Aku takut sekali… aku kira aku tidak akan bisa melihatmu lagi.”
Arga menunduk, menggenggam tangan Aluna dengan hati-hati. “Kamu sudah selamat, itu yang terpenting. Jangan bicara terlalu banyak dulu, fokus istirahat.”
Air mata pura-pura jatuh di sudut mata Aluna. Ia menghela napas panjang, lalu tersenyum samar. Dalam hatinya, ada rasa puas yang tak bisa disembunyikan. Lihatlah, Arga. Kau panik demi aku. Kau datang ke sini dan menggenggam tanganku. Bukankah ini bukti kalau aku semakin dekat denganmu?
Mamah menatap Arga dengan sorot mata penuh drama, lalu berkata pelan namun penuh penekanan.
“Arga, kamu lihat sendiri kan? Anak kami hampir kehilangan nyawanya. Semua ini terjadi karena tekanan yang dia dapatkan… terutama dari kehadiran Alya.”
Papah menimpali dengan wajah tegas. “Betul. Gadis itu.. Alya. tidak pantas ada di sekitarmu. Dia hanya membawa masalah. Aluna yang lembut ini sampai sakit karena beban pikiran. Arga, dengarkan kata kami, jauhi Alya sebelum semua ini bertambah parah.”
Arga terdiam. Kata-kata itu menusuk, menimbulkan rasa bersalah sekaligus kebingungan dalam hatinya. Ia tahu Alya keras kepala, ia juga tahu Alya tidak pernah mau tunduk pada siapapun. Tapi melihat Aluna yang pucat, lemah, dan begitu rapuh di hadapannya… hatinya tak kuasa menolak simpati.
Aluna, yang diam-diam menikmati adegan ini, menatap Arga dengan mata berkaca-kaca. Semuanya berjalan sesuai rencana, batinnya puas. Dengan ini, posisi Alya semakin buruk di mata Arga maupun keluarganya. Sedangkan aku… aku semakin melekat di hatinya.
Mamah mengusap lembut rambut putrinya, lalu melirik Arga dengan pandangan tajam.
“Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Arga. Dan jelas, Alya bukanlah yang terbaik itu.”
Papah menambahkan, nadanya dingin. “Kalau kau masih terus dekat dengan Alya, maka kau sendiri yang akan menyesalinya. Ingat itu.”
Arga mengepalkan tangan, mencoba menahan emosi yang bergejolak di dadanya. Di satu sisi, ada rasa ingin membela Alya. Tapi di sisi lain, melihat Aluna terbaring seperti itu membuatnya sulit mengucapkan penolakan.
Aluna menatap Arga dengan tatapan sendu, pura-pura seolah ia sedang berjuang menahan sakit. Senyum samar terbit di bibirnya, seolah ingin menunjukkan bahwa meski lemah, ia masih berusaha kuat demi pria yang ia cintai.
Dan di dalam hati kecilnya, ia tertawa puas. Sandiwara ini berhasil. Alya akan semakin terpojok, dan dirinya semakin menang.