Mahardika Kusuma, seorang pengusaha sukses tak menyangka bisa dibodohi begitu saja oleh Azalea Wardhana, wanita yang sangat ia cintai sejak kecil.
"Sudah berapa bulan?"
"Tiga bulan."
Dika seketika terduduk. Dia tak mengira jika wanita yang sekarang telah resmi menjadi istrinya telah membawa benih orang lain.
"Kakak, Kalau engkau berat menerimaku, baiklah aku akan pulang."
"Tunggulah sampai anak itu lahir."
Hanya itu yang bisa Dika lakukan, tanpa ingin menyentuhnya sampai anak itu lahir.
🌺
"Lea."
"Papa salah, aku Ayu bukan mama," kata putri yang dulu pernah dia senandungkan azan di telinganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33: Biarlah Ayu Mencari Papa
Langkah Mbok Sari terhenti di depan pintu. Dirinya tak tega meninggalkan Ayu dalam keadaan jiwanya terguncang. Dia pun berbalik, kembali menghampiri Dika yang sedang memberikan susu hangat buatannya.
Alunan nada dering dari handphone Dika berbunyi. Ia menghentikan suapan susu hangatnya. Dia ingin meletakkan secangkir susu yang belum sempat dihabiskan Ayu ke atas nakas, namun Mbok Sari mencegahnya.
“Biar Mbok saja, Den.”
Dika pun memberikan cangkir itu kepada Mbok Sari. Ia pun tergesa-gesa meninggalkan ruangan untuk menerima telepon.
Mbok Sari pun melanjutkan apa yang dilakukan Dika pada Ayu. Dia menyuruh menghabiskan susu hangatnya. Namun sayang Ayu menyambutnya dengan gelang kepala.
Kenangan-kenangan bersama Papa Dika kembali berputar. Semua indah tanpa cacat, Dia adalah sosok Papa yang baik untuknya. Tapi apakah semua ini hanya sebuah sandiwara, agar hatinya luluh dan melupakan ayah kandungnya. Atau masih ada banyak cerita yang menyelimuti dengan keberadaannya di keluarga ini.
Dia teringat akan kata-kata lelaki yan ia temui di butik sesaat lalu.
“Jangan kau sembunyikan anak itu. Aku ayahnya, kan. Aku berhak tahu tentang anak kita, Lea,” ucapnya memelas.
Lea adalah ibu kandungnya, berarti dirinya adalah anak dari laki-laki itu.
Ayu terombang-ambing dalam prasangka yang membuatnya ragu. Hampir-hampir dia menafikan semua kebaikan dari orang-orang yang selama ini menyayanginya.
“Mbok, aku ingin tanya sesuatu. Tapi jawab dengan jujur ya,” kata Ayu dengan wajah yang sembab.
“Tanyalah. Mbok tidak akan menutupi apapun pada Non jika Mbok tahu.”
“Mbok, Apakah Papa Dika adalah Papaku?” tanya dengan sendu.
Mbok Sari kaget. Dia diam sejenak untuk menetralkan hatinya yang tiba-tiba tersentak.
Bukan jawaban yang mejadi masalah, tetapi kesiapan Ayu untuk menerima kenyataan ini yang membuatnya sulit untuk berkata-kata.
“Apa itu penting, Non?”
“Mbok, jangan membuatku bingung. Siapa orang tuaku sebenarnya,” ucap Ayu dengan nada tertekan, tangannya pun menggenggam erat. Dia ingin sekali menjerit atas ketidak jelasan sikap orang-orang yang ia sayangi selama ini.
Mbok Sari terdiam, mencoba tenang sebelum bisa memberikan jawaban.
“Apa pentingnya masalah ini, Non. Mbok lihat Papa Dika sangat sayang pada Non. Begitu juga keluarga kakek Wisnu. Tante Sofia dan Om Steve juga sayang pada Non.”
“Kalau memang mereka semua sayang, mengapa mereka menjadikan diriku dari papaku yang sebenarnya. Mengapa kalian menutupi semua dariku. Apa kalian sengaja melakukan ini. Kalian jahat. Kalian kejam. Aku benci kalian semua.”
Ayu pun bangkit dari tepat tidur dan berlari keluar, menuruni tangga dengan cepat.
“Non Ayu ….” panggil Mbok Sari.
Dika yang sedang menerima telpon seketika membuang handphone-nya. Mengejar Ayu yang berlari hampir mencapai pintu.
Dika pun memeluknya dari belakang dengan erat.
“Jangan pergi, ya.” Ucap Dika kemudian.
Hiks…hiks…hiks… Ayu pun menangis. Dia tak tahu harus bagaimana. Setelah beberapa saat, dia pun berbalik.
“Papa, ijinkan Ayu mencari Papa Ayu yang sebenarnya.”
“Ya,” jawab Dika pelan.
Mungkin ini cara yang terbaik untuk meredakan emosi Ayu agar kembali tenang.
“Basuh mukamu dulu. Kita akan cari sama-sama, ya.”
Ayu pun melangkah pergi. Dia kembali ke kamar, untuk membasuh mukanya yang sembab oleh air mata. Dia baru menyadari saat di depan kaca, betapa buruk penampilannya saat ini. Denga sedikit sapuan bedak dan olesan lipstik, ia memperbaiki penampilannya. Sedih boleh, tapi memperlihat pada orang, janganlah.
Lalu Ayu pun menemui papa Dika.
“Siap?” tanya Dika.
“Ya,” jawab Ayu pelan.
Dengan wajah tertunduk, mereka kembali ke dalam mobil yang sesaat lalu baru mereka tinggalkan. Setelah memasang sabuk pengaman, Dika pun menghidupkan mesin mobilnya dan berbalik arah meninggalkan halaman rumahnya.
“Kita kemana?” tanya Dika.
“Ke butik tadi, Pa.”
“Baiklah.”
Dika mengarahkan laju mobilnya ke tempat yang dituju. Tiba di sana, dia berdiam diri sejenak, tidak bergerak dan tidak turun. Begitu juga Ayu, Dia tampak ragu.
“Kita tunggu di sini atau kita turun, mencarinya di dalam butik.”
“Tak tahulah, Pa. Ayu lelah. Ayu ingin istirahat,” ucapnya. Dia pun bersandar lalu memejamkan mata.
“Baiklah, kita pulang.,” ucap Dika sambil menghembuskan nafas yang membuat dadanya terasa sesak.
Dika memutar kembali mobilnya, menyusuri jalanan dengan santai hingga sampai di rumah.
“Maafkan Ayu, Pa. Tak bisa lagi kembali ke kantor.”
“Nggak apa-apa. Sekarang istirahatlah,”
Ayu pun mengangguk. Dia pun melangkah menaiki tangga dengan langkah berat. Di ujung tangga dia berhenti sejenak, menatap kepergian Dika dengan sendu.
Tampaknya dia bisa memanggil papa pada lelaki yang kini melangkah melewati pintu, hanya sampai di sini. Meski berat sekali beban kesedihan yang dia rasa, tapi dia mencoba untuk bisa berfikir waras.
Dengan hati yang masih diliputi dengan ketidak pastian, ia pun merebahkan tubuhnya di atas kasur. Lebih baik berhenti sejenak untuk mengistirahatkan jiwanya yang lelah, dari pada melangkah tapi tak tahu arah.
***
Dika tampak gelisah di balik meja kerjanya. Menangani beberapa perusahaan sekaligus membuatnya tak bisa berleha-leha dengan masalah pribadi. Namun bukan berarti dia tak peduli. Cukuplah ia menyuruh seseorang untuk menyelediki masalah ini.
Beberapa kali dia melihat jam tangannya. Waktu sudah menunjukkkan pukul 5, namun orang yang ditunggunya belum datang juga.
“Assalamualaikum, Mr.” Akhirnya orang itu datang juga.
“Waalaikum salam. Bagaimana, sudah kamu dapatkan?” tanya Dika tanpa basa-basi.
Dia segera menyerahkan file yang telah didapatnya kepada Dika yang langsung ia buka dengan laptop yang ada di depannya. Tak sulit bagi Dika untuk mendapatkan copy dari cctv butik yang Ayu kunjungi.
“Siapa dia?” tanya Dika sambil mengamati video yang ada di hadapannya. Sesaat kemudian ia manggut-manggut.
Pemikirannya melayang kembali ke masa lalu, saat Lea akan melahirkan. Bukankah lelaki ini yang dulu menolongnya mengantarkan mereka ke rumah sakit.
Apa hubungannya dengan Ayu. Benarkan dia ayah biologis Ayu.Tak ada kemiripan sedikitpun dengan Ayu. Atau dia hanya orang yang menyampaikan kabar pada Ayu, bahwa dirinya bukan Papa kandung Ayu.
“Selidiki terus lelaki ini, aku ingin identitas seluruh identitas lelaki ini.”
“Baik, Mr.”
“Oh, ya. Aku ingin kamu mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan sample untuk tes DNA. Aku ingin tahu apakah dia benar-benar ayahnya putriku atau bukan.”
“Baik, Mr.”
Lelaki itu pergi meninggalkan ruangan. Dika pun segera membereskan pekerjaannya yang masih tersisa. Tak berapa lama, akhirnya semua telah benar-benar selesai. Di atas mejanya pun telah bersih, menyisakan sebuah pigura yang berisikan wajah cantic yang kini mulai mengisi hatinya. Orang hanya mengira itu adalah gambar istrinya yang telah lama meninggal dunia, padahal bukan.
Bagaimana keadaannya sekarang, Apa dia sudah makan?
Jangan-jangan Ayu tidak berselera karena perasaannya yang sedang tak baik-baik saja. Kebetulan di depan ada penjual tahu campur, makanan kesukaan Ayu. Okelah, dia mampir sebentar untuk membelikannya. Semoga dia suka.
mampir juga di karya aku ya🤭