SEAN DAN SAFIRA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tiga puluh satu
happy reading yayyyy!!!
maap kan kalau ada typo dan kalimat rancu. tolong diingatin ya kalo ada scene yang ngaco, soalnya ini aku rombak dari cerita aslinya hehe
****
Entah ada apa yang salah dengan kepalanya. Seingat Safira ia adalah lulusan terbaik dari Universitas yang terbaik pula di Indonesia. Ia mampu memimpin perusahaan menggantikan sang ayah di usianya yang terbilang muda. Safira mampu menarik banyak investor untuk bekerja sama dengannya.
Safira yakin ia masih sangat pintar memahami situasi, ia tidak mudah terbujuk rayu. Apa lagi menyerah pada lelaki. Tapi ... tapi kemana kepintarannya itu saat ini? Kemana kewarasannya pergi? Safira bahkan tidak mengerti mengapa otaknya mendadak lemot seperti ini.
Sean menciumnya, dan Safira jelas tak siap menerima itu. Tetapi, bukan menghindar atau mendorongnya menjauh, Safira malah berdiri kaku membiarkan Sean terus memangut bibirnya. Ia terlena, mendadak tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Safira merasakan itu, pergerakan bibir Sean yang menjelajahi rongga mulutnya. Menuntut ciuman walau yang sedari tadi Safira lakukan hanyalah mematung. Namun gerakan jari Sean yang sudah menangkup tengkuknya, menyulut lahar panas di tubuh Safira.
Dan semua itu cukup membuat Safira benar-benar kehilangan kewarasannya. Ia terpejam membiarkan Sean mendorong tubuhnya hingga terbentur dinding di belakang. Tangan yang semula berada di wajah Sean perlahan turun ke bahu, mencengkram kuat kaos yang di kenakan lelaki itu.
"Sean ...," desahnya di sela-sela pertemuan bibir mereka.
Cukup lama ia membiarkan Sean yang mendominasi ciuman itu sampai tidak sadar kalau kini ia mulai membalasnya. Katakan lah otak Safira mulai konslet saat ini, tapi ia sebenarnya juga menikmati pagutan itu.
Jadi seperti ini rasanya?
Jadi senikmat ini saling berbalas ciuman.
"Eugh ..."
Ia mengerang saat satu tangan Sean turun mengelus punggungnya, membelai lembut baju yang ia kenakan. Tangan itu semakin turun hingga berhasil mendekap pinggangnya, menarik lebih dekat sampai tubuh mereka melekat.
Safira merasakan jantung Sean berdebar sama kuatnya dengan yang ia rasa. Berdeta tak karuan seiring menggilanya ciuman yang mereka ciptakan. Sesekali Sean menghentikan pagutannya saat di rasa oksigen di sekitar mereka mulai menipis, lalu melanjutkannya lagi lebih hebat dari sebelumnya.
Kedua kaki Safira rasanya lemas sekali, apalagi begitu lidah Sean menarik miliknya untuk saling membelit, sekejap membuat tubuh Safira blingsatan. Bulu-bulu tipis di tengkuknya meremang, Safira butuh kekuatan sebelum ia berubah menjadi jelly.
Astaga ....
Sean menyentuh dadanya, bagaimana bisa Safira tidak menyadari kalau tangan lelaki itu sudah menyusup masuk ke dalam bajunya. Ini gila ... gila ... Safira harus menghentikannya, ini harus segera dihentikan sebelum semakin kacau, sebelum Sean melakukan yang lebih jauh.
Seperti mendapatkan akalnya kembali, Safira kemudian mendorong bahu Sean kuat-kuat hingga pagutan bibir mereka terlepas. Tentu Sean tersentak kaget, mata lelaki itu membola dan menatap Safira dengan deru napas yang menggebu, terengah.
Menghembuskan napas pendek-pendek dan tidak beraturan, hal yang sama yang dilakukan oleh Safira. Tangannya yang masih berada di dalam baju Safira dan berada tepat di atas dada perempuan itu langsung disentak keluar oleh si pemilik tubuh.
Sean dapat melihat sorot mata kecewa saat Safira menatapnya. Ia tahu apa yang sudah ia lakukan kali ini benar-benar di luar batas. Dan rasa bersalah tiba-tiba melingkupi benaknya.
"Fir ...," ia bahkan sampai kehilangan seluruh kalimatnya.
Apa yang harus ia katakan?
Maaf kan?
Tapi untuk apa ia meminta maaf kalau jelas-jelas ia memang menginginkan ini.
"Fir ... aku—"
"Lupain aja ya, yang tadi." Kepala perempuan itu menunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Tadi aku ... aku juga gak sadar."
Mengusap tengkuknya untuk mengurai rasa gugup, Sean berpaling tidak ingin menatap wajah Safira. Bisa kembali gila ia kalau melihat wajah itu lagi. Tapi lebih dari itu, Sean tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Safira. Sean benar-benar kehilangan kalimatnya.
"Nanti yang cuci piring aku aja, kamu bisa istirahat." Setelah mengatakan itu, Safira segera keluar dari dapur, meninggalkan Sean dengan pikiran kacau.
Setelah perempuan itu pergi entah kemana—mungkin sedang menenangkan diri sama sepertinya. Sean langsung menyandarkan tubuhnya pada tembok yang tadi sempat ia gunakan untuk menyudutkan tubuh Safira.
Kepalanya tidak berhenti menggeleng, memaki dirinya, dan terus menanyakan dimana ia menyimpan otaknya tadi? Sean berusaha mencari kebenaran atas kelakuannya tadi, semoga saja masih ada celah yang mengatakan kalau perbuatannya pada Safira itu memang benar.
Katakan sialan pada surat perjanjian yang tidak memperbolehkan ia menyentuh tubuh sang istri sendiri. Mereka sudah halal, apa salahnya? Ya kesalahan itu memang tercipta dari dirinya. Seandainya ia tidak mengajukan surat perjanjian pernikahan itu, ia sudah leluasa menyentuh Safira dimana saja.
Persetanlah dengan hubungannya bersama Bella, ia bisa merahasiakan itu.
Shitttt!! Sean tidak menyangka kalau menyentuh wanita yang telah halal untuknya bisa senikmat itu.
Dan di tengah-tengah kegamangannya, ponselnya bergetar menandakan satu pesan masuk ke dalamnya.
Bella : sayang, kamu lagi apa? Aku kangen, jangan nakal di sana ya. Aku bakalan pulang cepat.
Saat itu juga Sean sadar dimana kesalahannya.
****
Pada akhirnya Safira lah yang mencuci piring bekas makan malam mereka. Ingin sekali rasanya Safira mengumpat pada lelaki itu. Sialaaannnn! Jika tahu seperti ini sudah sejak awal saja ia yang mencuci. Tidak perlu sampai beradegan mesum seperti tadi.
Kan, double sialan!
Sudahlah, lebih baik ia buru-buru masuk ke kamar, menghindari Sean lebih baik saat ini. Safira juga bingung apa yang harus ia katakan pada lelaki itu saat mereka bertemu nanti. Memang baiknya ia menghindar saja.
Setelah mengeringkan tangannya, Safira lalu mematikan lampu dapur dan keluar menuju lantai atas, dimana kamarnya berada tepat di sebelah kamar Sean. Dan begitu kakinya menapak di lantai dua itu, matanya langsung bersibobrok dengan mata Sean yang sedang bersandar di depan pintu kamarnya.
Di depan kamarnya?
Kenapa lelaki itu ada di sana?
"Ngapain di depan kamar aku?" Sebenarnya Safira tidak ingin menegur lelaki itu, tapi apa daya, ia ingin sekali cepat-cepat masuk ke dalam kamar untuk mengistirahatkan kepalanya yang mendadak konslet setelah di cium Sean tadi.
Ahhhh!! Coba jangan ingatakan Safira tentang kejadian itu.
"Aku mau masuk, lebih baik kamu juga masuk ke kamar kamu. Ini udah malam."
"Aku mau ngomong, Fir."
"Tapi aku udah capek." tolak Safira.
Sean mendesah gusar dengan tubuh yang masih bersandar di depan pintu kamar Safira. Tangannya yang semulai bersidekap di dada, kini terlepas di sisi tubuh.
"Kamu marah, kan?" Ia menunduk, tidak sanggup menatap Safira. "Aku juga gak tau, Fir, kenapa aku bisa berbuat kayak gitu tadi. Tapi ...," ia menggantung kalimatnya untuk menatap wajah Safira. "Aku gak akan minta maaf karena jujur, aku memang mau cium kamu."
"Kamu lupa perjanjiannya Sean."
"Iya ... aku tahu." helanya pasrah. "Aku bener-bener gak bisa ngendaliin diri aku tadi."
Safira berpaling seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku maafin kamu kali ini."
"Tapi aku gak lagi minta maaf, Fir."
Memicik, Safira kemudian mendengkus tidak suka. "Kamu sendiri yang bilang kalo kamu masih punya pacar Sean! Kamu yang memiliki wanita lain di tengah pernikahan kita. Aku gak mau ya, disentuh sama milik perempuan lain meskipun aku sama kamu udah halal—terlepas dari perjanjian kita."
Sean mengacak-ngacak rambutnya dengan kasar. Kepalanya pening sekali. Baru kali ini ia merasa begitu sakit menyentuh perempuan lain, terlebih itu adalah istrinya sendiri.
"Maka itu, sebelum kita semakin jauh. Bisa kita bersikap biasa aja?" ujar Sean pelan, namun masih bisa Safira dengar.
"Maksud kamu?" Keningnya berkerut dalam. "Bukannya kita juga biasa aja.?"
"Nggak." Ia menggeleng. "Sikap kita ... Gue mau sikap kita yang seperti suami istri itu cukup kita tunjukan di depan kedua orang tua kita aja. Please, selama di rumah, bersikap layaknya orang yang gak saling kenal."
Tunggu?
Apa katanya tadi?
Apa yang lelaki itu katakan?
Tidak saling kenal?
Kenapa?
Safira merasakan jantungnya tiba-tiba saja mencelos. Kalimat itu sungguh sangat menyakiti hatinya. Apa maksud Sean mengatakan hal seperti itu? Apa yang ia rencanakan setelah berhasil menyentuh tubuhnya, setelah berhasil menciumnya lalu mengatakan kata-kata sialan seperti itu?
Sial!
Tanpa menunggu waktu lama Sadira segera mendaratkan satu tamparan keras ke pipi lelaki itu.
"Fir?"
"Bukan kah sebuah tamparan memang harus di berikan untuk orang asing yang telah sebarangan mencium kita?" Safira berdecih seraya menggeser tubuh Sean dari depan pintu kamarnya. "Dan saya rasa itu tidak cukup untuk orang yang telah lancang mencium saya, padahal kita tidak saling kenal."
****
terima kasih sudah baca cerita ini, jangan lupa like, komen, dan share ke teman-teman kalian. jangan lupa juga vote yaa biar bisa ke ranking 10 hahaha
udah dihapus ya thor?
dimana kalau mau baca kisah mereka lagi...🥺
tp masih ada yg belum diubah itu thor.
hmmm fir fir.. mending kamu biarin jona sm diana. Klo sama medusa, Ga berasa canggung apa ya jdi satu keluarga sm mantan tmn tidur suami? 🙄
lagian knp jd ngurusin dia
otak dipke dong
Ga ada alesan bantuin atau apapun itu. Ingat sdh berumah tangga.
Lemah bgt jd cow, gmn mau ngelindungin anak istri
Bukan kyk sean yg plin plan
Dia begitu krn obsesinya sendiri.