Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23. Mulai Nyaman
23
Patrick mengerang penuh kenik_matan ketika Ayumi menggesekkan kedua asetnya dengan ketat pada batang kejan_tanannya.
"Ughh..." Ayumi melenguh ketika muntahan milik Patrick mengenai pelipisnya meski ia sempat menghindar.
"Kalo dalam waktu lima menit kamu bisa 'bangun' lagi, kamu boleh 'masu_kin'." tantang Ayumi sambil menyeka pelipisnya dengan tisu.
"Apa?" Patrick masih terengah akibat habis eja_kulasi.
Ayumi tersenyum miring.
"Aku gak suka cowok yang letoy. Kalo kamu kuat, kamu bisa minta kapan aja kamu mau."
"Kasih waktu dong, jangan lima menit. Bisa K.O nih burung gak bisa berkicau lagi." Patrick memelas.
"Ya udah, lima belas menit. Kalo kamu gak mampu, kamu tereliminasi ya. Aku cari yang lain." ancam Ayumi seenaknya.
"Aku tinggal bocorin rahasia ini ke Om Ranvir. Beres." Patrick setengah bercanda namun ia serius.
"Gila ya, kamu!" umpat Ayumi.
Patrick tergelak kemudian berlari ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
**
Ayumi menatap Patrick dari balik cangkirnya, senyum tipis bermain di sudut bibirnya. “Patrick,” ucapnya lembut, “kamu tahu kan, aku selalu tertarik dengan hal-hal tersembunyi di balik layar dunia hiburan. Terutama… tentang Aldrich.”
Patrick yang sedang mencatat sesuatu di tablet menoleh pelan. “Aldrich lagi?”
“Hm.” Ayumi mengangguk santai. “Dia terlalu misterius untuk ukuran seorang aktor sepopuler itu. Tak pernah benar-benar terlihat dekat dengan siapa pun. Tapi aku yakin, pria seperti dia pasti punya seseorang yang disembunyikan dari publik. Mungkin seorang kekasih rahasia?”
Nada bicaranya ringan, tapi matanya tajam, seperti sedang mengukur setiap reaksi dari Patrick.
Patrick berpikir sejenak sebelum menjawab, berusaha menata kalimatnya agar terdengar hati-hati. “Sejujurnya, aku juga pernah dengar gosip semacam itu. Tapi selama aku bekerja dengannya… aku gak pernah melihat tanda-tanda yang jelas. Aldrich jarang membuka urusan pribadinya, bahkan ke rekan terdekat.”
Ayumi mengangkat alisnya, pura-pura kecewa. “Ah, sayang banget ya. Kupikir kamu, dengan kemampuanmu yang cekatan itu, bisa menggali sedikit lebih dalam.” Ia menatap Patrick dengan tatapan lembut tapi penuh makna. “Kamu tahu, kadang informasi kecil bisa jadi sangat berharga, apalagi di dunia yang penuh rahasia ini.”
Patrick menelan ludah. “Maksud kamu… ingin aku mencari tahu lebih dalam tentang Aldrich?”
Ayumi menaruh cangkir tehnya dan menatap Patrick lebih dekat, suaranya menurun jadi nada hampir berbisik. “Anggap aja rasa penasaranku pribadi. Aku sudah lama mengenal banyak pria di industri ini, tapi Aldrich… dia tetap khas dan berbeda. Tenang, karismatik, tapi dingin. Aku ingin tahu… siapa yang bisa menembus tembok es itu setelah ku tinggalkan.”
Patrick mengangguk ragu. “Aku gak yakin bisa, Ayumi. Tapi kalau nanti aku menemukan sesuatu, aku akan beritahu.”
Ayumi tersenyum puas, lalu berdiri dan berjalan pelan ke arahnya. Ia menepuk lembut bahu Patrick. “Bagus. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu, Patrick. Dan jangan terlalu tegang, anggap aja ini… tugas kecil antara kita berdua.”
Patrick hanya mengangguk, tapi pikirannya penuh pertanyaan.
Sementara Ayumi kembali duduk, pandangannya menerawang ke jendela besar. Dalam hatinya, rasa ingin tahunya tentang Aldrich semakin menguat, bukan hanya karena gosip, tapi karena sesuatu yang samar-samar, intuisi seorang wanita yang terbiasa membaca rahasia lewat sorot mata pria.
"Aku ingin tahu, apakah ada wanita lain yang mampu sehebat diriku. Menjadikanmu budak cinta yang bertekuk lutut di bawah kakiku." Ayumi berucap sambil menyunggingkan senyum penuh makna. "Namun jika tidak, itu artinya hatimu hanyalah milikku. Kamu gak pernah bisa mencintai wanita manapun setelah aku. Karena aku istimewa dan tidak tergantikan." Ucapnya bangga.
"Bener juga sih, kalo emang Aldrich memutuskan untuk tidak memiliki pasangan hidup setelah hubungannya dan Ayumi berakhir hampir belasan tahun lalu, itu artinya Ayumi adalah satu-satunya wanita yang berharga baginya." Patrick turut menyimpulkan dalam hati.
**
Senja turun perlahan, memantulkan warna jingga keemasan di permukaan laut. Ombak kecil bergulung lembut, dan semilir angin membelai kulit setiap orang yang berada di area pesta barbeque malam itu. Di teras vila pribadi milik Aldrich yang menghadap langsung ke pantai, aroma daging panggang dan bumbu marinasi memenuhi udara, menciptakan suasana yang hangat sekaligus menenangkan.
Allen sibuk di dekat meja panjang, membantu menata piring dan minuman. Ia tampak mengenakan kaos putih tipis dan celana pendek krem, pakaian sederhana yang tidak terlalu mencolok tapi tetap rapi di matanya. Sesekali ia menyibak rambutnya yang tertiup angin, berusaha tampak santai padahal jantungnya berdetak cepat.
Di sisi lain, Aldrich tengah memanggang daging di atas panggangan besar, ditemani Liang yang sesekali mencicipi bumbu dan memberi komentar seperti seorang juru masak profesional. Tawa mereka terdengar akrab, dan beberapa staf lain ikut membantu sambil menikmati suasana santai sore itu.
“Allen,” panggil Aldrich sambil menoleh setengah, “tolong ambilkan garam di meja belakang.”
“Baik, Mas,” jawab Allen cepat, melangkah ke arah meja yang dimaksud. Namun saat ia berbalik membawa toples kecil itu, Aldrich juga bergerak mendekat tanpa sengaja. Tubuh mereka bertabrakan ringan.
“Aduh, maaf!” Allen hampir menjatuhkan garam itu, tapi Aldrich cepat menangkap tangannya sebelum toples terlepas.
Gerakan itu membuat jarak mereka begitu dekat. Allen bisa merasakan hawa panas dari tubuh Aldrich yang masih hangat karena berdiri di dekat panggangan. Wajah mereka hanya berjarak beberapa jari, cukup untuk membuat napas Allen tersendat sesaat.
“Gak apa-apa?” tanya Aldrich dengan nada tulus.
Allen mengangguk buru-buru, “I-Iya… gak apa-apa, Mas.”
Namun jantungnya berdebar kencang tanpa alasan yang bisa ia kendalikan. Liang, yang melihat kejadian itu dari jauh, hanya tersenyum kecil sambil menggeleng pelan. Ia tahu betul apa yang sebenarnya membuat Allen gugup.
Pesta barbeque terus berlanjut. Musik akustik pelan mengalun, lampu-lampu gantung di sekitar vila menambah suasana hangat. Beberapa orang staf dan security duduk santai di kursi kayu, menikmati makanan dan minuman. Aldrich tampak santai, sesekali berbincang dengan kru dan staf, tapi entah kenapa pandangannya sering kembali ke arah Allen.
Allen sendiri berusaha sibuk, menghindari kontak mata langsung. Tapi setiap kali Aldrich lewat di dekatnya, entah bagaimana mereka selalu bersentuhan, bahu saling beradu, tangan bersinggungan, atau bahkan lengan Allen tersentuh oleh punggung tangan Aldrich yang sedang mengambil piring.
Sekali, saat Allen berjalan membawa nampan berisi gelas-gelas minuman, langkahnya terhenti karena seseorang lewat di belakang. Tepat pada saat yang sama, Aldrich menoleh untuk mengambil saus, dan brukk! ... minuman itu hampir tumpah. Aldrich refleks memegang pinggang Allen agar tidak kehilangan keseimbangan.
“Pelan-pelan,” ucap Aldrich lembut, suaranya serak karena terpapar udara yang mulai lembab.
Tangannya masih di sana, menggenggam sisi pinggang Allen dengan mantap.
Allen menahan napas, mencoba tetap profesional. Tapi kehangatan genggaman itu membuat pipinya terasa memanas.
“Makasih, Mas…” ia berusaha melepaskan diri perlahan.
Liang yang melihat dari jauh segera menghampiri mereka dengan senyum canggung. “Mas Aldrich, biar aku yang bantu urus minumannya. Allen, kamu bisa bantu di bagian meja makanan aja, ya?” suaranya ringan, tapi tatapannya seolah memberi isyarat agar Allen bisa bernapas lega.
Aldrich menatap Liang heran, tapi akhirnya mengangguk. “Oke. Tapi Allen, hati-hati lain kali. Aku gak mau kamu jatuh karena hal sepele.”
“Baik, Mas,” jawab Allen cepat sambil menunduk dalam.
Beberapa jam kemudian, pesta kecil itu mulai mereda. Orang-orang berpencar, sebagian menuju pantai, sebagian lain duduk melingkar di dekat api unggun kecil. Aldrich duduk di kursi bambu, menatap lautan yang kini berkilau karena pantulan bulan.
Allen datang membawa sebotol minuman dingin dan meletakkannya di meja kecil di samping Aldrich. “Ini, Mas. Mas mungkin haus.”
Aldrich menoleh dan tersenyum samar. “Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan.”
Ia menepuk kursi kosong di sebelahnya. “Duduklah sebentar. Kamu juga udah bekerja seharian.”
Allen ragu. Tapi Liang, yang duduk tidak jauh dari situ, mengangguk memberi izin halus. “Duduk aja, Allen. Gak apa-apa.”
Allen akhirnya duduk. Suasana hening sesaat. Hanya suara debur ombak dan api unggun yang berderak pelan.
“Tempat ini tenang banget ya,” ucap Aldrich pelan. “Tapi entah kenapa… aku jarang bisa menikmati ketenangan seperti ini.”
Matanya menatap lurus ke laut, dalam dan penuh pikiran.
Allen menatapnya sekilas, lalu menunduk. “Mungkin karena Mas terlalu sibuk aja. Atau karena Mas gak pernah punya waktu untuk… diri sendiri.”
Aldrich menoleh, sedikit terkejut dengan jawaban itu. “Kamu bicara seperti orang yang tahu rasanya menjalankan sebuah peran.”
Allen tersenyum tipis, “Mungkin karena aku juga gak punya waktu untuk menjadi diriku sendiri, Mas.”
Ada jeda panjang. Liang yang mendengar dari kejauhan menegakkan tubuhnya sedikit, khawatir kalau percakapan itu akan berlanjut ke arah yang bisa membuka jati diri Allen.
Aldrich hanya menatap Allen beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan kembali ke laut. “Kamu aneh, Allen, terus kamu bilang kamu lagi nyamar atau apa gitu.” gumamnya pelan, terkekeh kecil.
Allen tercekat.
“Tapi… aku rasa, itu yang membuatku nyaman ngobrol sama kamu. Kamu juga gak menganggapku sebagai aktor yang perlu diistimewakan. Kamu lebih ke peran sebagai teman atau saudara.”
Allen tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya tersenyum canggung, menunduk, dan menatap pasir di bawah kakinya.
Di kejauhan, Liang menarik napas lega. Ia tahu, selama ia masih bisa menjaga jarak halus antara keduanya, rahasia Allen masih aman, setidaknya untuk malam ini.
Dan di bawah sinar bulan yang redup, ketiganya terdiam dalam pikiran masing-masing.
Namun hanya satu hal yang pasti, sejak pesta barbeque itu, jarak antara Aldrich dan Allen mulai terasa semakin sulit diukur.
Apakah Aldrich mulai merasa nyaman?
.
YuKa/ 271025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍