Alena Prameswari percaya bahwa cinta bisa mengubah segalanya.
Tapi setelah tiga tahun menikah dengan Arga Mahendra, ia sadar bahwa kesetiaan tak akan berarti bila hanya satu pihak yang berjuang.
Saat pengkhianatan terbongkar, Alena memilih pergi. Ia menerima proyek desain di Dubai... tempat baru, awal baru.
Tanpa disangka pertemuan profesional dengan seorang pangeran muda, Fadil Al-Rashid, membuka lembaran hidup yang tak pernah ia bayangkan.
Fadil bukan hanya pria miliarder yang memujanya dengan segala kemewahan,
tetapi juga sosok yang menghargai luka-luka kecil yang dulu diabaikan.
Namun cinta baru tak selalu mudah.
Ada jarak budaya, gengsi, dan masa lalu yang belum benar-benar selesai. Tapi kali ini, Alena tak lari. Ia berdiri untuk dirinya sendiri... dan untuk cinta yang lebih sehat.
Akankah akhirnya Alena bisa bahagia?
Kisah ini adalah journey untuk wanita yang tersakiti...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 21.
Senja merayap perlahan di atas cakrawala gurun. Langit berwarna keemasan, memantul di hamparan pasir yang berkilau seperti serpihan kaca. Udara hangat, tapi tidak menyengat. Hanya angin lembut yang membawa aroma khas tanah dan bunga kering yang tumbuh jarang-jarang di sela bebatuan.
Alena berdiri di dekat tenda putih yang sederhana namun indah. Gaun panjang berwarna gading membalut tubuhnya, berbaur sempurna dengan warna gurun. Di depan tenda lentera-lentera kecil menyala, menebar cahaya temaram keemasan di sekeliling mereka.
“Indah, ya?” bisik Alena.
Suara lembutnya seolah tenggelam dalam gemuruh halus angin malam.
Fadil berdiri tak jauh di belakangnya, tangannya bersedekap di depan dada. “Indah... tapi bukan karena langitnya. Karena seseorang berdiri di bawahnya.”
Alena menoleh, matanya menatap lembut ke arah pria itu.
Fadil tersenyum, melangkah mendekat. “Begini rasanya, ketika seseorang membuatmu merasa hidup kembali.”
Fadil menunduk sedikit, mengambil sesuatu dari dalam sakunya. Sebuah kotak kecil dari kayu tua, dipoles halus dengan ukiran Arab di sisi-sisinya.
“Ini… bukan malam yang mewah,” ujarnya pelan. “Tidak ada pesta, tidak ada musik. Tapi mungkin… di sinilah tempat yang paling jujur untukku mengucapkan sesuatu.”
Alena menatap kotak itu, lalu menatap Fadil.
“Fadil…” suaranya gemetar bukan karena takut, tapi karena detak jantungnya yang tiba-tiba terasa keras sekali.
Pria itu menatap Alena dalam-dalam. “Aku pernah hidup dalam istana megah, tapi aku tak pernah merasakan rumah. Aku pernah dikelilingi ribuan orang, tapi selalu merasa sepi.”
Ia menarik napas perlahan, lalu melanjutkan dengan suara serak.
“Lalu aku bertemu kamu... di ruang proyek yang berantakan, di bawah lampu-lampu kerja yang temaram. Kamu hanya bekerja, dan hidup dengan cara sederhana… tapi entah kenapa, semua itu membuatku ingin menjadi manusia yang lebih baik.”
mata Alena sudah memanas. “Tapi aku bukan wanita sempurna, Fadil.”
“Aku pun bukan pria yang sempurna.” Fadil tersenyum kecil, lalu berlutut perlahan di atas pasir.
“Sempurna itu bukan milik manusia. Tapi… aku tahu satu hal, aku ingin menua bersamamu. Aku ingin membangun rumah yang bukan dari marmer dan emas, tapi dari doa dan kejujuran.”
Kotak kayu itu terbuka. Di dalamnya, bukan cincin berlian, melainkan sebatang perak sederhana berbentuk bulan sabit. Buatan tangan pengrajin tua dari desa tempat proyek mereka berada.
“Ini bukan simbol kekayaan, tapi pengingat. Bahwa dari setiap kegelapan malam, selalu ada cahaya kecil yang menuntun kita pulang.”
Alena menutup mulutnya dengan tangan, air matanya menitik tanpa bisa dicegah.
“Fadil…” suaranya bergetar, tapi penuh keyakinan. “Aku takut... kalau semuanya terlalu indah untuk jadi nyata.”
“Alena... Uhibbuki fie kulli lahdzotin tamuuru fie hayati. Hal tatazawajani?"
Fadil mengatakan mencintai Alena dan meminta wanita itu menikah. Itu sebuah... lamaran.
Fadil menatap Alena lembut, ia tidak memaksa dan hanya menunggu.
Alena menatap tangan itu lama, jemarinya gemetar saat menerima. Dan pada saat itu, semua rasa takutnya pelan-pelan larut dalam keheningan gurun.
“Bismillah, Ana aqbalu khitbatak.“
Langit berubah menjadi violet tua. Bintang-bintang mulai muncul satu per satu, seperti saksi diam yang memberkati pertemuan dua jiwa yang telah melewati badai.
Fadil berdiri perlahan, lalu menggenggam tangan Alena. Ia menatap wajah wanita itu yang basah oleh air mata, namun tersenyum lembut. Ia menarik Alena pelan ke dalam pelukan. Tidak erat, hanya cukup untuk membuat dunia terasa berhenti sesaat.
Alena menutup mata, membiarkan kepalanya bersandar di dada Fadil.
Di luar tenda, pasir berkilau karena sinar bulan. Mereka duduk berdampingan, berbagi teh hangat dari teko tembaga kecil.
Tidak banyak kata yang diucapkan setelah sesi lamaran sederhana namun penuh makna itu, hanya percakapan kecil yang terasa lebih indah dari puisi mana pun.
“Aku akan pulang ke Indonesia dulu,” kata Alena pelan. “Ibuku sedang sakit, aku ingin menemuinya. Dan juga, aku perlu membicarakan tentang kita.“
“Aku akan menunggumu.”
Alena tersenyum, ia tahu perjalanan belum berakhir. Namun seorang pangeran tanpa gelar, dan seorang wanita yang pernah kehilangan segalanya… akhirnya menemukan rumah di hati satu sama lain.
Kaya Jailangkung aja, datang tak dijemput pulang tak diantar /Facepalm/
Karena dianggap Lady Diana sering melanggar aturan selama menjadi istrinya Pangeran Charles...