NovelToon NovelToon
My Lovely Cartel

My Lovely Cartel

Status: sedang berlangsung
Genre:Kriminal dan Bidadari / Nikah Kontrak / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Psikopat itu cintaku / Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?

Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HP Baru

Setelah mandi berlama-lama dan ganti baju pakai jeans, kaos, sama kardigan tipis, aku pun keluar dari kamar utama.

Rasanya aneh banget, seakan aku lagi nyelonong masuk ke tempat yang terlarang.

Aku tengok ke arah pagar di atas, tapi karena enggak lihat siapa pun, jadi aku memutuskan buat jalan dari satu ruangan ke ruangan lain, memperhatikan seisi rumah besar yang sekarang, entah bagaimana jadi rumah aku juga.

Pelan-pelan aku turun tangga, mataku memperhatikan sekeliling. Dekorasinya modern, semuanya terlihat mahal banget.

Saat aku masuk ke salah satu ruangan, aku lihat Benny lagi duduk santai di sofa. Dia menengok sedikit ke arahku, senyum miring terbentuk di bibirnya. “Selamat pagi, Nona Arnold.”

“Pagi,” bisikku pelan. Tenggorokanku kering banget, tapi akhirnya aku bertanya juga, “Dapurnya di mana, ya?”

Dia tunjuk ke kiri. “Ke arah sana.”

“Makasih.”

Begitu aku masuk ke dapur modern yang mengkilap itu, aku lihat ada seorang wanita, mungkin umur lima puluhan atau enam puluhan. Aku memang payah banget kalau disuruh tebak umur orang.

Matanya langsung melirik ke arahku. Beberapa detik dia memandangku dari atas sampai bawah, dan sumpah, momen itu canggung banget.

“Selamat pagi,” sapaku, suaraku agak bergetar karena gugup.

Perlahan dia senyum, jalan mendekat, terus bilang, “Selamat pagi, Nyonya Arnold. Selamat datang di rumah besar ini. Saya Juwiie, pengurus rumah Tuan Arnold.” Dia tertawa. “Atau bisa dibilang, pengurus rumah Nyonya juga.”

Dia melambaikan tangannya ke arah dapur. “Saya bakal bantu apa pun yang Nyonya butuhkan.”

“Ah … panggil aja aku Ree,” jawabku cepat, merasa enggak nyaman banget dipanggil Nyonya Arnold. Masih butuh waktu buat terbiasa sama status pernikahan ini. Aku tunjuk ke teko kopi. “Boleh aku minta kopi?”

Alisnya naik sedikit, terus dia jalan mendekat, menyentuh lengan bawahku sambil senyum lembut. “Ini rumah kamu, Ree. Kamu enggak perlu minta izin buat apa pun.”

Entah kenapa, ucapan itu bikin dadaku sesak banget. Emosi yang dari tadi aku tahan tiba-tiba meledak.

Baru dua puluh empat jam terakhir hidupku kacau balau dan sekarang, cuma karena Juwiie bicara manis begitu, air mataku malah jatuh sendiri.

Aku cepat-cepat mengibaskan tangan di depan muka, kedip-kedip biar air matanya enggak keluar makin banyak. “Maaf ya. Aku cuma … Hemm semua ini rasanya berat banget.”

Dia mengelus pelan lenganku, tatapannya lembut banget. “Kamu enggak perlu minta maaf, Nak. Aku ngerti, kok.” Setelah itu dia jalan ke mesin kopi. “Kamu suka kopi yang gimana?”

“Yang pakai krim.”

Pelan-pelan aku mulai bisa mengatur napas dan tenang lagi. Aku jalan dekati dia dan tanya, “Aku tahu kamu yang ngurus rumah ini, tapi boleh enggak aku yang masak makan malam?”

Dia melirik ke arahku, terus senyum. “Tentu aja boleh. Aku di sini buat bantu kamu. Kalau kamu mau ubah apa pun, tinggal bilang, biar aku enggak ganggu.”

Wah, orang ini benaran manis banget.

Aku sempat ingin peluk Juwiie, tapi aku tahan. Baru juga kenal, takutnya malah dikira orang aneh.

Saat dia menyodorkan secangkir kopi panas, aku hampir mengeluh lega. Aku menyeruput beberapa kali, merasakan enaknya, terus bergumam pelan, “Makasih banget, ya.”

“Sama-sama.” Dia masih memandangku, ada senyum kecil di wajahnya. Terus tiba-tiba dia bilang, “Kamu cantik, loh. Aku bisa ngerti kenapa Tuan Arnold milih kamu.”

Pipiku langsung panas waktu dengar dia memujiku.

“Makasih,” jawabku, berusaha tetap tenang. Karena aku enggak mau merasa sendirian di rumah besar ini, jadi aku menambahkan, “Semoga aja kita bisa jadi teman, ya.”

Senyumnya makin lebar sampai matanya yang cokelat gelap itu ikut berkerut. “Aku juga mau,” katanya lembut.

Bertemu Juwiie benar-benar bikin aku sedikit merasa lebih baik, setelah semua kekacauan yang ku alami. Tapi gelembung nyaman itu pecah seketika saat Benny tiba-tiba muncul di dapur. Aku sempat kaget, tapi Juwiie santai saja, seperti sudah biasa.

Tatapan Benny langsung menyangkut ke aku. “Tuan Arnold bilang aku harus antar Nona ke toko. Nona mau berangkat jam berapa?”

Aku tengok ke cangkir kopi di tanganku sebelum jawab pelan, “Aku habisin minum ini dulu, boleh?”

Nada suaraku seperti bertanya, padahal maksudnya enggak. Tapi ya mau bagaimana lagi, Benny itu suka mengintimidasi banget. Maksudku, aku pernah lihat sendiri cowok itu menyeret tubuh seseorang kayak lagi memindahkan karung kentang.

“Baiklah.” Dia jalan ke kulkas, buka pintunya, dan ambil sebotol air, seperti rumah itu rumahnya sendiri.

Dia terlihat begitu santai di sini, sampai aku berharap aku juga bisa merasa senyaman itu suatu hari nanti. Suka enggak suka, tempat ini sekarang rumah aku.

Begitu Benny pergi dari dapur, aku langsung jalan ke kulkas, buka semua rak buat mengecek stok makanan biar bisa memikirkan mau masak apa buat makan malam nanti.

Saat aku tutup pintunya, aku lihat Juwiie lagi bersandar di meja, memandangku sambil tersenyum lembut.

“Apa makanan favorit Tuan Arnold?” tanyaku penasaran.

Dia angkat bahu. “Dia jarang banget pulang buat makan malam, jadi kamu bebas masak apa aja yang kamu mau.”

Aku merasa sedikit lega mendengar itu, berarti kemungkinan aku bertemu dengan Remy enggak akan sering-sering banget.

“Kamu pulang jam berapa?” tanyaku lagi.

“Aku kerja dari jam tujuh pagi sampai jam empat sore,” jawabnya tenang.

Aku mengangguk, menghabiskan kopi, terus melirik ke arah wastafel. Ada lengkungan di bawah kabinet, jadi aku buka dan menemukan mesin pencuci piring. Aku bilas cangkirku dulu sebelum memasukkannya ke situ.

Aku tarik napas dalam-dalam dan senyum ke Juwiie sebelum keluar dari dapur buat balik ke kamar utama. Aku mau ambil dompet sama kartu kreditku.

જ⁀➴ ୨ৎ જ⁀➴

Begitu melihat deretan HP yang bermacam-macam, aku pun cuma bisa gigit bibir.

Mana yang harus aku pilih?

Benny lagi sibuk mainan Samsung barunya. Terus, waktu dia sadar aku memperhatikan, dia langsung turunkan HPnya. “Nona mau yang mana?”

Aku angkat bahu dan mendesah, “Aku payah banget soal beginian. Aku cuma butuh yang bisa nelpon sama kirim pesan aja.”

Dia ambil lagi Samsung-nya, terus jalan ke arahku. “Nona beli yang ini aja. Bagus banget, gampang dipakai juga.”

“Oke.”

Dia senyum puas, terus bertanya, “Nona mau warna apa?”

“Oh … warna apa aja yang ada?”

“Putih, perak, ungu, sama grafit.”

Alisku langsung berkerut. “Grafit tuh warna apa?”

Benny tertawa. “Abu-abu gelap.”

“Uhm.” Aku gigit bibir, berpikir sebentar, terus bilang, “Aku pilih ungu aja, deh.”

Dia senyum lebar, terlihat puas. “Pilihan yang bagus, Nona Arnold.”

“Ree,” sahutku cepat, terus buru-buru menambahkan, “Panggil aku Ree aja. Enggak usah pakai ‘Nona Arnold’.”

Dia mengangguk, lalu kasih isyarat ke petugas buat bantu kami.

Aku biarkan Benny mengurusi semua administrasi, sementara aku berdiri di dekat situ, menunggunya.

Tadi, saat di mobil menuju toko, dia bilang kalau aku enggak boleh meninggalkan dia. Jadi aku enggak berani melawan. Aku cuma mengangguk dan nurut saja. Aku enggak mau bikin dia marah.

Butuh waktu lumayan lama sebelum akhirnya kami sampai di kasir buat membayar. Aku keluarkan kartu kredit dari dompet, tapi saat melihat nominal yang muncul di layar, aku langsung melongo.

Gila.

Remy bakal bunuh aku kalau tahu aku menghabiskan duit segitu banyak cuma buat HP.

Aku menengok ke Benny, menunduk sedikit, terus berbisik, “Ini mahal banget. Remy bakal marah.”

Dia mengernyit, geleng kepala. “Enggak bakal. Dia yang nyuruh aku beliin kamu HP.”

“Ya, tapi enggak harus yang semahal ini!” Aku mulai panik, mengibaskan tangan ke arah kasir. “Maaf, kayaknya aku harus pilih yang lain aja.”

Benny cuma mengangguk sopan ke kasir. “Bentar, ya,” katanya, terus dia tarik tanganku ke samping. Dia keluarkan HPnya dari saku, pencet nomor, dan menempelkannya ke telinga.

Oh, sial, aku sudah bisa menebak apa yang bakal dia lakukan.

“Tuan Arnold,” katanya datar, “Bisa kasih tahu Ree kalau enggak apa-apa beli HP mahal? Dia panik banget.”

Sial.

Ya Tuhan.

Kenapa dia harus menelepon Remy, sih?!

Beberapa detik kemudian, HP itu diberikan ke aku.

Dingin banget rasanya.

Tanganku gemetar, jantungku kayak mau meledak. Dengan napas bergetar, aku pun taruh HP di telinga dan bilang, “Maaf … aku enggak nyangka Benny bakal nelepon kamu.”

Suara Remy di seberang sana berat dan tajam, “Bukannya aku udah bilang, kamu enggak usah minta izin setiap kali mau beli sesuatu?”

Air mata langsung menyenggol ujung mataku. Aku menelan ludah susah payah. “Iya … maaf. Aku cuma—”

“Cukup.” Nada suaranya datar, tapi ada tekanan yang bikin bulu kudukku berdiri lagi. “Sekarang beli aja tuh HP sialan. Ngerti?”

Sebelum aku sempat jawab, di ujung sana terdengar sesuatu, suara letusan keras. Seperti tembakan.

Darahku langsung dingin.

Mual.

Aku buru-buru turunkan HP itu, dan untungnya Benny cepat-cepat mengambilnya sebelum aku benaran menjatuhkannya.

“Dia ngomong apa?”

Aku cuma bisa geleng kepala, masih pucat.

Benny menunduk sedikit biar sejajar sama mukaku, matanya menyempit karena khawatir. “Oh, my God.” gumamnya pelan, terus dia tarik tanganku lagi, bawa aku balik ke kasir. Dia yang menyelesaikan transaksi, bayar semuanya, lalu menuntunku keluar toko.

Di kepala aku cuma memutar satu pertanyaan.

Barusan aku dengar Remy menembak seseorang?

Saat sudah di mobil, aku duduk di kursi belakang sementara Benny menyetir. Dia akhirnya bertanya, “Tadi kenapa? Apa yang terjadi?”

Aku lihat bayangan matanya di kaca spion. “Kayaknya aku denger Remy nembak seseorang … pas sebelum dia nutup telepon.”

Benny keluarkan napas berat, terus bilang, “Ya, begitulah jadinya kalau kamu ketahuan nyolong dari Bos.”

Aku melingkarkan tangan di pinggang, menunduk, mata terpejam.

Sepertinya aku enggak akan pernah bisa terbiasa sama kekerasan yang sudah jadi bagian dari dunia Marunda.

1
Dewi kunti
hadeeeeehhh siang2 mendung gini malah adu pinalti
Dewi kunti: iya dooong
total 2 replies
Dewi kunti
bukan tertunduk kebelakang tp mendongak
Dewi kunti
🙈🙈🙈🙈🙈ak gak lihat
Dewi kunti
wis unboxing 🙈🙈🙈🙈🙈moga cpt hamil
Dewi kunti: lha tadi udah dicrut di dlm kan🙈🙈🙈🙈
total 2 replies
Dewi kunti
minta bantuan Remy Arnold aj
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!