Pesantren Al-Insyirah, pesantren yang terkenal dengan satu hal, hal yang cukup unik. dimana para santriwati yang sudah lulus biasanya langsung akan dilamar oleh Putra-putra tokoh agama yang terkemuka, selain itu ada juga anak dari para ustadz dan ustadzah yang mengajar, serta pembesar agama lainnya.
Ya, dia adalah Adzadina Maisyaroh teman-temannya sudah dilamar semua, hanya tersisa dirinya lah yang belum mendapatkan pinangan. gadis itu yatim piatu, sudah beberapa kali gagal mendapatkan pinangan hanya karena ia seorang yatim piatu. sampai akhirnya ia di kejutkan dengan lamaran dari kyai tempatnya belajar, melamar nya untuk sang putra yang masih kuliah sambil bekerja di Madinah.
tetapi kabarnya putra sang kyai itu berwajah buruk, pernah mengalami kecelakaan parah hingga membuat wajahnya cacat. namun Adza tidak mempermasalahkan yang penting ada tempat nya bernaung, dan selama setengah tahun mereka tidak pernah dipertemukan setelah menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penapianoh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RASA INGIN YANG TERTAHAN
Adza merasakan ketenangan di dalam apartemennya ini. Dia berjalan ke arah dapur dan menyiapkan sarapan pagi, saat dia mendengar suara ponsel yang berdering.
Tatapannya terlihat senang ketika membaca nama yang menghubunginya hingga dia menerimanya dan menempelkan ponselnya ke telinga.
"Assalamualaikum?"
"Waalaikumussalam Warahmatullah, sedang apa? Aku mengganggu?"
Adza tersenyum dan menghela napasnya. "Tidak, aku baru saja akan memasak sarapan. Gus sedang apa?" tanyanya dengan suara yang terdengar senang.
Azka tersenyum disana, lalu meletakkan buku-buku yang dia pegang.
"Aku sedang ada di asrama, sedang mencari beberapa buku referensi untuk membuat skripsi. Andai saja aku di sana, pasti kamu sudah memasakkan makanan untukku," ucapnya membuat adza tersenyum.
"Nanti kalau misalnya kita sudah bertemu aku akan memasaknya setiap hari. Sayangnya, masih lama ..." balas adza hingga Azka tersenyum.
Dia bisa mendengar suara pergerakan dari istrinya itu walaupun mereka berbeda daerah dan negara.
Baru sekarang dia mengetahui kalau ada seorang pemimpin perusahaan dan orang kaya yang begitu mandiri.
Adza adalah seorang gadis kaya, tapi untuk perihal membuat sarapan saja dia memasaknya sendiri.
Benar-benar sesuatu yang sangat langka dan Azka menyadarinya saat mereka sudah menikah.
Adza adalah seorang gadis yang mandiri, sederhana dan juga lemah lembut kalau bicara.
Hal itu membuatnya merasa beruntung bisa mendapatkan adza untuk menjadi istrinya, tidak sia-sia juga dia pernah mendoakan gadis ini semoga menjadi miliknya.
Adza adalah definisi gadis yang sempurna hanya saja dia menutupinya dengan cara yang sederhana.
"Gus? Gus masih ada disana?"
Azka tersenyum mendengar suaranya. "Ya, aku masih ada disini."
Adza tersenyum kecil. "Kalau Gus sibuk tidak harus memaksakan untuk meneleponku," balasnya lembut membuat Azka menarik napas.
"Bagaimana lagi, kalau tidak mendengar suara kamu setengah hari saja, rasanya ada yang kurang," kata Azka tanpa ragu membuat adza tersenyum kecil.
"Gus mengatakan itu seolah sudah mencintaiku saja," gumam adza sementara Azka tersenyum.
"Kalau memang iya, bagaimana?"
Adza duduk di kursi makan, dia meletakkan roti yang baru dia panggang.
"Bagaimana, apanya?"
pancingnya kemudian seraya mengoleskan selai cokelat ke atas roti dan juga madu murni ke yang satu lagi.
Azka diam mendengar pertanyaannya. "Aneh tidak bagi kamu kalau misalnya aku mengatakan mencintai kamu?" tanyanya membuat adza terdiam.
"Entahlah, sebenarnya aku juga bingung." Adza berkata dengan tatapannya yang tampak santai seraya mengunyah.
"Kita tidak pernah terjalin hubungan sebelum menikah. Aku bahkan tidak mengenal Gus sebelumnya, jadi aneh kalau sudah saling mencintai."
Tak ada jawaban membuat adza tersenyum kecil.
"Kalau Gus sibuk, matikan saja. Eh, satu lagi, aku mau mengatakan sesuatu, boleh?" tanyanya ketika teringat membuat Azka berdehem pelan.
"Apa? Kamu mau melakukan sesuatu?"
Adza mengangguk walau Azka tidak akan bisa melihatnya.
"Besok Ummi dan Abi serta Nina katanya mau pergi liburan ke puncak."
"Ummi dan meena mengajakku ikut, tapi aku sedikit malas, rasanya mau tiduran saja di rumah sampai nanti masuk waktu kuliah. Tetapi untuk menolak ajakan mereka aku merasa agak sungkan, bagaimana pendapat Gus? Aku ikut saja?" tanyanya membuat Azka tersenyum.
Dia suka ketika adza secara terang-terangan bertanya tentang pendapatnya. Membuatnya merasa berhasil menjadi suami padahal gadis itu tidak terlalu mengenalnya.
"Kalau kamu memang mau pergi, pergi saja, kalau kamu memang hanya mau di rumah yasudah di rumah saja."
"Bukankah kamu sudah pernah mengatakan padaku kalau kamu introvert? Memang tidak ada tempat yang ingin didatangi oleh seorang introvert karena dia tidak suka, jadi kamu juga tidak perlu memaksakan diri jika kamu tidak menikmatinya hanya untuk menyenangkan beberapa pihak."
Adza tersenyum mendengar ucapannya. Azka itu lemah lembut dan juga perhatian. Dia tidak pernah mau berpihak pada siapapun, adza menyadari semua itu bahkan sebelum mengetesnya.
Mungkin jika suatu saat nanti ada masalah antara adza dan ibu pria ini, mungkin saja mereka akan di sidang bukan di bela. Dia suka seperti itu tapi jika suatu saat Azka lebih pro pada keluarganya dia juga tidak akan peduli.
Dia punya kehidupan yang akan tetap berjalan walau apapun yang terjadi. Makanya dia tidak mau bergantung pada yang namanya mahkluk, pasti ada celanya.
"Kalau begitu aku akan bilang pada Ummi kalau aku tidak mau ikut. Membayangkannya saja sudah melelahkan, aku hanya ingin menghabiskan waktu disini untuk bersantai."
"Terserah kamu, yang penting kamu nyaman."
Adza tersenyum lalu meminum air putih yang ada di depannya.
"Oh ya, Gus, mungkin aku akan bertemu dengan beberapa anak-anak buah laki-laki seperti Pak Rahman atau yang lain."
"Bagaimanapun juga mereka adalah anak buah yang mengurus perusahaan sebelum aku masuk sebagai pemimpinnya, jadi aku masih di perlukan tanda tangan oleh mereka dan juga beberapa urusan lainnya untuk meninjau dokumen yang akan di setujui."
"Jadi aku izin sekarang, mungkin aku akan menerima beberapa laki-laki di apartemen tapi bukan sebagai siapa-siapa melainkan hanya sebagai anak buah. Boleh?" tanyanya pelan dengan suaranya yang hati-hati sekali.
"Boleh."
Adza menghela napasnya lega.
"Aku tahu kalau kamu akan menjadi pewaris bahkan sejak awal ketika kamu datang ke pesantren dan orang tuamu meninggal waktu itu."
"Aku menikahi kamu bukan karena hartamu, bukan juga untuk mengekangmu, aku menikahi kamu karena kamu adalah orang yang bagiku kuat, kamu hebat."
"Sebagai suamimu sekarang aku hanya bisa mendukung semua yang menjadi kehidupanmu. Kita saling percaya, pasti akan lebih baik, hmmm?" ujar Azka membuat adza tersenyum.
"Iya, semoga kita bisa saling percaya. Jika sesuatu hal terjadi dan memfitnah hubungan kita, aku berharap Gus bertanya dulu padaku, aku juga akan bertanya dulu pada Gus jika sesuatu hal menjadi fitnah diantara kita. Aku tidak akan langsung cemburu atau berburuk sangka, bisakah begitu?"
"Bisa, Za ... Kunci dari hubungan LDR adalah saling percaya. Kalau kamu percaya padaku maka aku juga akan percaya padamu."
"Setengah tahun bukan hal yang sulit untuk kita jalani, aku tidak sabar atau tinggal dan hidup bersama kamu tanpa harus menggunakan ponsel sebagai media berkomunikasi."
"Sama, aku juga. Aku tidak sabar ingin menjalani kehidupan ini bersama dengan Gus. Pasti menyenangkan memiliki teman hidup apalagi kalau saling mengerti dan mau satu frekuensi dengan pemikiran kita masing-masing."
"Benar, kita sama-sama pengusaha walaupun berbeda jalur dan berbeda besar kecilnya jangkauan usaha di antara kita. Jadi aku yakin kita pasti satu pemikiran."
Adza terkekeh pelan. "Benar juga."
Keduanya berbincang-bincang seperti tidak jauh dan saling berdekatan satu sama lain.
Adza menceritakan tentang beberapa hal yang di alaminya dan juga mendengarkan cerita dari Azka tentang hal yang sama.
Menjalani pernikahan jarak jauh dan bahkan berbeda negara tentu saja tidak mudah.
Keduanya menahan dan memandang rindu satu sama lain dan hanya bisa menceritakan kegiatan masing-masing melalui telepon.
Walaupun saat ini sangat Azka akui, dia ingin memeluk adza yang sudah tidak pernah dia peluk lagi hampir tiga minggu lamanya.
Waktu itu sebuah tipuan, kalau ada yang di tunggu maka dia akan bergerak sangat lama, tetapi kalau kita mengejar waktu maka dia akan berlari meninggalkan kita.
Dan yang sekarang mereka alami adalah, waktu yang begitu lama berputar karena mereka sama-sama sedang menunggu waktu untuk pertemuan yang kedua kalinya.
itu sih menurut ku ga tau deh kalok menurut anak pondok