Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan. 
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Liliana dan Ibu Ayu tertawa terbahak-bahak saat melihat berita kebakar di rumah Jovan.
"Itulah akibatnya jika bermain-main dengan Liliana." ucap Liliana.
Ibu Ayu memintanya Lilian untuk segera membayangkan mereka dan meminta mereka untuk pergi dari Kanada.
Liliana menganggukkan kepalanya dan segera ia mengambil ponselnya untuk menghubungi mereka yang sudah membakar rumah Jovan.
"Aku sudah mentransfer uang kalian dan untuk sementara waktu kalian harus meninggalkan negara ini." ucap Liliana yang kemudian menutup ponselnya.
Setelah menghubungi mereka, Liliana memeluk tubuh Ibu Ayu.
"Setelah ini aku yang akan menjadi Nyonya Jovan. Dan setelah aku menikah dengan Jovan. Aku akan membawa Ava ke asrama agar tidak bisa menganggu aku dan Jovan." ucap Liliana.
Ibu Ayu menganggukkan kepalanya dan ia setuju dengan apa yang dikatakan oleh putrinya.
Kemudian mereka berdua mengambil gelas dan berulang untuk merayakan kehancuran Husna.
Sementara itu di rumah sakit dimana Jovan masih duduk di depan ruang ICU.
Mama Riana dan Burak pulang ke rumah untuk menidurkan Ava yang kelelahan.
Disaat sedang duduk, tiba-tiba dokter memanggil Jovan.
"Bagaimana keadaan istri saya, dok?" tanya Jovan.
"Kondisinya stabil sekarang. Luka bakarnya sudah mulai merespons perawatan. Tapi ia masih harus mendapat pengawasan ketat di ruang khusus. Kami akan memindahkannya ke ruang perawatan siang ini.”
Begitu mendengar kata stabil, Jovan langsung menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Bahunya bergetar hebat dan ia langsung sujud syukur.
“Alhamdulillah. Ya Allah, terima kasih…,” bisiknya lirih, sebelum akhirnya jatuh bersujud di lantai koridor rumah sakit.
Arkan yang berdiri di sebelahnya ikut sujud syukur.
Mereka berdua, dua laki-laki yang sama-sama mencintai satu perempuan, menunduk bersyukur di lantai dingin itu.
“Terima kasih, Tuhan. Terima kasih karena Kau masih memberikan aku kesempatan."
Arkan dan Jovan lekas bangkit saat melihat perawat meminta Husna ke ruang perawatan.
Husna memandang wajah Arkan dan Jovan yang berada di belakang perawat.
"Jangan bicara dulu," ucap Arkan sambil tersenyum tipis.
Husna menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis ke arah Arkan.
Setibanya di ruang makan Jovan duduk di kursi tepat di samping ranjangnya, kedua tangannya terlipat di pangkuan, matanya terus memandangi wajah Husna yang terlelap.
Beberapa kali ia menunduk, seolah tidak percaya bahwa istrinya masih hidup setelah malam mengerikan itu.
Ketika Husna membuka matanya perlahan, Jovan langsung mencondongkan tubuhnya.
“Husna…” panggilnya pelan, hampir berbisik.
Husna menatapnya samar, lalu tersenyum tipis.
“Van…”
Jovan buru-buru meraih tangan istrinya dan menggenggam tangan istrinya dengan sangat lembut.
“Kamu haus?”
Husna menatapnya beberapa detik, lalu menggeleng pelan.
Namun tiba-tiba, ia menoleh ke arah pintu dan memanggil dengan suara lemah,
“Arkan…”
Jovan merasakan dadanya yang sakit saat mendengar istrinya yang memanggil lelaki lain.
Arkan yang sejak tadi berdiri di dekat jendela langsung menoleh.
“Iya, Husna? Kamu butuh apa?” tanya Arkan ambil berjalan mendekat.
“A-aku haus,” ucap Husna lirih, matanya masih menatap Arkan.
Jovan menatapnya tajam, tapi berusaha menahan diri.
Ia baru saja menawarkan hal yang sama, namun nama yang dipanggil bukan dirinya.
Arkan segera mengambil botol air dari meja kecil dan menuangkannya perlahan ke gelas.
Dengan hati-hati, ia memegang sedotan dan menuntun ke bibir Husna.
“Nih, pelan-pelan. Jangan banyak dulu.”
Husna meneguk sedikit airnya, lalu tersenyum tipis.
“Terima kasih…” katanya lemah.
Arkan hanya mengangguk kecil dengan senyumnya hangat.
Namun di sisi lain, Jovan menggenggam lututnya kuat-kuat, berusaha menahan gejolak yang mulai tumbuh di dadanya.
Ia menunduk, pura-pura memperhatikan selang infus, tapi matanya sesekali melirik Arkan.
Setiap kali Arkan menyentuh gelas atau menyibak sedikit selimut Husna agar lebih nyaman, dada Jovan terasa terbakar.
“Sudah cukup, Arkan. Aku bisa urus sendiri,” ucap Jovan tiba-tiba, suaranya datar tapi dingin.
Arkan menatapnya sekilas, lalu mengangguk sopan.
“Baik, Van. Aku cuma ingin membantu.” ucap Arkan.
“Dia istriku. Aku bisa melakukannya,” sahut Jovan pelan, namun nadanya tajam dan tak bisa disembunyikan.
Ruangan mendadak hening dan hanya suara alat monitor yang berdetak perlahan di antara mereka.
Husna menatap dua pria itu bergantian antara Jovan dan Arkan yang sama-sama menunduk dengan rahang mengeras
“Jangan bertengkar. Aku ingin berterima kasih kepada kalian berdua." ucap Husna.
Jovan dan Arkan menganggukkan kepalanya saat mendengar perkataan dari Husna.
Disaat yang bersamaan tiba-tiba pintu ruang perawatan terbuka.
"Husna...."
Husna melihat Ayah Yudha dan Ibu Maria yang datang dari Indonesia.
"Ayah, Ibu."
Jovan dan Arkan langsung menyambut kedatangan mereka.
Ibu Maria menangis sesenggukan saat melihat kondisi Husna yang penuh dengan perban.
"Ini pasti ulah kamu, kan! Kamu yang bikin anak saya sampai seperti ini!” bentaknya, menunjuk ke arah Arkan yang masih berdiri tak jauh dari tempat tidur Husna.
“Ayah, tolong jangan.." ucap Husna yang mencoba menghentikan Ayah Yudha yang menuduh Arkan.
Arkan menundukkan kepalanya saat mendengar tuduhan yang diarahkan ke arahnya.
"Ayah! Ini bukan ulah Arkan! Justru Arkan yang menyelamatkan Aku." ucap Husna dengan suara sedikit emosi.
Nafas Husna kembali sesak nafas saat berbicara agak keras kepada Ayahnya.
"Husna, tarik nafas panjang dan hembuskan." ucap Jovan.
Husna mencoba untuk menarik nafas panjang dan menghembuskan nafasnya lagi.
Melihat Husna yang kembali tenang, Jovan meminta Ayah Yudha dan Arkan keluar dari ruang perawatan.
Dengan langkah berat, Arkan berjalan menuju pintu.
Ia sempat menatap Husna sesaat dengan tatapan yang dipenuhi luka dan kekhawatiran.
Ayah Yudha menyusul dengan langkah kasar, sementara Ibu Maria tetap di sisi Husna, menangis pelan sambil membelai dahi putrinya.
Begitu pintu tertutup, Jovan berdiri di luar ruangan bersama Arkan dan Ayah Yudha.
Suasana lorong menjadi tegang, hanya terdengar dengung mesin ventilasi rumah sakit dan langkah para perawat yang lewat dengan cepat.
Namun ketegangan itu pecah ketika suara berat terdengar dari ujung koridor.
“Yudha!”
Burak berjalan cepat ke arah mereka, wajahnya merah padam menahan emosi.
Di belakangnya, Mama Riana mengikuti dengan langkah cemas.
Begitu sampai di depan mereka, Burak langsung menatap tajam ke arah Ayah Yudha.
“Aku dengar kamu menuduh Arkan yang membakar rumah dan mencelakai Husna?” tanya Burak menahan amarahnya.
Yudha membalas tatapan itu dengan dingin saat mendengar perkataan dari Burak.
“Iya! Kalau bukan karena laki-laki ini, anakku tidak akan ada di posisi sekarang. Semua ini terjadi karena dia selalu muncul di sekitar Husna!”
Burak mendekat satu langkah, suaranya makin berat.
“Mulutmu itu yang berbahaya, Yudha. Kalau Arkan tidak datang malam itu, yang keluar dari rumah hanya abu, bukan Husna!”
Arkan menunduk lebih dalam, tak berani menatap siapa pun.
Burak menatapnya sebentar, lalu menepuk bahunya pelan.
“Anak muda ini mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan menantuku. Aku lihat sendiri tubuhnya terbakar saat mengangkat balok di kamar Husna." ucap Burak yang membela Arkan.
Ayah Yudha yang mendengar langsung terdiam ketika mendengar perkataan dari Burak.
“Yudha, aku tahu kamu sayang pada anakmu. Tapi jangan buta oleh amarah. Arkan bukan musuh. Musuh kita adalah kebencian dan orang-orang yang membuat semua ini terjadi.”
Suasana lorong menegang lagi, tapi kali ini penuh rasa bersalah dan sesal.
Yudha menundukkan kepala pelan dengan air matanya yang menetes.
“Jadi, dia benar-benar menyelamatkan Husna?” tanya Yudha yang masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Riana
Burak menganggukkan kepalanya sambil tangannya yang menunjuk ke arah ruang perawatan.
“Kalau bukan Arkan yang menolongnya. Mungkin Husna tidak akan bernapas hari ini.”
Arkan hanya memejamkan matanya sejenak, lalu mundur satu langkah.
“Tidak perlu berterima kasih, Pak. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya.”
“Kamu tetap pantas dihormati, Nak. Aku berutang nyawa Husna padamu.”
Mama Riana menyentuh lengan suaminya, berusaha meredakan amarah Burak.
Sementara itu, Ayah Yudha perlahan menghela napas panjang.
“Maafkan aku, Arkan. Aku hanya takut kehilangan anakku.” ucap Ayah Yudha.
“Saya mengerti, Pak. Siapa pun akan lakukan hal yang sama kalau berada di posisi Bapak.”
Burak menatap mereka berdua, lalu menepuk bahu Yudha.
“Kita semua di sini karena cinta kita pada Husna. Jadi, jangan biarkan cinta itu berubah jadi benci.”
Mama Riana menatap pintu ruang perawatan yang tertutup.
“Dia butuh kita semua bersatu, bukan saling menyalahkan.”
Jovan dan Arkan menganggukkan kepalanya dan setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mama Riana.