Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Mencintaimu, Charissa Anindya
Bibir Anin mengatup rapat selama perjalanan kembali ke rumahnya, diantar Arkan. Saat pulang kantor tadi, Arkan kembali menawarkan tumpangan pada Anin.
Perempuan itu sempat menolak, tapi, Arkan yang terkesan memaksa membuatnya kehabisan alasan untuk menolak. Bukan tanpa alasan dia menolak. Ia melakukan itu sebab dia takut ada yang melihat dan menyebarkan berita tak baik tentang nya dan Arkan
Tentang Arkan dan Kean yang mengantarnya kemarin saja, itu sudah menjadi berita yang cukup hangat di kantin tadi. Beruntung dia tak mendengarnya sampai selesai karena Arkan menyuruhnya kembali ke ruangan untuk menemaninya makan siang.
"Saya dengar dari Dimas, kau menolak diantar jemput oleh supir. Benar?" Arkan membuka obrolan.
Anin yang sejak tadi diam pun menoleh sekilas padanya. "Benar."
"Kenapa?"
"Tidak kenapa. Saya hanya ingin melakukan pekerjaan saya layaknya karyawan lain yang biasa menumpang kendaraan umum atau taksi. Pulang pergi tanpa diantar supir."
"Bukankah sama saja? Sama-sama diantar supir?"
"Supir pribadi berbeda dengan supir taksi."
Arkan tersenyum. Bisa mengobrol santai seperti ini membuatnya sangat senang.
"Dimana letak perbedaannya?"
Anin terdiam. Malas juga meladeni Arkan. Jika ia jawab, pasti akan terus ditanya Arkan. Tapi, kalau ia mengabaikan, rasanya tidak sopan.
"Anin?"
"Pak, b. isa kita bahas yang lain?"
"Bisa. Mau bicarakan apa?"
"Tidak ada." Anin menyengir canggung. Dia yang meminta untuk membahas hal lain, dia juga yang tidak memiliki hal untuk dibicarakan.
"Kalau begitu saya saja yang bercerita pada mu. Kau mau dengar, kan? Ini tentang keluarga saya, istri saya." Arkan melirik Anin sekilas, kemudian kembali fokus menyetir.
"Eem ... Apa tidak masalah Anda menceritakan nya pada saya? Anda tidak sedih mengingat istri Anda ...?"
"Saya sedih. Tapi, saya sedang ingin menceritakannya pada mu."
Ini usaha saya untuk membuat kamu ingat Charissa. Jangan menolak untuk mendengar. Semoga kamu perlahan ingat tentang kita.
Arkan menarik nafasnya. Kemudian, ia perlahan mulai menceritakan tentang Charissa pada Anin.
"Kehidupan kami sangat bahagia saat itu. Banyak hal yang kami lakukan bersama. Taman kota adalah tempat yang sering kami datangi bersama."
"Taman kota?"
"Ya. Charissa, dia sangat suka ke taman kota. Ada kenangan bersama mendiang orang tuanya disana."
Taman kota?
Kenangan bersama mendiang orang tua.
Semua itu terasa tak asing bagi Anin. Ia merasa pernah mengalami beberapa detail peristiwa yang Arkan ceritakan.
"Saya sangat mencintai dia. Setiap hari saya pastikan dia mendengar ungkapan cinta saya. Aku mencintaimu Charissa Anindya, istriku."
Aku mencintaimu Charissa Anindya, istriku.
Kalimat itu berputar terus di pikiran Anin. Dia pernah mendengarnya. Bukan hanya itu, degup jantungnya pun berdenyut tak normal, terlalu cepat. Bersamaan dengan itu, kepalanya terasa sakit. Bayang-bayang buram layaknya orang-orang yang sering datang dalam mimpinya terus berputar pada ingatannya.
"Shh ...." Anin meringis pelan sambil terus memegang kepalanya. Arkan langsung menoleh usai mendengar perempuan itu meringis. Seketika wajahnya berubah khawatir.
"Anin? Kau kenapa?" tanya Arkan, khawatir, lalu menepikan mobilnya dan berhenti.
Ia mencondongkan tubuhnya pada Anin lalu menangkup kedua pipi perempuan itu, memaksa untuk melihat ke arahnya.
"Anin? Kau kenapa? Katakan padaku."
"Pak ... kepalaku sakit ...."
"Kita ke rumah sakit, ya? Aku—"
"Tidak." Anin menggeleng pelan. "Ini akan hilang sendiri. Kita langsung ke rumah saja."
"Tapi Anin, saya khawatir."
Lagi Anin menggeleng. "Tidak apa-apa. Langsung ke rumah saja."
Tanpa membantah lagi, Arkan langsung menghidupkan kembali mobilnya dan membawanya melaju cepat ke rumah. Mereka harus segera sampai agar Anin bisa istirahat.
***
Setelah memastikan keadaan Anin, Arkan berpamitan pada Dimas dan keluarga Anin untuk kembali. Walaupun sebenarnya dia merasa berat untuk meninggalkan Anin.
"Nak Arkan hati-hati. Sampaikan salam Ibu untuk Kean, ya?"
Arkan mengangguk. "Akan saya sampaikan."
Lelaki itu kemudian menuju mobilnya dan melajukan nya kembali ke rumah.
Sementara itu, di rumah Arkan, Vanesha kembali mendatangi rumah itu dan langsung menuju kamar Kean. Karena Arkan belum kembali dari kantor, ini kesempatan dia untuk mencoba meluluhkan hati Kean. Jika ia mendapat restu Kean, maka untuk mendapatkan Arkan sangatlah mudah.
"Ck. Rambut ku jadi rusak karena pembantu sialan itu!" Vanesha mendengus kesal sambil membenarkan rambutnya.
Langkah nya terhenti tepat di depan kamar Kean. Perlahan ia mengetuk pintu kamar tersebut. Dan tak butuh waktu lama, pintu terbuka.
"Tante jahat kenapa disini?"
Wajah Vanesha seketika berubah dingin. Ingin sekali ia memukul mulut kurang ajar anak itu. Tapi, demi melembutkan hati Kean agar memaafkan dan menerimanya, dia harus bersabar.
"Kean Sayang, jangan berbicara seperti itu. Tidak sopan." Vanesha berbicara lembut sambil memaksakan senyumnya. Ia melangkah masuk, membuat Kean berjalan mundur.
"Tante yang tidak sopan. Kenapa masuk kamar Kean tanpa izin?" Raut wajah Kean marah. Dia tidak suka dengan Vanesha yang lancang.
"Kean, Tante hanya ingin lebih dekat dengan Kean. Sebagai calon Mama untuk Kean, kita harus dekat satu sama lain."
"Tidak! Kean tidak mau punya Mama seperti Tante! Tante jahat! Tante seperti penyihir!"
"Kean!!" Vanesha membentak sambil mendorong kasar tubuh mungil itu hingga terjerembab. Kesabarannya sangat tipis. Dia tidak Terima dikatai jahat oleh Kean.
Vanesha berjongkok, lalu mencengkram kedua pipi Kean dengan kasar. Anak itu meringis merasakan sakit di kedua rahangnya.
"Dengar! Kau itu hanya penghalang kecil untuk ku mendapatkan Arkan! Jika kau tidak menurut, aku bisa saja membunuh mu!!"
"Vanesha!! Apa yang kau lakukan!" Arkan melangkah cepat dan menendang Vanesha menjauh dari putranya.
"Papa." Anak itu langsung memeluk Papanya ketika Arkan berjongkok di dekatnya. "Papa, Tante Vanesha jahat." Rahang Arkan seketika mengeras. Ia melepaskan pelukan putranya.
"Kean tenang, dan tutup mata, oke?" Anak itu mengangguk pelan kemudian menutup matanya.
Pandangan Arkan langsung tertuju pada Vanesha yang mulai pucat. Bodoh. Dia lupa mengunci pintu tadi.
"Arkan—"
Plak!
Plak!
Tamparan bertubi-tubi mendarat di pipi kiri dan kanan Vanesha. Membuat kedua sisi wajah wanita itu memerah.
Tak hanya itu, Arkan tanpa belas kasihan menyeret Vanesha mendekati dinding kamar Kean, mencengkram rambut wanita itu lalu membenturkan keningnya pada dinding, persis seperti yang dilakukan Vanesha pada pembantunya di lantai bawah yang mencoba menghalangi Vanesha untuk tidak boleh masuk.
"A- Arkan ... Sakit ...."
"Keluar dari sini!" ucap Arkan dingin. Vanesha dengan segera keluar dari kamar Kean. Langkahnya linglung karena rasa pusing yang menyerang sebab benturan yang ia dapatkan. Keningnya pun memar.
"Arkan benar-benar kejam," gumamnya.
Sementara di kamar Kean, Arkan segera menggendong putranya sambil mengusap-usap kedua pipi anak itu.
"Maafkan Papa."
Kean menggeleng. "Tante Vanesha yang harusnya minta maaf, bukan Papa."
Arkan mengecup kening putranya. "Papa pulang terlambat karena harus mengantar Tante Anin. Dia sedang sakit."
"Sakit?" Kean mendongak menatap sang Papa yang kini memangku nya, duduk di tepi ranjang.
"Ya. Kepalanya sakit."
Kean terdiam sejenak. Matanya lekat menatap sang Papa. "Papa."
"Hm?"
"Boleh kah Kean menelpon Tante Anin?"
"Boleh, tapi setelah makan malam nanti. Sekarang pasti dia sedang istirahat."
"Baik Papa." Anak itu kembali memeluk Papanya. Dalam hati ia berharap, semoga wanita cantik itu segera sembuh.