"Kenapa kau menciumku?" pekik Liora panik, apalagi ini adalah ciuman pertamanya.
"Kau yang menggodaku duluan!" balas Daichi menyeringai sembari menunjukkan foto Liora yang seksi dan pesan-pesan menggatal.
Liora mengumpat dalam hati, awalnya dia diminta oleh sahabatnya untuk menggoda calon pacarnya. Tapi siapa sangka Elvara malah salah memberikan nomor kakaknya sendiri. Yang selama ini katanya kalem dan pemalu tapi ternyata adalah cowok brengsek dan psikopat.
Hingga suatu saat tanpa sengaja Liora memergoki Daichi membunuh orang, diapun terjerat oleh lelaki tersebut yang ternyata adalah seorang Mafia.
Visual cek di Instagram Masatha2022
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masatha., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Setelah mandi, Liora keluar dari kamarnya dengan rambut masih lembap, tergerai menempel di bahu. Langkahnya terhenti seketika saat melihat sosok Daichi sudah duduk di meja makan. Lelaki itu sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali ia lihat—masih tanpa atasan, hanya celana panjang hitam yang membalut pinggangnya.
Liora mengerjap cepat, buru-buru menguasai wajahnya yang sempat memanas. “Kau… tidak kedinginan, hah? Berani sekali duduk begitu di ruang ber-AC.”
Daichi menoleh santai, senyumnya samar tapi penuh percaya diri. “Aku tidak butuh jaket. Ada kamu di sini, sudah cukup hangat.”
Liora mendengus, lalu menarik kursi dengan gerakan sedikit keras. Ia tidak ingin kalah adu gengsi. Namun begitu duduk, pandangannya justru terjebak pada otot-otot dada lelaki itu yang bergerak tiap kali ia mengangkat garpu.
"Ayo makan, nanti malam kau bisa menyentuhku sepuasmu," goda Daichi.
"Siapa yang mau menyentuhmu?" pekik Liora tak terima.
"Matamu, tak bisa berbohong."
"Ah malas ngomong sama kamu!"
Mereka mulai makan bersama. Daichi menikmati steak buatannya dengan tenang, sedangkan Liora berusaha keras mengalihkan perhatian. Tapi nyatanya, setiap kali ia mengangkat kepala, matanya otomatis melirik ke arah dada bidang itu, atau lekukan perut yang seolah dipahat sempurna. Jari-jarinya gatal, ingin sekali menyentuh permukaan hangat itu hanya untuk memastikan kalau semua yang ia lihat bukan sekadar ilusi.
Astaga, apa-apaan aku ini… batinnya merutuk.
Daichi tiba-tiba mendongak, menatap langsung ke arahnya. “Kenapa wajahmu merah?” tanyanya datar, tapi ada nada menggoda yang terselip.
Liora buru-buru mengalihkan pandangan ke piring. “Aku… kepedasan,” jawabnya cepat, padahal steak itu sama sekali tidak pedas.
Senyum tipis muncul di bibir Daichi, tapi ia tidak menekan lebih jauh. Ia justru kembali makan dengan tenang, seolah tahu gadis di depannya sedang berjuang keras menahan diri.
Hening nyaman itu mendadak pecah ketika ponsel di atas meja berdering. Daichi segera mengangkat, suaranya berubah lebih rendah dan formal. Liora tidak bermaksud menguping, tapi telinganya menangkap samar suara wanita di seberang.
“…jemput aku di bandara…”
Deg. Liora otomatis berhenti mengunyah. Garpu di tangannya menggantung di udara. Jemput di bandara? Wanita siapa?
Matanya melirik sekilas, mencoba membaca ekspresi Daichi. Lelaki itu tetap tenang, hanya sesekali menggumam singkat. Setelah beberapa detik, panggilan itu berakhir.
Liora ingin sekali bertanya, tapi lidahnya kelu. Ia tidak ingin terlihat kepo, apalagi memberi kesan kalau dirinya cemburu. Jadi ia hanya menunduk lagi, menusuk daging di piring dengan lebih keras dari seharusnya.
Daichi bangkit tiba-tiba. “Aku pergi dulu.”
“Eh?” Liora refleks menoleh. “Tapi makanmu belum habis.”
“Aku harus jemput seseorang.” Jawabannya singkat, tegas. Tanpa penjelasan lebih lanjut, ia meraih kunci mobil yang tergeletak di meja, lalu melangkah pergi.
Pintu apartemen menutup dengan suara yang terlalu cepat bagi Liora.
Sunyi kembali merayap, hanya menyisakan aroma steak dan segelas jus yang sudah mulai mencair. Liora menatap kursi kosong di depannya, dada terasa aneh—campuran penasaran, kesal, sekaligus kehilangan.
Ia menggigit bibir, menolak membiarkan hatinya mengembara terlalu jauh. Tapi satu pertanyaan terus bergema di kepalanya.
Siapa wanita itu?
*
Hingga pukul sebelas malam, Daichi belum juga kembali. Liora terduduk di sofa ruang tamu dengan wajah masam, remote televisi hanya berpindah-pindah channel tanpa benar-benar ia tonton. Dalam hati, ia mendengus kesal.
Katanya selama di Indonesia akan menginap di sini… ternyata cuma omong kosong.
Namun beberapa detik kemudian, ia justru mengumpat dirinya sendiri. Kenapa aku jadi berharap, sih? Padahal sejak awal, hubungannya dengan Daichi hanya karena keterpaksaan. Lagi pula, semuanya sudah ada batas waktunya—satu bulan saja.
Tetapi rasa jengkel itu makin terasa menyesakkan. Otaknya kembali teringat pada suara samar perempuan di telepon sore tadi. Wanita yang meminta dijemput di bandara. Wanita yang membuat Daichi buru-buru pergi tanpa menyelesaikan makan malamnya.
Liora menggigit bibir, gelisah. Akhirnya ia meraih ponsel dan menekan nomor Elvara. Suara sahabatnya terdengar ceria di seberang.
“Liooo! Tumben nelpon malam-malam. Kenapa, nggak bisa tidur?”
Liora memaksa suara tenang, meski dadanya bergemuruh. “Cuma mau nanya, Var. Kakak kamu… ada di rumah nggak?”
Ada jeda singkat sebelum Elvara menjawab. “Enggak, tadi sore sih dia pulang. Bawa cewek, loh. Katanya mau nginep di rumah sampai Kak Daichi kembali ke Itali."
Jantung Liora mencelos, wajahnya otomatis memanas. “Cewek?” suaranya meninggi sepersekian detik, lalu buru-buru ia luruskan dengan tawa hambar. “Oh… ya, mungkin calon kakak ipar kamu."
“Elvara malah terdengar penasaran. “Aku juga merasa lebih dari teman. Dari bahasanya, kayak… dekat, gitu. Dari Italia lagi. Cantik, Lio. Elegan banget.”
Seketika darah Liora terasa naik ke kepala. Rasanya seperti ditampar, meski ia berusaha keras menutupi. “O-oh, gitu ya. Ya udah, aku cuma mau pastiin dia nggak di sini. Kalau gitu… aku ajak kamu ke club aja, mau? Daripada aku sendirian.”
Elvara terkekeh. “Selama Kak Daichi di sini aku nggak berani aneh-aneh. Aku udah ngantuk. Kamu tidur sana, jangan malah keluyuran.”
“Ya udah, good night, Var,” jawab Liora singkat sebelum menutup telepon.
Begitu panggilan berakhir, senyum tipis yang tadi ia paksakan runtuh. Matanya kosong menatap layar ponsel, sementara hatinya mendidih oleh rasa yang tidak bisa ia akui.
Kenapa aku harus marah? Kenapa rasanya panas begini, kalau memang dia cuma pacar pura-pura?
Tangannya meremas bantal sofa dengan kuat. Ada perasaan asing yang menghantam—campuran cemburu, sakit hati, sekaligus benci pada dirinya sendiri.
Ia mendesah panjang, lalu menutup wajah dengan kedua tangan. “Bodoh, Liora. Jangan jatuh hati… sudah tahu dia brengsek."
Namun dada yang bergemuruh itu membuktikan sebaliknya. Ia sudah melangkah terlalu jauh ke dalam pusaran bernama Daichi—dan kehadiran wanita misterius itu hanya membuatnya semakin sadar, hatinya sedang berperang melawan sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
Sialan, dia kira siapa? Aku Liora. Aku juga bisa dapat cowok yang lebih ganteng darinya.
Liora segera menghubungi Sintia. Kebetulan sepupunya itu sudah berada di club malam.
Liora segera berganti gaun seksi dan memoles wajahnya. Setelah itu dia pergi dengan mobil mewahnya.
Siapa sangka, di saja juga ada Mada. Setia kali melihatnya lelaki itu selalu saja mendekatinya.
"Liora, kamu ke sini sendiri?" sapanya tersenyum cerah.
"Bersamaku," sela Sintia yang tiba-tiba muncul.
"Oh, aku boleh gabung ya?" pinta Mada penuh harap.
"Jangan! Nanti cewek kamu ngamuk-ngamuk lgi sama Liora," sergah Sintia.
"Cewek mana? Aku tidak punya pacar!" tegas Mada.
"Siapa lagi, Queensha," cibir Sintia.
Liora hanya menahan tawa, sebab setiap kali Mada dan Sintia bertemu mereka akan beradu mulut.
"Sudahlah, biarkan saja kali ini dia gabung," ucap Liora ada akhirnya.
"Tuh kan, Liora boleh!" pekik Mada antusias. Lalu duduk di sisi Liora.
semoga sehat selalu
gemes deh bacanya